Document : Melky G / Anggota KNPB Konsulat Indonesia Tengah |
JAYAPURA - Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik dan HAM
Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung, mengatakan, proposal Papua menjadi
anggota MSG yang disampaikan oleh perwakilan masyarakat Papua di Pasifik
Selatan, yakni organisasi ULMWP pada 5 Februari 2015 lalu akan segera dibahas
secara resmi dalam forum pertemuan Menteri-Menteri Luar Negeri negara-negara
anggota MSG pada 21 Mei 2015 mendatang di Vanuatu.
Dalam pembicaraan itu, dipastikan Proposal Papua akan segera disahkan
menjadi salah satu rekomendasi utama untuk dijadikan agenda pembahasan dan
pengesahan dalam pertemuan kepala-kepala negara anggota MSG di Honiara,
Kepulauan Salomon.
Perhitungan secara politis, Papua berpeluang besar menjadi anggota MSG,
walaupun Presiden Jokowi sudah secara langsung mengungjungi PNG dan memberikan
tekanan diplomatik kepada MSG untuk mendukung Indonesia soal Papua atau MSG
tidak boleh ikut campur masalah dalam negeri Indonesia karena ini menyangkut
soal kedaulatan negara.
Bahkan tekanan dalam bentuk ancaman militer ke MSG juga ditunjukan
Presiden Jokowi dengan memarkir empat Pesawat Tempur Super Sonic Jenis Sukhoi
buatan Rusia di Bandara Sentani dan Biak dalam beberapa bulan terakhir ini
untuk memperingati MSG tentang sikapnya yang mendukung Papua masuk dalam
kumpulan keluarga Melanesia.
Dalam hubungan internasional, prinsip ancaman militer Indonesia ini
dibenarkan karena paham realisme yang menjadi mainstream utama hubungan
internasional dengan slogan ‘Civis Pacem Parra Bellum’, Artinya, jika ingin
damai, bersiaplah untuk perang’. Akan membenarkan aksi militer Indonesia ke
negara-negara MSG, bila Papua masuk menjadi anggota MSG, maka Indonesia siap
perang terbuka dengan MSG Pasifik. Dan apakah Papua akan menjadi anggota MSG
dan akan ada invasi militer Indonesia ke MSG?.
“Membaca peluang Proposal Papua ke MSG, Papua berpeluang masuk menjadi anggota MSG karena alasan paling kuat bahwa negara-negara MSG, khususnya Vanuatu, tidak menunjukan sikap yang menghormati asas resiprokal atau resprositas dalam hukum internasional,” tandasnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Senin, (18/5).
Asas resiprositas adalah asas hukum yang diatur pasal 9 Konvensi Wina
1961 tentang hukum diplomasi, dimana asas ini mengandung prinsip timbal balik.
Tindakan suatu negara terhadap negara lain, harus mendapat tindakan balasan
yang sama dari negara lain tersebut. Indonesia telah menunjukan kebaikannya
dengan mengucurkan bantuan ekonomi dan keuangan sebesar Rp2,8 Trilyun untuk
pembangunan dan rekonstruksi ulang pembangunan negara Vanuatu akibat bencana
alam, tetapi sepertinya tidak cukup mempengaruhi Vanuatu untuk merubah
posisinya tentang dukungannya terhadap keanggotaan Papua MSG.
Pelanggaran Vanuatu dan negara-negara MSG terhadap asas resiprositas ini
yang menjadi alasan paling kuat dirinya melihat Papua akan diterima menjadi
anggota MSG, meskipun di kalangan elit politik dan pejabat negara-negara
anggota MSG belum terlihat satu suara mendukung atau menolak proposal Papua.
Tapi ditingkat gross root, akar rumput, sebagian besar masyarakat Melanesia
mendukung Papua kembali berkumpul dalam keluarga besar Melanesia, lepas dari lingkungan
keluarga besar Melayu.
Harapan dirinya, Papua tidak harus lepas dari Indonesia, tapi sikap
Pemerintah yang tidak serius mendukung dialog damai Jakarta-Papua dan
membiarkan kasus pelanggaan HAM berat Paniai 8 Desember 2014 lalu tetap menjadi
misteri dan tidak terungkap, menjadi amunisi politik paling kuat pengaruhnya
saat ini dalam menentukan status Papua di MSG.
Negara-Negar MSG ingin melihat komitmen dan keseriusan Jokowi menyelesaikan Papua melalui dialog damai Jakarta Papua tetapi sepertinya harapan MSG terhadap solusi bermartabat dan memiliki rasa hormat terhadap nilai kemanusiaan dan harga diri orang Melanesia di Papua ini tidak akan dilaksanakan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Papua dan negara-negara MSG. Presiden Jokowi memiliki interprestasi sendiri tentang dialog Jakarta Papua yang tidak akan pernah bisa menyelesaikan akar persoalan Papua.
“Konsep dialog Papua Jakarta model Presiden Jokowi hanya
meredahkan konflik tetapi tidak bisa menyelesaikan konflik. Tindakan Jokowi
juga dalam memberikan grasi dan amnesti kepada Tapol/Napol Papua tidak akan
memberikan manfaat langsung terhadap penghentian internasionalisasi isu Papua.
Yang ditunggu oleh MSG adalah keseriusan Jokowi menyelesaikan Papua berdasarkan
dialog damai Jakarta Papua yang digagas JDP. Jokowi tidak harus membuat konsep
dialog Papua yang baru, karena sama saja Jokowi tidak percaya dialog Papua yang
disusun dan dikonsepkan oleh JD selama ini,” tukasnya.
Baginya, jika Jokowi masih saja terus tidak percaya dan mencurigai orang
Papua dalam menyelesaikan konflik Papua dengan cara Papua, maka untuk apa lagi
kita harus hidup bersama dalam suatu negara. Presiden Jokowi sepertinya tidak
mengerti problem utama Papua dengan Jakarta adalah masalah kepercayaan. Kalau
Jokowi menunjukan sikap yang sama lagi dengan tidak percaya kepada orang Papua,
seharusnya Papua didukung masuk kembali menjadi bagian dari keluarga besar
Melanesia dan menjadi negara sendiri yang berdaulat.
“Kalau masih mau ingin Papua menjadi bagian dari keluarga melayu,
Presiden Jokowi jangan muncul konsep dialog Papua modelnya sendiri. Tindakan
ini sangat menusuk rasa keadilan dan kemanusian orang Papua karena Kami masih
terus dicurigai dan dianggap sebagai musuh dalam selimut NKRI,”
pungkasnya.(Nls/don/l03)
Oleh: Marianus Young
0 komentar:
Posting Komentar