Kamis, 08 Februari 2018

Komisioner PBB Soroti Pendekatan Keamanan Berlebihan di Papua

Zeid Ra'ad Al Hussein (Foto: Ist)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pada jumpa pers di akhir kunjungannya di Jakarta hari ini (07/02, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Zeid Ra'ad Al Hussein, mengungkapkan keprihatinannya yang sangat besar atas penggunaan kekuasaan yang berlebihan, pelecehan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan di Papua.

Namun pada saat yang sama ia juga mengapresiasi keterbukaan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk semua. Hussein yang selama kunjungan empat harinya di Jakarta telah bertemu antara lain dengan Presiden Jokowi, sejumlah pejabat dan berbagai wakil kelompok masyarakat, mengatakan bahwa ia telah diundang oleh pemerintah RI untuk mengunjungi Papua. Dan ia berjanji akan mengirim utusan segera ke Papua.

Dalam pernyataan tertulis yang cukup panjang dalam konferensi pers, Hussein menguraikan pandangannya atas berbagai soal yang berkaitan dengan HAM di Indonesia. Ada berbagai isu yang ia singgung, mulai dari eksploitasi sumber daya alam yang mengancam HAM, isu LGBT, revisi Undang-undang Hukum Pidana, hak-hak minoritas, dan pelanggaran HAM di Papua. Selanjutnya ia juga menguraikan saran-saran terkait hal itu.

"Selama kunjungan saya, saya telah mendengarkan dengan seksama suara-suara dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia.....Perempuan petani yang berbicara tentang hak atas tanahnya dan kekhawatiran akan kehilangan karena ekstraksi industri. Seorang ayah dari Papua yang anaknya ditembak. Istri dari pembela HAM yang diracun pada tahun 2004 tetapi pelakunya sampai sekarang masih bebas.Pemeluk agama minoritas yang meninginkan tempat beribadah. Ibu yang kehilangan anaknya pada kekerasan 1998 di Yogyakarta, ibu tua yang berjuang demi keadilan selama 53 tahun setelah dia dipenjara dan mendapat stimatisasi sebagai Komunis pada tragedi 1965....," kata dia dalam teks tertulis yang ia bacakan dalam konferensi pers.

"Mereka semua meminta saya menyuarakan suara mereka, dan saya berterimakasih dan hormat atas keberanian mereka. Saya telah mengungkapkan hal itu dalam pertemuan-pertemuan saya dengan pemerintah," kata dia.

Hussein memuji pencapaian Indonesia, yang membawa negara ini dari okupasi kolonial selama 300 tahun, diikuti dekade pembatasan kebebasan sipil, dan sejak 1998, telah melalui transisi menjadi negara demokrasi yang diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat.

"Saat ini Indonesia adalah satu dari negara-negara paling progresif di wilayah ini dalam soal HAM. Keterlibatan aktifnya dalam isu pengungsi Muslim Rohingya sangat mulia dan dibutuhkan," kata dia.

Ia juga memuji berbagai langkah pemerintah dalam pemenuhan HAM, antara lain dengan adanya Komnas HAM, Komnas HAM Perempuan serta rencana aksi HAM.

Namun, di sisi lain ia mencatat bahwa kendati Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan selama bertahun-tahun, tidak semua rakyat dapat menikmatinya. "Ukuran yang paling benar atas pembangunan dan pertumbuhan ekonomi adalah dampaknya kepada mereka yang paling rentan...."

"Presiden telah mengambil berbagai langkah positif bagi keadilan sosial. Tetapi, kesenjangan masih terjadi dalam hal perlindungan atas hak sosial dan ekonomi."

"Kekurangan gizi dilaporkan telah terjadi di area terpencil di negara ini, termasuk di dataran tinggi Papua, dan banyak lagi yang masih berjuang menghadapi kemiskinan dan mencegah penyakit."
Hussein menekankan bahwa masyarakat harus diberi kesempatan menyuarakan aspirasinya dan turut dalam pengambilan keputusan.

"... bila masyarakat tidak dapat menyuarakan keprihatinannya dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hasil dari pembangunan kemungkinan tidak akan meningkatkan kesejahteraan mereka," kata dia.
Hussein juga menyoroti ekslploitasi sumber daya alam yang mengancam HAM. Ia menyarankan agar Indonesia mengambil langkah serius dalam hal ini.

"Saya mendorong pemerintah Indonesia dan korporasi yang terlibat dalam ekstraksi sumber daya, perkebunan dan perikanan dalam skala luas, mengikuti panduan prinsip dalam bisnis dan HAM yang dibuat PBB untuk menjamin aktivitas bisnis mereka tidak melanggar hak-hak rakyat."

"Saya juga meminta pemerintah untuk menjamin perlindungan pembela HAM, khususnya mereka yang melakukan advokasi terhadap isu-isu pertanahan dan lingkungan, agar mereka tidak dihukum atau dipersekusi dalam menjalankan hak mereka untuk kebebasan berekspresi dan melakukan pertemuan secara damai," ia melanjutkan.

Dalam salah satu paragraf pernyataannya, ia mengatakan, "Saya sangat prihatin perihal meningkatnya laporan penggunaan kekuasaan berlebihan oleh aparat keamanan, pelecehan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang di Papua." 

Di bagian lain pernyataannya, ia mengatakan, "Dalam diskusi dua hari terakhir, pemerintah Indonesia mengundang kami mengunjungi Papua dan kami akan mengirimkan misi segera. Saya berterimakasih atas undangan pemerintah."

Tentang Kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB

Kedatangan Hussein adalah atas undangan pemerintah Indonesia. Kedatangannya kali ini dianggap strategis karena dikaitkan dengan upaya Indonesia memperingati 70 tahun Deklarasi Universal HAM PBB dan 25 tahun Deklarasi Wina dan Program Aksi (VDPA), serta 25 tahun Komisi Nasional (Komnas) HAM.

Lebih jauh, Kemenlu RI menyelenggarakan seminar HAM regional bertema peringatan Deklarasi Universal HAM PBB dan VDPA pada 5 Februari 2018 di Kemenlu yang mengundang perwakilan negara asing di Jakarta. Hussein turut berbicara pada seminar tersebut.

Zeid Ra`ad Al Hussein menjabat sebagai Komisioner HAM PBB sejak 1 September 2014, setelah penunjukannya disetujui pada Sidang Majelis Umum PBB pada 16 Juni 2014.

Al Hussein adalah Komisioner HAM PBB keenam yang mewakil keturunan Asia, serta Muslim dan Arab pertama untuk jabatan tersebut.

Al Hussein pernah menyampaikan surat kepada Menlu RI pada 2016 terkait pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, yang menjadi hukum positif di Indonesia.

Dalam pembukaan Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-29 tahun 2015, ia juga menyampaikan perhatian mengenai kondisi di Papua dan mendorong penyelesaian masalah yang ada melalui rekonsiliasi dan dialog dengan warga Papua.

Ini merupakan kunjungan komisioner HAM PBB ketiga kalinya ke Indonesia, setelah pada 2012 saat dijabat Navi Pillay, kemudian kedatangan Marry Robinson.

Editor : Eben E. Siadari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar