Filep Karma (Foto: Eben E.Siadari) |
JAKARTA,
SATUHARAPAN.COM - Seorang Tokoh Papua mengatakan cara dan intensnya pemberitaan
media massa, terutama televisi, tentang kasus kopi bersianida yang menyebabkan
terbunuhnya Wayan Mirna Salihin dan mendudukkan Jessica Kumala Wongso di kursi
terdakwa, melukai hati rakyat Papua.
Bukan
karena rakyat Papua tidak berempati pada hilangnya nyawa dalam kejadian
tersebut, melainkan karena begitu gencarnya media meliput dan mengambil ruang
perhatian publik, namun pada saat yang sama melupakan pemberitaan tentang
berbagai pelanggaran HAM yang juga menghilangkan nyawa di Papua.
Hari
ini sidang mengenai kasus pembunuhan itu akan memasuki pembacaan vonis oleh hakim,
setelah selama berbulan-bulan tayangannya menghiasi layar televisi. Stasiun
televisi menyiarkan langsung sidang tersebut, mewawancarai para saksi dan
pengacara, sering kali pada segmen prime time, yang dianggap paling mahal dan
paling disaksikan oleh pemirsa.
Di
sisi lain, kasus terbunuhnya empat pelajar di Paniai oleh aparat keamanan, yang
oleh para aktivis HAM disebut sebagai sebuah tragedi kemanusiaan di negara
demokrasi, hingga saat ini tak pernah mendapat perhatian televisi. Kalaupun
ada, hanya sejenak kemudian terlupakan.
Ungkapan
kekecewaan ini disampaikan oleh tokoh Papua dan mantan tahanan politik,
Filep Karma, ketika berbicara di kantor Setara Institute, Jakarta, Rabu
(26/10).
"Media
massa hanya sebentar memberitakannya (kasus Paniai). Sementara kasus Mirna dan
Jessica berbulan-bulan disiarkan terus. Tidak ada harga nyawa orang Papua di
negara ini," kata Filep Karma, yang mendekam selama 11 tahun di penjara
karena mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan kemudian dibebaskan oleh
Presiden Joko Widodo.
Filep
Karma mengatakan hal itu ketika berbicara kepada para wartawan yang
menanyakannya berbagai hal tentang kondisi di Papua. Filep Karma menagih
janji Presiden Joko Widodo, yang pernah mengatakan dalam enam bulan kasus
Paniai akan selesai. Tetapi hingga saat ini kasus ini belum juga diungkap.
"Rakyat
Papua sudah dari dulu selalu diberi janji. Kami hidup dari janji ke janji.
Sudah hilang percaya juga. Dan media massa juga begitu. Kasus Paniai ini hanya
muncul sejenak. Lalu hilang. Jadi kalau di bilang sudah hilang harapan, mungkin
ya juga," kata Filep Karma, yang selalu menyelipkan bendera Bintang Kejora
seukuran kartu nama di dadanya.
Kasus
Paniai
Kasus
Paniai, atau sering juga disebut Tragedi Paniai adalah peristiwa terbunuhnya
empat pelajar di Paniai pada 7 Desember tahun lalu. Keempat korban meninggal
itu adalah adalah Simon Degey, Apinus Gobay, Alfius Youw, dan Yulian Yeimo.
Sementara
itu, korban yang sempat dirawat adalah Otinus Gobay, Oni Yeimo, Yulian Mote,
Oktavianus Gobay, Noak Gobay, Bernadus Magay, Akulian Degey, Agusta Degey,
Abernadus Bunay, Neles Gobay, Jerry Gobay, Marci Yogi, Oktaviana Gobay, Yulian
Tobay, Andreas Dogopia, Yulita Edoway, dan Jerry Kayame.
Tragedi
itu bermula dari kedatangan mobil Toyota Rush hitam bernomor polisi B2938CD
sekitar pukul 20.30 WIT di Bukit Togokutu, Kampung Ipakiye, Distrik Paniai
Timur, Kabupaten Paniai, Papua. Pada malam 7 Desember itu, anak-anak dan remaja
Paniai tengah berada di pos Natal.
Oknum
yang diduga anggota TNI tersebut melewati jalan tanpa menyalakan lampu.
Kemudian para remaja itu memperingatkan untuk menyalakan lampu. Namun, oknum
anggota yang sampai saat ini tidak terungkap pelakunya tersebut tidak terima
karena diperingatkan para remaja untuk menyalakan lampu kendaraan. Kemudian
mereka melakukan penganiayaan terhadap beberapa anak yang berada di pos
tersebut.
Menurut
pengakuan masyarakat setempat, sekitar tujuh orang anggota TNI dan tim khusus
(timsus) Yonif 753 Pos Uwibutu turun dari mobil melepaskan tembakan tiga kali
ke udara dan menyerbu sekitar 12 anak muda yang menjaga Pondok Natal.
Selanjutnya,
pada 7 Desember malam, keluarga mengaku ingin bertemu pihak Polres untuk
meminta penyelesaian tragedi tersebut. Keluarga juga ingin mengklarifikasi hal
itu.
Namun
rupanya masalah itu tidak kunjung selesai. Pihak Polres menjanjikan akan
menyelesaikan pagi hari. Akan tetapi sampai pukul 07.00 WITA tidak ada
kelanjutan dari pihak Polres untuk mempertemukan pelaku dan korban.
Kemudian
masyarakat melakukan protes dengan melakukan pemalangan jalan. Protes itu
dianggap sebagai bentuk suara rakyat menanggapi arogansi aparat yang
berlebihan. Tiba-tiba datang satu mobil yang menurut dugaan mereka adalah mobil
yang semalam melintas, yang datang dan melakukan penganiayaan. Mereka
menghentikan mobil dan menyuruh orang dalam mobil itu keluar.
Ternyata
mobil tersebut berisikan anggota TNI, dalam hal ini anggota Batalyon 753. Mobil
aparat tersebut dirusak oleh anak-anak ini. Setelah kejadian ini, anak-anak
berlari ke sebuah lapangan dekat Markas Koramil, kantor distrik, dan Polsek.
Mereka menari-menari di lapangan itu, menari tarian adat.
Tidak
lama kemudian, ada suara tembakan dari Koramil. Karena merasa ditantang,
anak-anak ini maju ke arah Polsek. Namun ternyata sudah banyak aparat yang
disiagakan. Anak-anak ini kemudian berlari. Sayangnya, persis di tengah
lapangan itu anak-anak ini terkepung. Mencoba melarikan diri dan menghindar,
anak-anak ini malah ditembak oleh aparat.
Keluarga
Menolak Otopsi
Salah
seorang aktivis HAM yang ikut dalam Tim Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM di
Papua yang dibentuk oleh Kemenkopolhukam, Matius Murib, mengatakan, dari 13
kasus pelanggaran HAM di Papua yang sudah ditetapkan oleh Tim, kasus Paniai
dinyatakan satu dari tiga kasus yang sudah selesai dengan bukti-bukti yang
sudah lengkap. Kasus ini siap untuk dibawa ke pengadilan.
Meskipun
demikian, kata Matius Murib, pihak keluarga menolak untuk diadakan autopsi
sehingga membuat penyelesaiannya masih tertunda.
Di
lain pihak, keluarga korban Paniai dalam sebuah pernyataan yang diterima oleh satuharapan.com,
mengatakan mereka menolak semua tim investigasi bentukan pemerintah karena
mereka tidak mempercayainya lagi. Mereka mengusulkan kepada Presiden Joko
Widodo agar mengizinkan Pelapor Khusus PBB untuk menyelidiki kasus ini.
"Jika
demikian halnya, akan bertambah sulit. Tetapi Kemenkopolhukam tampaknya akan
terus melakukan pendekatan terhadap keluarga. Bupati Paniai sekarang kan ketua
Partai Hanura di Paniai," kata Matius Murib kepada satuharapan.com ketika
ditemui di Jakarta, Rabu (26/10). Menkopolhukam Saat ini, Wiranto, adalah
mantan Ketua Umum Partai Hanura.
Brutalitas
Aparat masih Terjadi
Matius
Murib mengakui tingkat kepercayaan rakyat Papua masih rendah terhadap Jakarta,
terutama karena brutalitas aparat masih terjadi. Ia mencontohkan maklumat
Kapolda Papua yang melarang Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk melakukan
aksi. Padahal, aksi-aksi mereka tidak dilakukan dengan kekerasan.
"Jadi
walaupun Pak Jokowi berkunjung 1000 kali ke Papua, jika brutalitas aparat masih
terjadi, tidak akan tercapai kepercayaan," kata dia.
Ia
juga mengangkat contoh janji Presiden Jokowi di Lapangan Mandala yang
mengatakan kasus Paniai akan diselesaikan dalam enam bulan. Itu pun tidak
terlihat sampai saat ini.
"Sehingga
apa pun omongan Pak Jokowi agak sulit untuk dipercaya karena tidak ditindak
lanjuti bawahannya," kata Matius Murib.
Dalam
kasus terbunuhnya pemimpin adat Papua, Theys Hiyo Eluay pada tahun 2001, Matius
Murib mengatakan para oknum TNI terdakwa yang terlibat pembunuhan itu justru
dipromosikan, dan bahkan ada yang kini sudah menjabat sebagai Kabais TNI.
Menurut
Matius Murib, pemimpin adat Papua yang kritis menyuarakan ketidak adilan di
Papua, telah dipandang sebagai musuh negara. Sehingga yang membunuhnya justru
diberi apresiasi.
"Jadi
ke depan ini masih sulit melihat keadilan HAM di Papua," kata dia.
Namun,
ia juga menggaris bawahi ada kemajuan yang sudah dicapai dan patut diapresiasi.
Menurut dia, dibentuknya Tim Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua oleh
Kemenkopolhukam, adalah sebuah langkah maju. Hal ini baru ada di bawah
pemerintahan Jokowi dan belum pernah ada sebelumnya. Selain
itu, adanya pengakuan 13 pelanggaran HAM di Papua yang sudah ditetapkan oleh Tim,
menurut dia, merupakan bukti adanya niat baik pemerintah.
Editor
: Eben E. Siadari
0 komentar:
Posting Komentar