Zeid Ra'ad Al Hussein (Foto: Ist) |
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pada jumpa pers di
akhir kunjungannya di Jakarta hari ini (07/02, Komisioner Tinggi Hak
Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Zeid Ra'ad Al
Hussein, mengungkapkan keprihatinannya yang sangat besar atas penggunaan
kekuasaan yang berlebihan, pelecehan, penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan di Papua.
Namun pada saat yang sama ia juga mengapresiasi keterbukaan
pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam meningkatkan perlindungan Hak
Asasi Manusia (HAM) untuk semua. Hussein yang selama kunjungan empat
harinya di Jakarta telah bertemu antara lain dengan Presiden Jokowi,
sejumlah pejabat dan berbagai wakil kelompok masyarakat, mengatakan
bahwa ia telah diundang oleh pemerintah RI untuk mengunjungi Papua. Dan
ia berjanji akan mengirim utusan segera ke Papua.
Dalam pernyataan tertulis yang cukup panjang dalam konferensi pers,
Hussein menguraikan pandangannya atas berbagai soal yang berkaitan
dengan HAM di Indonesia. Ada berbagai isu yang ia singgung, mulai dari
eksploitasi sumber daya alam yang mengancam HAM, isu LGBT, revisi
Undang-undang Hukum Pidana, hak-hak minoritas, dan pelanggaran HAM di
Papua. Selanjutnya ia juga menguraikan saran-saran terkait hal itu.
"Selama kunjungan saya, saya telah mendengarkan dengan seksama
suara-suara dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia.....Perempuan
petani yang berbicara tentang hak atas tanahnya dan kekhawatiran akan
kehilangan karena ekstraksi industri. Seorang ayah dari Papua yang
anaknya ditembak. Istri dari pembela HAM yang diracun pada tahun 2004
tetapi pelakunya sampai sekarang masih bebas.Pemeluk agama minoritas
yang meninginkan tempat beribadah. Ibu yang kehilangan anaknya pada
kekerasan 1998 di Yogyakarta, ibu tua yang berjuang demi keadilan selama
53 tahun setelah dia dipenjara dan mendapat stimatisasi sebagai Komunis
pada tragedi 1965....," kata dia dalam teks tertulis yang ia bacakan
dalam konferensi pers.
"Mereka semua meminta saya menyuarakan suara mereka, dan saya
berterimakasih dan hormat atas keberanian mereka. Saya telah
mengungkapkan hal itu dalam pertemuan-pertemuan saya dengan pemerintah,"
kata dia.
Hussein memuji pencapaian Indonesia, yang membawa negara ini dari
okupasi kolonial selama 300 tahun, diikuti dekade pembatasan kebebasan
sipil, dan sejak 1998, telah melalui transisi menjadi negara demokrasi
yang diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat.
"Saat ini Indonesia adalah satu dari negara-negara paling progresif
di wilayah ini dalam soal HAM. Keterlibatan aktifnya dalam isu pengungsi
Muslim Rohingya sangat mulia dan dibutuhkan," kata dia.
Ia juga memuji berbagai langkah pemerintah dalam pemenuhan HAM,
antara lain dengan adanya Komnas HAM, Komnas HAM Perempuan serta rencana
aksi HAM.
Namun, di sisi lain ia mencatat bahwa kendati Indonesia menikmati
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan selama bertahun-tahun, tidak
semua rakyat dapat menikmatinya. "Ukuran yang paling benar atas
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi adalah dampaknya kepada mereka yang
paling rentan...."
"Presiden telah mengambil berbagai langkah positif bagi keadilan
sosial. Tetapi, kesenjangan masih terjadi dalam hal perlindungan atas
hak sosial dan ekonomi."
"Kekurangan gizi dilaporkan telah terjadi di area terpencil di negara
ini, termasuk di dataran tinggi Papua, dan banyak lagi yang masih
berjuang menghadapi kemiskinan dan mencegah penyakit."
Hussein menekankan bahwa masyarakat harus diberi kesempatan menyuarakan aspirasinya dan turut dalam pengambilan keputusan.
Hussein menekankan bahwa masyarakat harus diberi kesempatan menyuarakan aspirasinya dan turut dalam pengambilan keputusan.
"... bila masyarakat tidak dapat menyuarakan keprihatinannya dan
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hasil dari pembangunan
kemungkinan tidak akan meningkatkan kesejahteraan mereka," kata dia.
Hussein juga menyoroti ekslploitasi sumber daya alam yang mengancam HAM. Ia menyarankan agar Indonesia mengambil langkah serius dalam hal ini.
Hussein juga menyoroti ekslploitasi sumber daya alam yang mengancam HAM. Ia menyarankan agar Indonesia mengambil langkah serius dalam hal ini.
"Saya mendorong pemerintah Indonesia dan korporasi yang terlibat
dalam ekstraksi sumber daya, perkebunan dan perikanan dalam skala luas,
mengikuti panduan prinsip dalam bisnis dan HAM yang dibuat PBB untuk
menjamin aktivitas bisnis mereka tidak melanggar hak-hak rakyat."
"Saya juga meminta pemerintah untuk menjamin perlindungan pembela
HAM, khususnya mereka yang melakukan advokasi terhadap isu-isu
pertanahan dan lingkungan, agar mereka tidak dihukum atau dipersekusi
dalam menjalankan hak mereka untuk kebebasan berekspresi dan melakukan
pertemuan secara damai," ia melanjutkan.
Dalam salah satu paragraf pernyataannya, ia mengatakan, "Saya sangat
prihatin perihal meningkatnya laporan penggunaan kekuasaan berlebihan
oleh aparat keamanan, pelecehan, penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang di Papua."
Di bagian lain pernyataannya, ia mengatakan, "Dalam diskusi dua hari
terakhir, pemerintah Indonesia mengundang kami mengunjungi Papua dan
kami akan mengirimkan misi segera. Saya berterimakasih atas undangan
pemerintah."
Tentang Kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB
Kedatangan Hussein adalah atas undangan pemerintah Indonesia.
Kedatangannya kali ini dianggap strategis karena dikaitkan dengan upaya
Indonesia memperingati 70 tahun Deklarasi Universal HAM PBB dan 25 tahun
Deklarasi Wina dan Program Aksi (VDPA), serta 25 tahun Komisi Nasional
(Komnas) HAM.
Lebih jauh, Kemenlu RI menyelenggarakan seminar HAM regional bertema
peringatan Deklarasi Universal HAM PBB dan VDPA pada 5 Februari 2018 di
Kemenlu yang mengundang perwakilan negara asing di Jakarta. Hussein
turut berbicara pada seminar tersebut.
Zeid Ra`ad Al Hussein menjabat sebagai Komisioner HAM PBB sejak 1
September 2014, setelah penunjukannya disetujui pada Sidang Majelis Umum
PBB pada 16 Juni 2014.
Al Hussein adalah Komisioner HAM PBB keenam yang mewakil keturunan Asia, serta Muslim dan Arab pertama untuk jabatan tersebut.
Al Hussein pernah menyampaikan surat kepada Menlu RI pada 2016
terkait pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, yang menjadi hukum
positif di Indonesia.
Dalam pembukaan Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-29 tahun 2015, ia juga
menyampaikan perhatian mengenai kondisi di Papua dan mendorong
penyelesaian masalah yang ada melalui rekonsiliasi dan dialog dengan
warga Papua.
Ini merupakan kunjungan komisioner HAM PBB ketiga kalinya ke
Indonesia, setelah pada 2012 saat dijabat Navi Pillay, kemudian
kedatangan Marry Robinson.
Editor : Eben E. Siadari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar