BALI, SATUHARAPAN.COM - Ancaman Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu terhadap negara Solomon Islands yang
disampaikan melalui Pemerintah Australia, memunculkan pertanyaan. Selain
dinilai berbeda dengan arah diplomasi yang diambil oleh Kementerian
Luar Negeri, pernyataan tersebut juga diperkirakan dapat mengganggu
hubungan bilateral Solomon Islands dan Australia.
Dua pakar ilmu politik mengatakan hal itu dalam kesempatan dan tempat
terpisah yakni Stewart Firth, peneliti pada Australian National
University dan Adriana Elisabeth, peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI).
Pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu di sela-sela dialog
tahunan (2 + 2 Dialogue) Indonesia-Australia di Bali pekan lalu telah
menjadi pemberitaan ramai oleh sejumlah media. Kepada wartawan di luar
agenda resmi pertemuan yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri bersama
Menteri Pertahanan dari kedua negara untuk memperkuat hubungan kerjasama
bilateral, Ryamizard mengatakan dirinya telah meminta Australia untuk
menegur Kepulauan Solomon.
"Tolong sampaikan ke negara Solomon (dan) ke enam negara itu
(Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Palau, Tonga dan Tuvalu) jangan
pernah menganggu-ganggu atau mengajak Papua bergabung, memangnya siapa
dia," kata Ryamizard, dikutip oleh berbagai media.
Australia merupakan negara pemberi bantuan kepada Solomon Islands
melalui Regional Assistance Mission to Solomon Islands atau Misi Bantuan
Regional bagi Kepulauan Solomon (RAMSI). Ryamizard menganggap jika
Australia yang menyampaikannya akan lebih didengar oleh negara yang
sebagai ketua Melanesian Spearheard Group (MSG), gencar menyuarakan
perlunya PBB melakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM di Papua.
Menurut Ryamizard, Indonesia selama ini tidak pernah mencampuri
urusan negara lain. Ia mengibaratkan Indonesia macan tidur. Jika
diganggu Indonesia siap mengambil tindakan, bahkan istilah yang dia
pakai adalah menerkam.
"Jangan pernah membangunkan macan tidur. Sekali dua kali marah juga.
Kita ini macan bukan tikus kita bisa menerkam kemana saja kalau kita
diganggu. Kalau macan enggak diganggu itu biasa aja ,, kalau diganggu tahu sendiri," tegasnya.
Menurut Ryamizard, permintaan Indonesia itu diterima oleh Australia.
Dalam pertemuan bilateral itu, Australia diwakili oleh Menteri
Pertahanan Marise Ann Payne dan Menteri Luar Negeri Julie Bishop
sedangkan Indonesia diwakili oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
dan Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri
Desra Percaya.
Menolak Intervensi dengan Intervensi Baru?
Adriana Elisabeth, kepala Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang belum lama ini meluncurkan
revisi Papua Road Map yang mengusulkan kerangka dialog bagi penyelesaian
masalah Papua, mengatakan, pernyataan Menhan tidak memiliki dampak
langsung bagi penyelesaian masalah Papua, kecuali bila basisnya
kepentingan kerjasama Australia di Pasifik Selatan dengan Solomon
Islands.
Adriana meragukan apakah Australia akan bersedia menyampaikan pesan
Menhan, karena Australia sebenarnya tidak ingin isu Papua mendominasi
hubungan mereka dengan negara-negara Pasifik. Menurut dia, jika isu
Papua mendominasi dalam kerjasama Australia dengan negara-negara
Pasifik, itu tidak baik bagi mereka. "Kalau isu Papua mendominasi, maka
akan mengganggu kerjasama Australia di kawasan itu," kata Adriana kepada
satuharapan.com.
Adriana sedikit heran atas pernyataan tersebut karena, menurut dia,
jika Indonesia meminta Australia menegur Solomon Islands, Australia
justru akan dianggap mencampuri urusan negara Solomon dengan Indonesia.
Padahal, Indonesia tidak ingin negara lain mencampuri urusan dalam
negerinya.
"Ini akan mengganggu hubungan bilateral Australia dengan Solomon," lanjut dia.
Adriana menilai Australia tidak akan mau mengurbankan kepentingannya
dengan melaksanakan permintaan Menhan. Ia pun menduga, pernyataan Menhan
bukan merupakan cermin diplomasi resmi yang dijalankan Kemlu RI.
"Esensi pernyataan Menhan tetap ikut campur urusan dalam negeri
negara lain. Kecuali bila Menhan RI minta dukungan Australia untuk
keutuhan Indonesia dengan Papua sebagai bagian dari kedaulatan
Indonesia," kata Adriana.
Pasifik juga Negara Berdaulat
Stewart Firth, peneliti pada Program Negara, Masyarakat dan Tata
Kelola di Melanesia di Australian National University, menilai Menhan
telah salah menafsirkan hubungan Australia dengan negara-negara Pasifik.
"Mereka itu (negara-negara Pasifik, Red) adalah negara berdaulat. Dan
khususnya dalam kasus Kepulauan Solomon, Kepulauan Solomon memiliki hak
untuk melakukan itu (berbicara tentang Papua) sebagai negara berdaulat,
dan Australia tidak dalam posisi yang baik untuk memberitahu mereka
secara berbeda," kata Firth, sebagaimana ditulis oleh Radio New Zealand.
"Satu hal yang bagi negara-negara Pasifik sangat bernilai adalah kedaulatan mereka," ia melanjutkan.
Firth mengatakan, dengan adanya bantuan Australia kepada Solomon
bukan berarti negara itu dapat mendikte kebijakan luar negeri negara
yang mendapatkan bantuan.
"Tentu saja ada bantuan bilateral besar yang berlanjut, tapi itu
tidak berarti Anda kemudian dapat menentukan kebijakan luar negeri suatu
negara," kata dia.
Firth menengarai bahwa Jakarta semakin sensitif terhadap isu Papua
tercermin dari reaksi yang berbeda-beda dari para menteri. Ia juga
menduga Indonesia cemas bila United Liberation Movement for West Papua
(ULMWP), -- yang oleh Indonesia dicap sebagai kelompok separatis --
diterima di Melanesian Spearhead Group (MSG) sebagai anggota penuh, akan
dipandang sebagai simbol kemenangan bagi aktivis pro penentuan nasib
sendiri Papua.
Di Luar Agenda Resmi
Kendati ramai menjadi pemberitaan, apa yang dikemukakan Ryamizard
Ryacudu tampaknya bukan menjadi agenda bahkan sikap resmi pemerintah
Indonesia. Dalam laman resmi Kementerian Pertahanan, isu mengenai Papua
tidak dicatat sebagai hasil pertemuan.
Sebagaimana dilansir dari laman resmi Kemhan,
dialog yang dilaksanakan untuk keempat kalinya tersebut menghasilkan
kesepakatan bersama terkait upaya meningkatkan dan memperkuat hubungan
kedua negara dalam kerjasama luar negeri dan kerjasama pertahanan. Di
antaranya kerjasama di bidang keamanan maritim, kerjasama kontra
terorisme, kerjasama di bidang pasukan penjaga perdamaian, kerjasama
industri pertahanan dan kerjasama di bidang keamanan cyber.
Terkait kesepakatan kerjasama di bidang keamanan maritim, kedua pihak
sepakat untuk mendiskusikan langkah-langkah praktis untuk memperdalam
dan memperluas kerjasama di bidang kemananan maritim, serta
mengapresiasi kerjasama yang telah dilaksanakan selama ini termasuk
pelaksanaan patroli maritim terkoordinasi kedua negara pada tahun 2016.
RI dan Australia juga kembali menegaskan komitmen untuk bekerjasama
dalam isu-isu maritim melalui inisiatif regional seperti ASEAN dan India
Ocean Rim Association (IORA). Kedua pihak juga bertukar pandangan
tentang perkembangan terakhir, tantangan keamanan dan cara-cara untuk
mendorong stabilitas di Laut China Selatan dan Laut Sulu.
Sementara terkait kerjasama di bidang kontra terorrisme, Indonesia
dan Australia sepakat dan berpandangan bahwa kerjasama kontra-terorisme
menjadi salah satu pilar terkuat dari kerjasama keamanan kedua negara.
Kedua negara juga berkomitmen untuk meningkatkan kerjasama keamanan
regional dan global melalui Jakarta Center for Law Enforcement (JCLEC),
dan mekanisme bilateral lainnya yang terkait dengan deradikalisasi
ekstremis dan kerjasama di bidang intelijen.
Dalam bidang kerjasama pasukan pemelihara perdamaian, kedua negara
menyambut kolaborasi dan kerjasama antara Indonesia dan Australia
sebagai Ketua Bersama dari ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM) – Plus
Expert Working Group (EWG) on Peacekeeping Operations (2017-2020).
Kedua negara sepakat bahwa operasi penjaga perdamaian memiliki peran
penting dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia.
Kedua pihak mendukung visi dan target Indonesia untuk memberikan
kontribusi sebanyak 4.000 pasukan penjaga perdamaian pada 2019, serta
meningkatkan pasukan penjaga perdamaian perempuan dalam misi penjaga
perdamaian.
Sedangkan kerjasama di bidang industri pertahanan kedua negara
berkeinginan untuk menjajaki kerjasama di bidang industri pertahanan dan
kerja sama modernisasi militer seperti melalui kesepakatan industri
pertahanan kedua negara untuk mengembangkan kendaraan lapis baja.
Terakhir kerjasama di bidang siber, Indonesia dan Australia sepakat
untuk meningkatkan kerja sama keamanan di bidang keamanan siber yakni
melalui penguatan kerjasama pembangunan kapasitas pertahanan siber kedua
negara.
Editor : Eben E. Siadari
0 komentar:
Posting Komentar