Rabu, 17 Mei 2017

Perlambatan Ekonomi dan Kekerasan Negara terhadap Orang Papua.




Foto doc: Pribadi.
Perlambatan Ekonomi dan Kekerasan Negara terhadap Orang Papua. 

Oleh: Emelianus Wakei

Perlambatan Pertumbuhan ekonomi West Papua menghadirkan sekelumit pertanyaan yang harus bisa dijawab oleh bangsa West Papua. Setelah West Papua dicaplok kedalam Bingkai NKRI, Orang Papua mengalami Ketermarginalan akibat berbagai masalah Pelanggaran HAM hingga Pelanggaran HAM di bidang Ekonomi. Sementara Pertumbuhan  Ekonomi sangat pesat dibeberapa wilayah Lain semakin hari semakin meningkat drastic. sejumlah indikator telah menunjukkan bahwa perekonomian Papua sedang memasuki fase perlambatan bahkan marginalisasi yang dilakukan Pemerintah Indoensia melalui Tindakan kekerasan Militer. Pada Bulan februari di BeritaPapua.com, Gubernur Papua Lukas Enembe, S.IP MH Menegaskan, Pemerintah Provinsi terus berupaya menekan angka kemiskinan turun 27 persen di tanah Papua tapi masih saja angka kemiskinan terus meningkat karena banyak orang miskin dari luar masuk di Papua. Dengan demikian Penyebab utama Ekonomi Papua tidak meningkat adalah karena Perekonomian papua dikuasai Orang Non Papua. Tegas Enembe.

Sungguh Ironis, dan juga kenyataan lain seperti yang di tulis oleh Amaludin01 di Komapas.com bahwa daerah Papua yang pertumbuhan ekonominya terkecil adalah wilayah Papua. Bahkan, Provinsi Papua mencatat pertumbuhan minus, yakni -5,67 persen pada tahun 2011. Akibatnya kontribusi wilayah Papua terhadap perekonomian nasional sejak tahun 2009 sampai 2011 cenderung menurun.  Dengan demikian, Pertumbuhan Perekonomian Papua angkah  yang sangat rendah.

Lantas, bagaimana imbas perlambatan ekonomi ini pada perjuangan rakyat papua  selama 50 tahun bersama indoensia? Menurut Penulis, bahwaAkibat dari terpuruknya kehidupan Orang papua adalah Karena Politik Praktis yang semakin hari semakin Panas terkait masalah pencaplokan West Papua kedalam Bingkai NKRI yang tidak sesuai dengan Mekanisme PBB, yang hingga hingga kini belum juga usai. Masalah Papua dan Indonesia belum berakhir hingga saat ini. Kematian Manusia Papua terus meningkat di Tanah Ciptaan Allah yang Maha Kuasa ini…. Sungguh sangat ironis dengan semua peristiawa ini.



Foto Doc:SuaraPapua.com
Lebih dari 50 tahun, Papua bersama Indenesia: Orang papua tidak pernah merasahkan keadilan di segalah bidang yang selenggarakan oleh pemerintah daerah Papua dan Pemerintah Pusat di atas Tanah papua. Marx mengatakan: “Kapital (modal), oleh karenanya, mensyaratkan kerja-upahan, kerja-upahan mensyaratkan kapital. Mereka saling mengkondisikan satu sama lain; mereka saling melahirkan satu sama lain ... Oleh karenanya, bertambahnya kapital berarti bertambahnya proletariat, yaitu bertambahnya kelas Pekerja .” Inilah potret ekonomi di Papua hari ini, di mana Papua bersama Indonesia  telah terjadi investasi kapitalisme yang besar di Papua Yakni PT.Freeport Indonesia di Papua dan Sebagai hasilnya Penghancuran Rakyat Papua.

Investasi asing (Foreign Direct Investment) ke Indonesia dari Amerika Serikat dan dari berbagai Negara telah meningkat drastis Sejak tahun 1967 hingga saat ini. Perkembangan Ekonomim beberapa tahun terakhir ini dari $4,9 miliar pada 2009, ke $19,9 miliar pada 2012. Pada 9 bulan pertama tahun 2013, investasi asing sudah mencapai $21,2 miliar. Pada 2012, tujuan investasi asing yang terutama adalah sektor pertambangan ($4,3 miliar), yang diikuti lalu oleh sektor industri kimia dan farmasi ($2,8 miliar), industri metal, permesinan, dan elektronik ($2,5 miliar), industri otomotif dan suku cadang ($1,8 miliar). Dan lain-lain Seperti yang di langsir di Kompas.Com

Mayoritas investasi asing masuk ke industri-industri manufaktur besar. Ini bisa dilihat dari berdirinya pabrik-pabrik besar yang ramai dan sibuk di kawasan-kawasan industri seperti di Sorong dan di berbagai wilaya Lain di Indonesia. Sehingga Orang Papua hingga kini Hancur terlantar seperti tidak punya Ayah dan Bapak (Yatim dan Piatu)

Semua Ini menunjukkan betapa rapuhnya basis perekonomian Papua yang hancur, yang bersandar pada “uang murah” dari pemerintahan Indonesia dan AS, “uang murah” yang nantinya harus dibayar oleh rakyat pekerja Amerika Serikat lewat program-program penghematan dan pemotongan anggaran sosial. Ini adalah resep untuk ledakan sosial dan untuk meredehkan Perjuangan Gerakan bangsa Melanesia West Papua di benteng utama Kolonialisme dan kapitalisme Global Dunia.

AS dan pendukung As yaitu Pemerintah Indonesia tidak akan bisa terus menerus menyediakan “uang murah” ini, karena jumlah hutang pemerintahan AS dan pemerintahan Indonesia yang telah dilaporkan di Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2017 tercatat sebesar US$ 321,7 miliar atau tumbuh 2,7 persen (year on year atau yoy). ULN sektor publik US$ 162 miliar dan swasta tercatat US$ 159,7 miliar di periode Februari ini. Dan Hutang pemerintahan AS telah mencapai $17,2 trilyun, yang berarti setiap penduduk Amerika, dari yang baru lahir sampai yang sudah mendekati liang kubur, punya hutang sebesar 54 ribu dolar Amerika. Kita hanya perlu diingatkan bahwa belum lama ini karena masalah defisit anggaran AS harus menutup hampir seluruh pemerintah selama beberapa hari.

Dengan bertambahnya Tekanan Ekonomi iternasional dan Nasional. Politik Kemanan yang dilancarkan Militer Indonesia Rakyat Papua menjadi Korban kekerasan militer di atas tanahnya sendiri. Perubahan Ekonomi bukanlah suatu hal Baru. Namun setiap tahun sering terjadi seluruh Dunia. Sementara rakyat Kecil di perbudak oleh Militernya dan Para Politisi busuk melalui perjuangan Kekuasaan Ekonomi di tambah lagi dengan kapitalis local yang tidak adil terhadap rakyat Kecil. Sungguh sangat Ironis.

Inilah batas dari jalan pemikiran reformisme, yang tajam ketika ekonomi sedang mengalami pertumbuhan, tetapi tumpul – dan menjadi senjata makan tuan – ketika ekonomi mandek atau mengalami kemunduran. Lantas, apa perspektif ekonomi dunia untuk ke depannya? Apakah krisis ini hanyalah sebuah episode singkat yang lalu akan diikuti oleh periode pertumbuhan? Tampaknya pertanyaan ini telah dijawab oleh ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, dalam artikelnya baru-baru ini yang bertajuk “A Permanent Slump?” (17/11):

“Tetapi, bagaimana jika kondisi 5 tahun terakhir adalah normalitas yang baru? Bagaimana jika kondisi-kondisi yang menyerupai depresi akan tetap tinggal, tidak untuk satu atau dua tahun, tapi selama berpuluh-puluh tahun di Dunia bahkan di atas tanah Papua?

