Oleh:
Emelianus Wakei
Bagi Orang Papua akar
masalah dari segala bentuk penindasan terdiri dalam pembagian masyarakat ke
dalam tiga bentuk tingkatan yakni Bawah,
menengah dan atas yang tergolong kedalam Kekersan Kolonialime, kapitalisme
Global dan Imperialisme. Penindasan dapat mengambil banyak bentuk. Di samping
penindasan ketiga bentuk tersebut, kita menemukan penindasan satu bangsa di
atas yang lain, penindasan rasial, dan penindasan terhadap perempuan, khususnya
Perempuan papua dan Umumnya Dunia.
Perkembangan industrialisasi pada abad
17 dan 18 secara radikal telah mengubah tatanan lama di dalam hubungan
keluarga. Dulu kala, sebelum munculnya kepemilikan atas alat produksi dan pembagian
masyarakat Jelata atau masyaraskat tingkat bawah, menengah dan atas, perempuan
dan laki-laki terlibat dalam proses produksi secara setara, dan punya hak yang
sama. Namun, akibat kepemilikan pribadi-lah perempuan terlempar pada kerja
rumah tangga dan berkutat di dalamnya.
Memasuki epos Kolonialieme dan
kapitalisme Global dam Nasional yang barbar ini, “kodrat” perempuan yang semula
berkisar antara kasur-dapur-sumur, menjadi seorang putri-istri-ibu, lengkap
beserta kerja domestiknya, saat ini perannya mulai diperluas untuk menempati
barak-barak pabrik, dan diberbagai bidang Birokrasi atau Karyawan disuatu
Perusahaan berjejer menjadi cadangan tenaga kerja, bekerja sebagai buruh
upahan meski upahnya tidak lebih tinggi daripada laki-laki meskipun porsi
kerjanya bisa dibilang sama. Dalam logika kapitalisme, pada saat yang sama ini
mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi sekaligus mengungkung
mereka dalam batasan keluarga tradisional, yakni bertugas menyiapkan urusan
rumah tangga yang kadang sangat tidak prima akibat Banyak pekerjaan yang
diperjuangkan oleh Kaum Perempuan.
Sebagaimana di belahan dunia yang lain,
masyarakat meletakkan perempuan sebagai warga kelas dua atau dinomor duakan.
Pun di dalam gerakan, kaum perempuan sering kali dipandang sebagai elemen
terbelakang yang kesadarannya begitu susah untuk terdorong ke depan, lemah
berpikir, dan mengedepankan perasaan daripada otak. Begitulah penilaian atas
kaum perempuan, jika kita menggunakan akal sehat. Namun sebagai Kaum Peduli HAM,
kita tidak menggunakan akal sehat, kita menggunakan dialektika. Akal sehat
(logika formal) tidak mampu memahami hal-hal yang sifatnya kompleks.
Dengan dialektika, kita tahu bahwa
setiap hal selalu mengandung benih dari hal lain yang menjadi lawannya.
Gampangnya: setiap kemunduran selalu mengandung potensi untuk terjadinya
kemajuan, tiap kelemahan dapat dibalik menjadi kekuatan, tiap kekuatan dapat
menjadi titik lemah yang mematikan, tiap kelahiran akan membawa kematian dan
tiap kematian adalah bahan bakar bagi sebuah kelahiran baru. Dialektika bekerja
tanpa kasat mata. Ia adalah proses yang terus berlangsung dan tanpa henti.
Tidak melulu berjalan lurus, kadang zig-zag, mengalami proses yang gradual,
stagnasi dan kemunduran, bahkan mengalami lompatan-lompatan. Dalam hal ini
biasa di sebut dengan proses molekular
dalam revolusi.
Kapitalisme dan Perempuan Papua
Saat ini, Kaum Perempuan Papua berjuang
melawan penindasan dan diskriminasi dalam segala bentuk, sembari menunjukkan
bahwa hanya transformasi yang radikal dari masyarakat dan penghapusan
perbudakan Masyarakat jelata yang mampu menciptakan penghapusan perbudakan
dalam segala manifestasinya dan pembentukan masyarakat sosial yang berbasis
pada kemanusiaan, kesetaraan dan kebebasan. Dalam konteks pembebasan perempuan,
penindasan terhadap perempuan berusia sama tuanya dengan saat masyarakat tingkat
Bawah, menengah, dan atas, kepemilikan pribadi, dan negara, mulai terbentuk.
Penghapusannya pun tergantung pada penghapusan Tingkatan, yakni revolusi
sosialis.
Namun, ini tidak berarti bahwa
penindasan terhadap perempuan akan lenyap begitu saja saat kekuatan proletar
mengambil alih kekuasaan. Warisan psikologis dari kelas yang barbar pada
akhirnya akan dapat diatasi secara menyeluruh ketika kondisi sosial diciptakan
untuk pembentukan hubungan yang nyata antara laki-laki dan perempuan.
Pembebasan sejati kaum perempuan, hanya bisa dilakukan saat proletar
menggulingkan Kolonialisme, kapitalisme dan meletakkan syarat-syarat kondisi
untuk pencapaian masyarakat tanpa masyarakat tingkat bawah, menengah, dan atas.
Tidak berarti pula, bahwa perempuan
harus menunggu datangnya revolusi sosialis untuk memecahkan masalah-masalah
mereka, dan sementara itu berserah diri pada diskriminasi, penghinaan dan
dominasi laki-laki. Sebaliknya, tanpa perjuangan sehari-hari di bawah
masyarakat sosial hari ini, sebuah perjuangan untuk revolusi sosialis tidak
akan pernah terpikirkan. Justru melalui perjuangan untuk reforma-reforma lah
kelas pekerja secara keseluruhan akan belajar, mengembangkan kesadarannya,
memperoleh kekuatan sendiri, dan akan meningkatkan level dirinya ke tingkat yang
dituntut oleh tugas sejarah yang lebih besar.
Banyak perempuan-perempuan muda pertama
kali menyadari kebutuhan untuk mengubah masyarakat melalui perjuangan hak-hak
perempuan. Perempuan-perempuan mudah itu sadari akan penindasannya ketika
penjajah Kolonialisme belanda dan Indonesia. Mereka termotivasi oleh rasa
amarah yang disebabkan ketidakadilan dan perlakuan biadab terhadap perempuan
oleh Penguasa dan masyarakat yang munafik, yang mengklaim tunduk pada kepatuhan
atas demokrasi dan kebebasan.
Kebutuhan Akan
Revolusi
Ada banyak tuntutan yang kita bisa dan
harus perjuangkan sekarang: segala bentuk diskriminasi di masyarakat dan tempat
kerja; pembayaran yang sama atas pekerjaan yang sama nilainya; hak perceraian;
perlindungan perempuan atas kekerasan laki-laki; pelecehan seksual, perkosaan
dan kekerasan dalam rumah tangga; perlindungan anak yang berkualitas; dan
sebagainya. Semua hal tadi benar-benar dibutuhkan.
Tetapi, perjuangan untuk pembebasan
perempuan tidak pernah dapat sepenuhnya terwujud atas dasar suatu masyarakat,
di mana yang mayoritas justru didominasi, dikendalikan dan dimanfaatkan oleh
para bankir dan kapitalis. Untuk mengakhiri penindasan perempuan, maka perlu
mengakhiri penindasan kelas itu sendiri. Perjuangan untuk pembebasan perempuan,
karena itu organik terkait dengan perjuangan untuk sosialisme.
Dalam rangka menghadirkan revolusi
sosialis, perlu untuk menyatukan kelas pekerja dan organisasi-organisasinya,
memotong di semua lini bahasa, kebangsaan, ras, agama dan jenis kelamin. Ini
berarti, di satu sisi, bahwa kelas pekerja harus mengambil ke atas dirinya
sendiri tugas memerangi segala bentuk penindasan dan eksploitasi, dan
menempatkan dirinya di kepala semua lapisan masyarakat tertindas, dan di sisi
lain, harus tegas menolak semua upaya untuk membaginya dengan para borjuasi --
bahkan ketika upaya ini dibuat oleh bagian yang tertindas sendiri.
Ada hubungan paralel yang cukup tepat
antara posisi Kaum Adam atas terhadap perempuan dan posisi Adam pada persoalan
Lokal dan Nasional. Kita punya kewajiban untuk melawan segala bentuk penindasan
Masyarakat Lokal dan Nasional. Tapi
apakah ini berarti bahwa kita mendukung nasionalisme? Jawabannya adalah tidak.
Gerakan pembebasan kekinian adalah internasionalisme yang menyebabkan perubahan
Perwujudan Nilai-nilai yang lebih prima. Tujuan kita bukan untuk mendirikan
batas baru tapi untuk melarutkan semua perbatasan di atas federasi sosialis
dunia.
Borjuis dan kaum nasionalis borjuis
kecil memainkan peran merusak dalam membagi kelas pekerja pada garis nasionalis,
bermain-main di wilayah perasaan yang diliputi ketidakmengertian dan kebencian
yang disebabkan oleh bertahun-tahun diskriminasi dan penindasan di tangan para
penindas. Sedikit sekali Perempuan Papua yang mengerti akan Penindasan yang
sesungguhnya terhadap tatanan kehidupan perempuan sehingga Kelompok Perempuan
jelata ini selalu melancarkan perjuangan yang teguh di satu sisi melawan segala
bentuk penindasan nasional, tapi juga di sisi lain terhadap upaya borjuis dan
borjuis nasionalis untuk memanfaatkan masalah nasional untuk tujuan demagog.
Penulis menegaskan kepada Kaum perempuan, bahwa perjuangan untuk mengakhiri
kapitalisme Nasiol dan Global adalah dengan menyatukan kelas pekerja dan juga
dengan Rakyat Jelata dari semua bangsa Papua khususnya dan umumnya Dunia, dan
ini sebagai satu-satunya jaminan nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah
kebangsaan (masalah nasional) di bawah panji federasi sosialis.
Dengan kata lain, Kaum perempuan Saat ini
ditantang oleh perkembangan Globalisme dan berperang melawan segala bentuk
diskriminasi dan penindasan, kita harus tegas menolak setiap upaya untuk
menyajikan masalah sebagai konflik antara laki-laki dan perempuan. Setiap
pembagian antara berbagai kelompok pekerja: perempuan terhadap laki-laki, kulit
hitam terhadap kulit putih, Katolik terhadap Protestan, hanya dapat merugikan
dan membantu melanggengkan perbudakan kelas.
Gerakan
Pembebasan Kaum Perempuan dan Pesan
Penulis menegaskan kepada semua bangsa
bahwa pentingnya emansipasi perempuan dan perlunya meringankan pekerjaan rumah
tangga perempuan sehingga mereka bisa berpartisipasi lebih lengkap dalam
menjalankan masyarakat. Namun, kemampuan bangsa untuk memecahkan berbagai
masalah utama kehidupan sangat dibatasi oleh rendahnya tingkat perkembangan
kekuatan produktif.
Emansipasi nyata perempuan hanya
mungkin bila kelas pekerja sedunia secara keseluruhan terlibat dalam emansipasi
itu sendiri. Sosialisme akan mengizinkan pengembangan bebas dari kepribadian
manusia dan pembentukan hubungan manusia yang sejati antara perempuan dan
laki-laki, bebas dari tekanan eksternal yang brutal, baik sosial, ekonomi atau
agama. Namun, masyarakat seperti ini, mengandaikan tingkat perkembangan ekonomi
dan budaya yang ada di tingkat yang lebih tinggi dari negara-negara kapitalis
yang paling maju.
Di Papua, Sebelum Wilayah Papua Barat
di caplok kedalam bingkai NKRI fondasi seperti ini tidak ada, mengingat
keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan masyarakat saat itu. Oleh karena itu, meskipun kemajuan
besar dimungkinkan oleh revolusi, posisi perempuan di Papua Barat dilemparkan
kembali ke awal, terlebih lagi oleh restorasi kapitalisme Lokal dan Kapitalisme
Global. Posisi perempuan di Papua saat ini jauh lebih buruk dari sebelumnya
(Tahun 1960 an- 2017). Ini tidak boleh mengejutkan siapa pun. Atas dasar
kapitalisme Lokal dan Global, tidak akan pernah ada jalan ke depan, di Papua
Barat atau di manapun.
Bangsa
Papua dan Perempuan Papua harus Bangkit dan Lawan ketidakadilan yang meraja
saat ini di Papua. Tetap pada Posisi Pergerakan perjuangan kebebasan Kebenaran
atas haknya sehingga Perempuan Papua dan Dunia bisah sejajar dengan Kaum
laki-laki sesuai ketentuan-ketentuan yang
tidak bertentangan Hak Asasi Manusia Perempuan.
Disposkan: Suara Wiyaimana Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar