Ilustrasi. Foto: strategi-militer.blogspot.com |
1 Mei 1963 pasti
tidak dapat dilupakan oleh setiap Orang Asli Papua (OAP) sebagai Subjek Hukum
yang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua diakui secara hukum sebagai Suku Asli di Provinsi Papua dan atau
Tanah Papua.
Tanggal 1 Mei 1963
ternyata telah menjadi ingatan sebuah penderitaan (Memoria Passionis) yang
cukup panjang bagi segenap anak bangsa Papua semenjak Tanah dan Negeri Nieuw
Guinea ini diintegrasikan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Kenapa dikatakan
sebagai Memoria Passionis? Karena sebagaimana dituturkan oleh sejumlah saksi
mata yang beberapa diantaranya telah terekam dalam data yang kami miliki bahwa
semenjak tanggal 1 Desember 1961, Pemerintah Kerajaan Belanda yang sedang
berkuasa di Tanah Papua kala itu telah membolehkan dikibarkannya Bendera
Bintang Pagi (Morning Star) di seluruh negeri Nieuw Guinea tersebut, termasuk
di kota-kota Besar seperti Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong dan Merauke.
Semenjak itu,
Bendera tersebut (Morning Star) berkibar diatas sejumlah tiang-tiang bendera di
kantor-kantor pemerintah Belanda bersama-sama dengan Bendera Kerajaan Belanda
berwarna Merah, Putih, Biru
Inilah situasi
yang kemudian semakin memberi keyakinan pada diri dan hati setiap anak bangsa
Papua bahwa mereka pasti akan memperoleh kebebasan sebagaimana tergubah dalam
lagu yang dinyanyikan oleh Grup Band Black Brothers: ...."yang ku damba, yang ku nanti, tiada lain, hanya
kebebasan..."
Namun situasi
tersebut sirna dan selanjutnya menjadi sebuah ketidakpuasan, karena Pemerintah
Belanda yang sudah memberi peluang bagi orang-orang Papua untuk menikmati
situasi cikal bakal berpemerintahan sendiri itu justru pergi dan duduk
berunding dengan Pemerintah Indonesia untuk menyerahkan Tanah dan Negeri Papua
ini kepada Indonesia.
Sayang sekali,
karena dalam perundingan yang sudah terjadi sepanjang tahun 1962 tersebut
hingga ditanda tanganinya Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962,
orang-orang Papua sebagai sebuah komunitas adat yang diakui berdasarkan hukum
internasional, justru sama sekali tidak dilibatkan dan bahkan tidak pernah
dimintai pendapatnya sama sekali mengenai masa depan mereka dan tanah airnya
sendiri.
Inti dari pada
Perjanjian New York menyatakan antara lain mengenai soal peralihan kekuasaan
administratif pemerintahan yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) sebagai "pemerintahan transisi" yang terlibat langsung dalam
proses peralihan dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia.
Sekali lagi dengan
tanpa memberikan penghargaan dan sebuah penghormatan sama sekali bagi
orang-orang Papua yang sekedar menjadi saksi dari semua peristiwa tersebut.
Di dalam pasal XIV
hingga pasal XXI diatur mengenai Pemerintahan Indonesia dan Penentuan Nasib
Sendiri, yang kemudian dilaksanakan dibawah "pengawasan" Sekretaris
Jenderal PBB melalui utusannya yang bernama DR.Ortiz Sanz.
Khusus mengenai
soal Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination), sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi
Manusia di Tanah Papua, sungguh menggelikan ketika membaca dengan baik isi
Pasal-pasal di dalam New York Agreement (Perjanjian New York) itu.
Utamanya mengenai
soal yang sangat penting dalam sejarah perjalanan hidup dan peradaban Orang
Asli Papua yang sudah berubah sejak Injil didaratkan oleh Ottow dan Geissler 5
Februari 1855 di Pulau Mansinam (114 tahun sebelum Act
Of Free Choice di Tanah Papua, 1969).
Kenapa demikian?
Karena bagaimana mungkin Pemerintah Indonesia yang oleh isi Perjanjian New York
tersebut baru boleh memerintah di Tanah Papua semenjak 1 Me 1963, lalu enam
tahun kemudian harus diperhadapkan pada situasi harus menyelenggarakan sebuah
kesempatan bagi orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri?
Pasal XVIII dari
perjanjian tersebut pada huruf c, menyebutkan bahwa: ..."perumusan
pertanyaan-pertanyaan sedemikian rupa agar penduduk dapat menentukan (a) apakah
mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia; atau (b) apakah mereka ingin
memutuskan hubungan mereka dengan Indonesia..."
Di sinilah letak
hal yang menurut pandangan saya sangat menggelikan tapi tidak lucu, karena mana
mungkin orang-orang Papua ketika itu maupun saat ini mau memutuskan hubungan
mereka dengan Indonesia, sedangkan perjanjian tersebut sudah dirundingkan dan
disepakati oleh pihak lain yang secara hukum telah menempatkan mereka dibawah
sebuah kekuasaan administratif Pemerintahan Indonesia?
Dengan demikian,
dapat dipandang bahwa penyelenggaraan apa yang oleh Pemerintah Indonesia
disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di pertengahan tahun 1969
tersebut sesungguhnya sangat ingkar dan bersifat melanggar amanat Perjanjian
New York sebagai landasan hukumnya sendiri.