“... Sekali lagi, bukti telah mengindikasikan bahwa kita telah menjadi sebuah ekonomi di mana kondisi yang normal adalah kondisi depresi ringan, di mana kemakmuran adalah episode singkat yang terjadi karena gelembung dan kredit yang tidak dapat berkelanjutan.”

Tidak akan ada lagi periode pertumbuhan pesat yang panjang. Normalitas yang baru adalah periode depresi ringan, yang diselingi dengan episode pertumbuhan yang singkat sebagai hasil dari spekulasi.



Foto Doc: Saat Mama Papua menjual Buah Pinang.
Periode pertumbuhan ekonomi di Papua, terutama dalam sektor manufaktur, adalah episode singkat yang bersandar pada spekulasi dari kebijakan “uang murah” atau “quantitative easing”. Perlambatan ekonomi sudah mulai menjelang, dan konsekuensinya sudah bisa terlihat. Tuntutan-tuntutan Rakyat Kecil yang sebelumnya relatif mudah dimenangkan akan semakin sulit diraih karena semakin sempit ruang bagi pemilik modal dan pemerintah untuk memberikan konsesi. Tetapi sebaliknya rakyat papua menang di ganja Internasional. Ini sudah mulai dirasakan oleh para Rakyat Papua dengan adanya dari Berbagai kalangan di Internasional dalam beberapa tahun terakhir ini. Metode-metode perjuangan yang sama  dan akan terus dilahirkan oleh Rakyat papua dengan tujuan untuk membuahkan hasil yang lebih besar.

Selama kita menerima hukum kapitalisme, maka kita akan didikte oleh logika kapitalisme. Pemimpin reformis atau penguasa kolonialisme indoensia yang menerima logika kapitalisme niscaya akan melayani kepentingan kapitalisme, terlepas dari maksud dan kehendak luhur mereka dalam melayani rakyat dengan Uang -0,1% Rupiah.

Kapitalisme sudah memasuki jalan buntu. Ini bukan kesimpulan sembarang dari kaum Marxis, tetapi juga telah disuarakan oleh ekonom-ekonom borjuis besar yang jujur seperti Paul Krugman dan Larry Summers. Kalau kita menerima logika kapitalisme, yakni logika kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan logika pasar, maka perjuangan Rakyat juga akan dituntun oleh logika ini ke jalan buntu.

Perjuangan Rakyat harus melepaskan dirinya dari kerangka kapitalisme, dari paham reformisme yang membatasi dirinya pada kemakmuran penguasa Indonesia di bawah sistem kapitalisme. Gagasan bahwa Rakyatnya bisa makmur sejahtera di bawah kapitalisme, bahwa Rakyat bisa mendapatkan Hasil yang layak sementara memastikan kalau kapitalis juga bisa mendapatkan laba layak, sudah terbukti idealis, utopis, dan bahkan reaksioner.

Perlambatan ekonomi Papua dan krisis ekonomi dunia yang tak tampak ujung akhirnya – sudah menunjukkan kejenuhan historis kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi. Karena posisi ekonominya, yakni sebagai pencipta kekayaan yang sesungguhnya menggerakkan modal, dan posisi politiknya, yakni sebagai satu kekuatan politik yang terorganisir dan sadar, Organisasi gerakan adalah satu-satunya kelas yang bisa menuntun masyarakat ini keluar dari jalan buntu kapitalisme. Merekah-rekah yang menjanjikan jalan tengah kepada organisasi gerakan kemerdekaan adalah Naif dan sulit di percaya karena rakyat percayai sebagai Pemimpin reformimisme yang bersifat Utopis pada Gerakan Maju Orang Papua. 


Disposkan:  Suara Wiyaimana Papua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar