By: Namolla Amole
Kami rakyat Papua memantau dengan penuh keprihatinan atas usulan Gubernur Papua Tengah terkait pembentukan kabupaten-kabupaten baru. Usulan ini disampaikan dalam forum resmi bersama Komisi II DPR RI dan Kemendagri di Timika pada 1 Mei 2025. Di tengah berbagai persoalan mendasar yang belum terselesaikan, gagasan pemekaran wilayah justru memicu keresahan dan penolakan luas dari masyarakat.
Pemekaran kabupaten selalu diklaim sebagai langkah mempercepat pelayanan publik dan pemerataan pembangunan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya: pemekaran sering kali menjadi proyek elit politik dan alat penguasaan wilayah, sementara rakyat tetap hidup dalam kekurangan dan keterpinggiran. Kita harus bertanya: untuk siapa sebenarnya kebijakan ini?
Gubernur Meki Nawipa, yang baru saja menjabat, terlalu cepat menyodorkan berbagai rencana besar dari rel kereta api tercepat hingga pemekaran wilayah. Alih-alih bekerja membenahi pondasi sosial dan ekonomi masyarakat, ia justru sibuk menjual mimpi-mimpi ambisius yang tidak berpijak pada realitas rakyat Papua Tengah hari ini.
Sebelum bicara pemekaran, bangun dulu kabupaten-kabupaten yang ada. Uji kemampuan para bupati yang terpilih: apakah mereka mampu mengelola dana pusat, dana otsus, dan royalti Freeport untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat? Bila tidak, menambah wilayah baru hanyalah memperbanyak persoalan dan mempercepat proses pemiskinan struktural.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Tengah masih sangat rendah. Namun, negara justru menggunakan alasan ketidaksiapan itu untuk mendorong pendekatan militer. Rencana pembentukan 100 batalion TNI AD di bawah program pembangunan Prabowo-Gibran bukanlah solusi, melainkan bentuk militerisasi terselubung atas tanah Papua yang memperparah luka kolonialisme.
Pemekaran wilayah juga dibarengi dengan kebijakan membuka akses perusahaan ke Papua Tengah melalui izin pemerintah provinsi. Ini bukan bentuk perlindungan terhadap tanah adat, tapi justru legalisasi perampasan tanah rakyat Papua oleh korporasi. Dengan dalih regulasi, tanah-tanah kami dibuka bagi perusahaan nasional maupun multinasional.
Kebijakan ini membuktikan bahwa pemerintahan Papua Tengah lebih condong melayani kepentingan modal dan negara kolonial, ketimbang memperjuangkan hak-hak rakyat Papua. Gubernur seharusnya menjadi pelindung tanah adat dan suara rakyat, bukan menjadi gerbang baru eksploitasi.
Kami menolak segala bentuk kebijakan yang lahir tanpa partisipasi rakyat Papua. Pemekaran wilayah, militerisasi, dan perizinan perusahaan adalah bagian dari skenario sistematis untuk menguasai tanah kami dan menghapus identitas kami sebagai bangsa yang berdaulat.
Kami rakyat Papua menuntut: stop pemekaran sepihak, tolak militerisasi atas nama pembangunan, dan hentikan legalisasi perampasan tanah adat. Pembangunan sejati adalah yang berpihak pada manusia, budaya, dan lingkungan bukan proyek-proyek kosong yang menjual masa depan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar