Oktovianus Pogau, Pendiri Suara Papua , Jurnalis yang cerdas dan kritis. Dia meninggal pada 31 Januari 2016. (Dok Suara Papua) |
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Nama pendiri sekaligus mantan
pemimpin redaksi portal berita Suara Papua, Oktovianus Pogau, diabadikan
dalam sebuah penghargaan jurnalistik oleh Yayasan Pantau, di Jakarta,
Selasa (31/1/2017).
Imam Shofwan, ketua Yayasan Pantau,
mengatakan, penghargaan Oktovianus Pogau dimulai pertama kali hari ini,
persis setahun sesudah meninggalnya Oktovianus Pogau.
“Kami
berharap agar penghargaan jurnalistik ini akan diberikan setiap tahun,”
kata Sofwan, dikutip dari siaran pers Yayasan Pantau.
Dijelaskan alasannya tak lain adalah memulai penghargaan di bidang jurnalisme dan keberanian.
“Keberanian
dalam jurnalisme serta keberpihakan pada orang yang dilanggar hak
mereka membuat Yayasan Pantau menilai Oktovianus Pogau sebagai model
bagi wartawan Indonesia yang berani dalam meliput pelanggaran hak asasi
manusia.”
Tahun ini penghargaan diberikan kepada Febriana Firdaus,
yang saat ini menjadi wartawan freelance, atas keberaniannya, antara
lain dalam meliput tragedi 1965 hingga diskriminasi terhadap kaum LGBT,
yang banyak tak dimengerti wartawan.
Menurut Sofwan, nama
Oktovianus Pogau dipilih untuk penghargaan ini istimewa, selain karena
reputasi pribadi Okto, juga karena reputasi portal berita yang dia
dirikan lima tahun lalu.
“Suara Papua selama ini dikenal kritis
dalam menyuarakan pelanggaran HAM di Papua dan sempat diblokir oleh
pemerintah,” tulisnya di siaran pers itu.
Aktivitas jurnalis
sebenarnya sudah dimulai Okto sejak masih status pelajar di Nabire.
Portal berita Suara Papua kemudian didirikan untuk menjawab kebutuhan
publik akan informasi, juga karena tak banyak media massa memberitakan
soal Papua secara berimbang.
Arnoldus Belau, pemimpin redaksi
Suara Papua, sepeninggal Oktovianus Papua setahun lalu, menjelaskan,
portal berita Suara Papua didirikan almarhum Okto pada 10 Desember 2011,
persis pada hari hak asasi manusia internasional.
Kata Belau,
orang Papua bangga pada Oktovianus Pogau. Ia pemuda berani, kritis dan
punya prinsip kuat. Melalui media Suara Papua, berusaha menyuarakan apa
yang terjadi di Papua dari kacamata orang Papua, tentu dengan
prinsip-prinsip jurnalistik yang berlaku di negara Indonesia.
Semasa
hidupnya, Oktovianus Pogau yang lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992,
punya niat besar untuk ubah cara berpikir orang di luar sana.
Banyak sekali karya jurnalistik dari Oktovianus Pogau di media yang dipimpinnya, juga di media massa lain.
Salah
satu reportase eksklusif adalah pembubaran peserta Kongres Papua III di
Jayapura, Oktober 2011. Okto melaporkan tindakan represif aparat
keamanan, dimuat di Jakarta Globe.
“Okto Pogau adalah wartawan
pertama yang melaporkan penembakan polisi dan militer Indonesia ketika
membubarkan acara yang berlangsung damai tersebut. Dia saat itu
menelepon saya dan terdengar deru truk dan tembakan,” kata Shofwan.
Di
tengah situasi demikian, lanjut Sofwan, Okto berani mengambil foto
ketika militer dan polisi Indonesia menggunakan kekuatan secara
berlebihan. Tiga orang meninggal luka tembak dan lima orang Papua
dipenjara dengan vonis makar.
Kegelisahan karena tak banyak media
Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau mendirikan
Suara Papua pada 10 Desember 2011.
Baru berjalan empat tahun,
Pogau meninggal dunia di usia 23 tahun. Ia menghembuskan napas terakhir
di rumah sakti Dian Harapan, Waena, Jayapura, 31 Januari 2016.
Bentuk Penghargaan
Yayasan
Pantau mencatat Oktovianus Pogau adalah seorang penulis sekaligus
aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah
gagasan-gagasan politiknya.
“Dia tak pernah jadi sekadar jurnalis
namun memakai pengetahuan dan jaringan perkenalannya buat mendorong
advokasi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial serta budaya orang
Papua,” demikian siaran pers Yayasan Pantau.
Tak pelak, pilihan
ini sering membuat pria bertubuh mungil ini menghadapi masalah. Okto
bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi pemuda
Papua, yang menggugat penguasaan Indonesia terhadap Papua Barat. Dia
pernah menjadi anggota organisasi ini–ketika kuliah di Universitas
Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, namun sadar bahwa dia harus menjaga
independensi.
Okto saat menjalankan tugas jurnalistik pernah
dianiaya polisi. Ia dianiaya saat meliput aksi demonstrasi KNPB di
Manokwari, Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung menolak
melakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan, namun
melakukan aktivitas politik.
Ia juga sering menulis pembatasan
wartawan internasional meliput di Papua Barat. Juga memprotes pembatasan
pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat
kegiatan mata-mata.
Tak hanya itu. Okto secara tak langsung
membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 meminta birokrasi Indonesia
hentikan pembatasan wartawan asing. Sayangnya, perintah Jokowi belum
dipenuhi total.
Pada 4 November 2016, Kementerian Informasi dan
Komunikasi blokir website Suara Papua, media yang didirikan Okto, tanpa
alasan jelas. Menurut Yayasan Pantau, ini memperlihatkan ketakutan
pemerintah Indonesia akan diungkapkannya berbagai kekeliruan kebijakan
yang diterapkan di Papua Barat. Blokir dibuka pada 20 Desember 2016
sesudah protes Suara Papua dan advokasi dari LBH Pers di Jakarta.
Coen
Husain Pontoh, yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan,
“Pogau berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani
mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak
berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan
polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”
Pemenang Penghargaan
Hari
ini, Febriana Firdaus menerima penghargaan keberanian dalam jurnalisme.
Ia dinilai sebagai seorang wartawan yang punya nyali meliput beberapa
kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Karena itu, ia mendapatkan
Penghargaan Oktovianus Pogau untuk Keberanian dalam Jurnalisme dari
Yayasan Pantau.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander
Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak),
Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta), Coen Husain Pontoh (Indo
Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru) dan Yuliana
Lantipo (Jubi, Jayapura).
Imam Shofwan yang menyerahkan plakat
penghargaan dari kayu dan logam buat Febriana Firdaus menjelaskan,
mantan jurnalis Jawa Pos ini meliput tragedi 1965, sesuatu yang sulit
sekali, sampai diskriminasi terhadap kaum LGBT, yang banyak tak
dimengerti wartawan.
“Dia haus pengetahuan dan berani. Dia punya kualitas wartawan bermutu,” kata Shofwan.
Diakui,
Febriana mencerminkan keberanian yang juga diperlihatkan Oktovianus
Pogau. “Ini upaya kecil memajukan jurnalisme dan menyemangati
wartawan-wartawan muda untuk setia pada jurnalisme bermutu,” ujarnya.
Jurnalis
kelahiran Kalisat di Kabupaten Jember pada 1983 itu menyelesaikan studi
di Universitas Airlangga, Surabaya, pada tahun 2007. Setelah bekerja di
harian Jawa Pos, lantas lima tahun bekerja buat Tempo di Jakarta sampai
2014 termasuk ikut bagian investigasi Tempo.
Setelahnya Febriana
pindah ke multimedia Rappler, perusahaan asal Manila, cabang Jakarta.
Pada Juni 2016, ketika meliput protes Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI) terhadap seminar anti-pengungkapan tragedi
1965, Febriana diintimidasi segerombolan orang Front Pembela Islam.
Rappler dituduh pro-komunis maupun pro-LGBT. Febriana memutuskan mundur
dari Rappler karena beda pendapat soal prosedur liputan 1965. Dia kini
menulis freelance buat BBC, Jakarta Post, Time dan Vice serta ikut tim redaksi blog Ingat 65.
Sekedar
diketahui, Yayasan Pantau organisasi yang bertujuan meningkatkan mutu
jurnalisme di Indonesia. Ia didirikan pada 1999, mulanya berupa majalah
Pantau hingga 2003, lantas lebih banyak bikin pelatihan jurnalisme,
riset media dan penerbitan buku soal jurnalisme.
Pewarta: Mary Monireng
0 komentar:
Posting Komentar