Sejarah 1 Mei 1963 Disebabkan dari Perjanjian New York 1962 - Suara Wiyaimana Papua
Headlines News :

.

.
Home » , , » Sejarah 1 Mei 1963 Disebabkan dari Perjanjian New York 1962

Sejarah 1 Mei 1963 Disebabkan dari Perjanjian New York 1962

Written By Suara Wiyaimana Papua on Selasa, 28 April 2015 | Selasa, April 28, 2015

Ilustrasi. Foto: strategi-militer.blogspot.com
1 Mei 1963 pasti tidak dapat dilupakan oleh setiap Orang Asli Papua (OAP) sebagai Subjek Hukum yang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua diakui secara hukum sebagai Suku Asli di Provinsi Papua dan atau Tanah Papua.

Tanggal 1 Mei 1963 ternyata telah menjadi ingatan sebuah penderitaan (Memoria Passionis) yang cukup panjang bagi segenap anak bangsa Papua semenjak Tanah dan Negeri Nieuw Guinea ini diintegrasikan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kenapa dikatakan sebagai Memoria Passionis? Karena sebagaimana dituturkan oleh sejumlah saksi mata yang beberapa diantaranya telah terekam dalam data yang kami miliki bahwa semenjak tanggal 1 Desember 1961, Pemerintah Kerajaan Belanda yang sedang berkuasa di Tanah Papua kala itu telah membolehkan dikibarkannya Bendera Bintang Pagi (Morning Star) di seluruh negeri Nieuw Guinea tersebut, termasuk di kota-kota Besar seperti Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong dan Merauke.

Semenjak itu, Bendera tersebut (Morning Star) berkibar diatas sejumlah tiang-tiang bendera di kantor-kantor pemerintah Belanda bersama-sama dengan Bendera Kerajaan Belanda berwarna Merah, Putih, Biru

Inilah situasi yang kemudian semakin memberi keyakinan pada diri dan hati setiap anak bangsa Papua bahwa mereka pasti akan memperoleh kebebasan sebagaimana tergubah dalam lagu yang dinyanyikan oleh Grup Band Black Brothers: ...."yang ku damba, yang ku nanti, tiada lain, hanya kebebasan..."

Namun situasi tersebut sirna dan selanjutnya menjadi sebuah ketidakpuasan, karena Pemerintah Belanda yang sudah memberi peluang bagi orang-orang Papua untuk menikmati situasi cikal bakal berpemerintahan sendiri itu justru pergi dan duduk berunding dengan Pemerintah Indonesia untuk menyerahkan Tanah dan Negeri Papua ini kepada Indonesia.

Sayang sekali, karena dalam perundingan yang sudah terjadi sepanjang tahun 1962 tersebut hingga ditanda tanganinya Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962, orang-orang Papua sebagai sebuah komunitas adat yang diakui berdasarkan hukum internasional, justru sama sekali tidak dilibatkan dan bahkan tidak pernah dimintai pendapatnya sama sekali mengenai masa depan mereka dan tanah airnya sendiri.

Inti dari pada Perjanjian New York menyatakan antara lain mengenai soal peralihan kekuasaan administratif pemerintahan yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai "pemerintahan transisi" yang terlibat langsung dalam proses peralihan dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia.

Sekali lagi dengan tanpa memberikan penghargaan dan sebuah penghormatan sama sekali bagi orang-orang Papua yang sekedar menjadi saksi dari semua peristiwa tersebut.

Di dalam pasal XIV hingga pasal XXI diatur mengenai Pemerintahan Indonesia dan Penentuan Nasib Sendiri, yang kemudian dilaksanakan dibawah "pengawasan" Sekretaris Jenderal PBB melalui utusannya yang bernama DR.Ortiz Sanz.

Khusus mengenai soal Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination), sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, sungguh menggelikan ketika membaca dengan baik isi Pasal-pasal di dalam New York Agreement (Perjanjian New York) itu. 

Utamanya mengenai soal yang sangat penting dalam sejarah perjalanan hidup dan peradaban Orang Asli Papua yang sudah berubah sejak Injil didaratkan oleh Ottow dan Geissler 5 Februari 1855 di Pulau Mansinam (114 tahun sebelum Act Of Free Choice di Tanah Papua, 1969).

Kenapa demikian? Karena bagaimana mungkin Pemerintah Indonesia yang oleh isi Perjanjian New York tersebut baru boleh memerintah di Tanah Papua semenjak 1 Me 1963, lalu enam tahun kemudian harus diperhadapkan pada situasi harus menyelenggarakan sebuah kesempatan bagi orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri?

Pasal XVIII dari perjanjian tersebut pada huruf c, menyebutkan bahwa: ..."perumusan pertanyaan-pertanyaan sedemikian rupa agar penduduk dapat menentukan (a) apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia; atau (b) apakah mereka ingin memutuskan hubungan mereka dengan Indonesia..."

Di sinilah letak hal yang menurut pandangan saya sangat menggelikan tapi tidak lucu, karena mana mungkin orang-orang Papua ketika itu maupun saat ini mau memutuskan hubungan mereka dengan Indonesia, sedangkan perjanjian tersebut sudah dirundingkan dan disepakati oleh pihak lain yang secara hukum telah menempatkan mereka dibawah sebuah kekuasaan administratif Pemerintahan Indonesia?