Karena pengambilan
sejumlah 1.062 orang wakil-wakil orang Papua untuk ikut dalam Pepera saat itu
pasti bisa diperdebatkan dari sisi kepantasan dan kelayakan secara metodologi
ilmu statistik juga.
Selain itu,
diwarnai dengan sejumlah tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang
sistematis dan diduga terencana pada saat itu yang diduga dilakukan oleh aparat
keamanan (TNI dan Polri) saat itu tehadap rakyat sipil cukup memberi sinyal
bahwa sesungguhnya ide Perjanjian New York untuk pemberian kesempatan kepada
rakyat Papua untuk memilih secara bebas dalam konteks penentuan nasib sendiri
sesungguhnya tidak pernah terjadi.
Dengan demikian,
keabsahan 1 Mei 1963 sebagai "Hari Integrasi" inilah yang senantiasa
oleh sebagian besar rakyat Papua dipandang sebagai "Hari Aneksasi"
Indonesia atas Tanah Papua.
Ini semata-mata
disebabkan oleh apa yang sudah saya kemukakan sebelumnya bahwa orang-orang
Papua sendiri sejak 15 Agustus 1962, tidak pernah dihargai dan dihormati hak
asasinya sebagai salah satu komunitas masyarakat di dunia dan bukan merupakan
subjek yang ikut menentukan nasibnya sendiri sejak itu.
Adapun Pepera
tahun 1969 sesungguhnya memiliki nilai minus yang sudah semestinya segera
dijadikan bahan kajian dan diskursus dalam berbagai kesempatan secara terbuka
di alam demokrasi Indonesia, guna memperoleh kesepakatan yang damai.
Hal ini saya
sampaikan karena atas dasar "keabsahan" Pepera 1969 yang masih terus
dipersoalkan serta 1 Mei 1963 yang dipandang oleh rakyat Papua sebagai
"Hari Aneksasi" Tanah Air nya, maka lahirlah slogan "NKRI Harga
Mati" yang senantiasa dijadikan sebagai "alat" ampuh bagi aparat
keamanan (TNI dan Polri) untuk terus menerus melakukan berbagai tindak
kekerasan yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil di
Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun hingga dewasa ini.
Oleh sebab itu, seharusnya slogan "NKRI Harga Mati" dan "Merdeka Harga Mati" di pihak lain, segera tidak ditonjolkan oleh kedua belah pihak (rakyat Papua dan Pemrintah Indonesia, termasuk TNI dan Polri).
Oleh sebab itu, seharusnya slogan "NKRI Harga Mati" dan "Merdeka Harga Mati" di pihak lain, segera tidak ditonjolkan oleh kedua belah pihak (rakyat Papua dan Pemrintah Indonesia, termasuk TNI dan Polri).
Sangat mendesak
dan urgen saat ini untuk mendudukkan persoalan proses peralihan kekuasaan atas
Tanah dan rakyat Papua dari sejarah New York Agreement 1962, eksistensi 1 Mei
1963 dan Pepera 1969 sebagai tonggak-tonggak penting yang patut dikaji secara
baik menurut prinsip-prinsip hukum, demokrasi dan hak asasi manusia yang
berlaku universal bahkan sudah diadopsi pula oleh Pemerintah Indonesia di dalam
aturan perundangan yang berlaku saat ini.
Dalam konteks
Otsus di Tanah Papua, sebenarnya telah ada peluang di dalam Pasal 46 untuk
membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), guna menjalankan tugas dalam
konteks mengupayakan berlangsungnya proses klarifikasi sejarah Integrasi Papua
tersebut.
Namun demikian,
menurut saya, karena hal ini sudah menjadi sebuah aspirasi politik mayoritas
rakyat Papua, maka adalah sangat tepat jika hal ini perlu dibicarakan secara
terbuka, arif, bijaksana dan imparsial serta saling menghormati dalam sebuah
dialog damai.
Ini penting agar
kelak hasil dari dialog damai tersebut menjadi sebuah kesepakatan bersama
diantara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia dalam merumuskan langkah-langkah
penyelesaian konflik sosial-politik tersebut secara damai, demokratis dan
berkesinambungan.
Kesepakatan
tersebut sesuai amanat pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk
Wetboek/BW) bahwa: ..."semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya..."
Dengan demikian, kesepakatan yang dicapai dalam sebuah Dialog Damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia kelak akan menjadi hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar dalam menentukan segenap langkah penyelesaian hukum dan politik atas segenap konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun diatas Tanah Papua.
Dengan demikian, kesepakatan yang dicapai dalam sebuah Dialog Damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia kelak akan menjadi hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar dalam menentukan segenap langkah penyelesaian hukum dan politik atas segenap konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun diatas Tanah Papua.
Yan Christian
Warinussy adalah Direktur
Eksekutif LP3BH Manokwari/Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua/Peraih
Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award"
Tahun 2005 dari Canada/Koordinator Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan
Keutuhan Ciptaan pada Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari/Anggota Steering
Commitee Foker LSM se-Tanah Papua.
Sumber: Majalah Selangkah
0 komentar:
Posting Komentar