PERAMPASAN TANAH MASIF SEJAK TRIKORA 1961 HINGGA PSN MENGAKIBATKAN EKOSIDA DAN KERUSAKAN TATANAN SOSIAL.
Nabire, SWP — Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P) Komite Agamua menyoroti masifnya perampasan tanah adat di Papua yang terjadi sejak Trikora (Tri Komando Rakyat) 1961 hingga Proyek Strategis Nasional (PSN) di era Joko Widodo mengakibatkan berbagai dampak pada ekosida, kerusakan dan kehilangan hutan, tanah, air, satwa liar endemik Papua, juga kehilangan tumbuhan endemik Papua, termasuk tempat-tempat keramat dan lainnya hingga tatanan sosial masyarakat Papua pun ikut hilang dan rusak.
Demsak Kolago, koordinator umum MAI-P Komite Kota Agamua, mengungkapkan hal itu pada momentum hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia, 10 Desember 2024.
“Masyarakat Papua telah dan sedang mengalami ekosida besar-besaran sejak masa kepemimpinan Soekarno tahun 1961 hingga era Jokowi melalui PSN yang dilanjutkan Prabowo Subiyanto, presiden terpilih tahun 2024. Perampasan tanah masyarakat adat Papua masif dan tersistematis, sehingga berdampak sangat besar terhadap ekosida dan masyarakat adat Papua,” ujar Demsak.
Ditegaskan, negara merupakan aktor utama masifnya perampasan lahan di Tanah Papua didukung oleh sistem kapitalisme serta dijaga dan dilindungi militer.
“Masyarakat adat Papua telah dan sedang mengalami ekosida melalui produk kolonial dalam sistem kapitalis dan dibekap penuh oleh militer seperti Trikora 1961, aneksasi Papua ke dalam Indonesia sejak 1963, Pepera 1969 penuh ilegal dan manipulasi. Di masa itu, rakyat Papua dalam pembantaian pada masa kepemimpinan Soeharto dan juga ancaman ekosida dimulai saat itu hingga turun ke presiden Jokowi pun sangat masif terjadi, seperti Proyek Strategi Nasional di Merauke dan Sorong yang dibekap oleh militer sebagai penjaga kekuasaan. Dampaknya dirasakan mulai dari ekosida hingga kerusakan tatanan kehidupan sosial masyarakat adat Papua,” urainya.
Sementara, Aworo Tutu, salah satu anggota MAI-P menyebut pencaplokan dan perampasan tanah Papua dimotori kepentingan kapitalis internasional. Pepera 1969 merupakan pintu masuk bagi kapitalisme. Selama berkuasanya orde baru hingga era reformasi, masyarakat adat Papua dijadikan tumbal politik untuk meloloskan kepentingan kapitalisme dan imprealisme demi mengeruk sumber daya alam secara besar-besaran.
“Indonesia mencaplok Papua dilatarbelakangi oleh kepentingan Amerika Serikat atas Papua. Itu terbukti dengan hadirnya perusahaan raksasa milik Amerika Serikat, yaitu PT Freeport yang disahkan pada 1967 sebelum Papua dinyatakan bagian dari kekuasaan kolonial Indonesia melalui Pepera pada tahun 1969 yang ilegal,” ujarnya.
Aworo menyatakan, berbagai cara dilakukan pemerintah Indonesia untuk rampas dan caplok wilayah adat masyarakat Papua begitu masif, terstruktur, dan sistematis melalu berbagai kebijakan dan peraturan yang dibuat tidak memihak masyarakat, melainkan membuka pintu lebar kepada penguasa dari internasional dan nasional.
“Perampasan tanah adat Papua di masa orde lama dan orde baru yaitu dimulai dengan penerapan Undang-Undang nasionalisasi aset Belanda di Papua sejak 1 Mei 1963 melakukan nasionalisasi perusahaan minyak di Sorong dan pelabuhan serta bandara di seluruh Papua, serta melalui implementasi UUPA dan Undang-Undang nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA), dan Undang-Undang nomor 11 tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan yang merupakan amanah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 telah mewujudkan perubahan struktur sosial Papua dan perampasan tanah adat Papua yang dilakukan secara sistematik dan struktural oleh pemerintah Indonesia seperti terjadi dalam kontrak karya pertama PT Freeport McMoRan Copper and Gold Inc. dengan pemerintah Indonesia pada tanggal 7 April 1967 yang menguasai wilayah masyarakat adat Papua sejak 1962 hingga 1969 dan penandatanganan HGU PT PN II Morowali untuk kebun sawit di Prafi dan Arso pada tahun 1983 yang direalisasikan dengan kebijakan transmigrasi,” bebernya.
Akibat dari masifnya perampasan tanah yang terstruktur, sistematis, kuat dan besar berdampak pada ekosida berkelanjutan dan menyebar pada kerusakan tanatan sosial seperti dikatakan Hendrikus Woro, pemimpin warga Woro di Papua Selatan, “Pemerintah rampas wilayah adat kami, hilangkan wilayah sakral, tempat tinggal moyang. Akhirnya, moyang kami sudah tidak punya tempat tinggal di wilayah sakral, balik makan kami.”
Lanjut Aworo, “Kita melihat apa yang disampaikan bapak Hendrikus Woro, makannya dalam dan merambat ke semua sendi dan tatan sosial kehidupan masyarakat Papua saat ini ketika mengalami ekosida.”
Oleh karena itu, bertepatan dengan hari HAM sedunia, Masyarakat Adat Independen Papua Komite Kota Agamua menyatakan sikap:
1. Menolak pergeseran pembangunan ibu kota madya di wilayah masyarakat adat Muliama
2. Menolak pembangunan Korem di wilayah adat masyarakat Kewin distrik Muliama dan di kampung Tikawo distrik Asologaima dan Silokarno Doga.
3. Menolak pembangunan lumbung pangan nasional di wilayah masyarakat adat Hubula.
4. Segera tutup agen-agen minuman berakhol dan seluruh agenda togel di kota Agamua/Wamena.
5. Segera hentikan konflik horizontal sesama masyarakat adat di wilayah Lapago.
6. Segera hentikan praktek impunitas hukum terhadap masyarakat adat se-Lapago.
7. Mendukung perjuangan masyarakat adat suku Animha menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke.
8. Menolak program transmigrasi di seluruh wilayah adat Papua.
9. Hentikan operasi militer di wilayah Ndugama, Intan Jaya, Yahukimo, Oksibil, Kiwirok, Maybrat dan seluruh wilayah adat Papua.
10. Mendukung dan bersolidaritas atas perjuangan keadilan untuk Tobias Silak.
11. Menolak pembangunan Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Polda, Polres, Polsek, dan semua aset-aset militer di seluruh wilayah adat Papua.
12. Menolak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong wilayah masyarakat adat Moi.
13. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di Papua.
14. Tarik militer organik dan non organik dari seluruh Tanah Papua.
15. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat.
16. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM.
17. Mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung.
18. Segera berikan hak penentuan nasib sendiri bagi masyarakat adat Papua sesuai Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat pribumi.
0 komentar:
Posting Komentar