Dengan demikian, dapat dipandang bahwa penyelenggaraan apa yang oleh Pemerintah Indonesia disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di pertengahan tahun 1969 tersebut sesungguhnya sangat ingkar dan bersifat melanggar amanat Perjanjian New York sebagai landasan hukumnya sendiri.

Karena pengambilan sejumlah 1.062 orang wakil-wakil orang Papua untuk ikut dalam Pepera saat itu pasti bisa diperdebatkan dari sisi kepantasan dan kelayakan secara metodologi ilmu statistik juga.

Selain itu, diwarnai dengan sejumlah tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan diduga terencana pada saat itu yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan (TNI dan Polri) saat itu tehadap rakyat sipil cukup memberi sinyal bahwa sesungguhnya ide Perjanjian New York untuk pemberian kesempatan kepada rakyat Papua untuk memilih secara bebas dalam konteks penentuan nasib sendiri sesungguhnya tidak pernah terjadi.

Dengan demikian, keabsahan 1 Mei 1963 sebagai "Hari Integrasi" inilah yang senantiasa oleh sebagian besar rakyat Papua dipandang sebagai "Hari Aneksasi" Indonesia atas Tanah Papua. 

Ini semata-mata disebabkan oleh apa yang sudah saya kemukakan sebelumnya bahwa orang-orang Papua sendiri sejak 15 Agustus 1962, tidak pernah dihargai dan dihormati hak asasinya sebagai salah satu komunitas masyarakat di dunia dan bukan merupakan subjek yang ikut menentukan nasibnya sendiri sejak itu.

Adapun Pepera tahun 1969 sesungguhnya memiliki nilai minus yang sudah semestinya segera dijadikan bahan kajian dan diskursus dalam berbagai kesempatan secara terbuka di alam demokrasi Indonesia, guna memperoleh kesepakatan yang damai.

Hal ini saya sampaikan karena atas dasar "keabsahan" Pepera 1969 yang masih terus dipersoalkan serta 1 Mei 1963 yang dipandang oleh rakyat Papua sebagai "Hari Aneksasi" Tanah Air nya, maka lahirlah slogan "NKRI Harga Mati" yang senantiasa dijadikan sebagai "alat" ampuh bagi aparat keamanan (TNI dan Polri) untuk terus menerus melakukan berbagai tindak kekerasan yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun hingga dewasa ini.

Oleh sebab itu, seharusnya slogan "NKRI Harga Mati" dan "Merdeka Harga Mati" di pihak lain, segera tidak ditonjolkan oleh kedua belah pihak (rakyat Papua dan Pemrintah Indonesia, termasuk TNI dan Polri).

Sangat mendesak dan urgen saat ini untuk mendudukkan persoalan proses peralihan kekuasaan atas Tanah dan rakyat Papua dari sejarah New York Agreement 1962, eksistensi 1 Mei 1963 dan Pepera 1969 sebagai tonggak-tonggak penting yang patut dikaji secara baik menurut prinsip-prinsip hukum, demokrasi dan hak asasi manusia yang berlaku universal bahkan sudah diadopsi pula oleh Pemerintah Indonesia di dalam aturan perundangan yang berlaku saat ini.

Dalam konteks Otsus di Tanah Papua, sebenarnya telah ada peluang di dalam Pasal 46 untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), guna menjalankan tugas dalam konteks mengupayakan berlangsungnya proses klarifikasi sejarah Integrasi Papua tersebut.

Namun demikian, menurut saya, karena hal ini sudah menjadi sebuah aspirasi politik mayoritas rakyat Papua, maka adalah sangat tepat jika hal ini perlu dibicarakan secara terbuka, arif, bijaksana dan imparsial serta saling menghormati dalam sebuah dialog damai.
Ini penting agar kelak hasil dari dialog damai tersebut menjadi sebuah kesepakatan bersama diantara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia dalam merumuskan langkah-langkah penyelesaian konflik sosial-politik tersebut secara damai, demokratis dan berkesinambungan. 

Kesepakatan tersebut sesuai amanat pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk Wetboek/BW) bahwa: ..."semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya..."

Dengan demikian, kesepakatan yang dicapai dalam sebuah Dialog Damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia kelak akan menjadi hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar dalam menentukan segenap langkah penyelesaian hukum dan politik atas segenap konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun diatas Tanah Papua.


Yan Christian Warinussy adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua/Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada/Koordinator Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan pada Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari/Anggota Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua.

Share this article :

0 komentar:

.

.

Pray For West Papua

Pray For West Papua

MELANESIANS IN WEST PAPUA

MELANESIANS IN WEST PAPUA

BIARKAN SENDIRI BERKIBAR

BIARKAN SENDIRI BERKIBAR

GOOGLE FOLLOWER

Traslate By Your Language

WEST PAPUA FREEDOM FIGHTER

WEST PAPUA

WEST PAPUA

VISITORS

Flag Counter
 
Support : WEST PAPUA | WEDAUMA | SUARA WIYAIMANA
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. Suara Wiyaimana Papua - All Rights Reserved
Template Design by WIYAIPAI Published by SUARA WIYAIMANA