|
Nabire, MAJALAH BEKO - - Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali dalam rilis yang diterimamajalahbeko.com menuliskan telah menggelar diskusi memperingati hari Perjanjian New York (New York Agreement) 15 Agustus 1962.
AMP Bali menulis, diskusi yang diikuti 15 anggota AMP Bali dengan tema “New York Agreement, Jalan Aneksasi Ilegal Indonesia Atas West Papua” ini digelar di Asrama Puncak Papua, Kota Denpasar, Bali, pada pukul 18.00 WITA sampai selesai.
Dituliskan, AMP Bali mendiskusikan situasi Papua Barat terkini dan membahas ilegalnya New York Agreemet atas West Papua, serta membacakan pernyataan sikap. Berikut hasil diskusi dan pernyataan sikap AMP Bali:
Sejarah bangsa Papua Barat masih tercatat dan tidak akan pernah membungkam oleh siapapun yang berprofesi di bidang apa pun di wilayah Papua Barat. Persoalan sangketa sejarah Papua Barat merupakan akar belukar masalah yang masih mempersoalkan sampai saat ini, terutama hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat; merupakan hak dasar perjuangan pembebasan nasional yang semakin terlihat secara fakta bahwa rakyat Papua Barat masih mempertahankan perjuangan sejati dan akan terusmembuktikan New York Agreement yang dibungkam selama ini.
Pandangan penandatanganan New York Agreement antara Belanda dan Indonesia terkait sangketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962 tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat atau wakil utusan rakyat Papua Barat. Namun, persoalan perjanjian hanya melibatkan 3 pihak, di antaranya Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat sebagai penegah. Perjanjian ini merupakan hak dasar rakyat Papua Barat untuk mendapatkan hak hidup dan berbangsa di negri Cenderawasih, namunpersoalan perjanjian dibungkam oleh Indonesia.
Padahal, perjanjian tersebut mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, di mana pasal 14-21 mengatur Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional, yaitu satu orang satu suara (one man one vote). Di mana, pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia melalui persenjataan PBB.
Setelah tranfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia mendapat tanggungjawab untuk mempersiapkan pelaksana penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Wilayah Papua Barat. Tetapi disayangkan, Indonesia tidak menjalankan sesuai New York Agreement, melainkan Indonesia membiarkan serta mengkondisikan wilayah Papua Barat sebagai tempat dapurnya dan tempat operasi militer, serta Indonesia mampu memutarbalikan fakta, seperti hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang sangat ilegal bagi rakyat Papua. Dahulunya, rakyat Papua Barat berjumlah 809.337 juta orang yang memiliki hak suara, tetapi Indonesia meminta untuk perwakilan dari setiap daerah di wilayah Papua Barat yang berjumlah 1026 orang Papua Barat saja, tetapi sebagian dikarantina dan yang memberikan pendapat penentuan nasib sendiri adalah 175 orang.
Hasilnya tidak memuaskan dalam PEPERA tersebut, yang mana penuh dengan teror, intimidasi, manipulasi serta adanya pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua Barat pada saat PEPERA, dan tidak ada naungan penuh oleh PBB serta Belanda dan Amerika Serikat, melainkan mengkondisikan wilayah Papua Barat. New York Agreement adalah ilegal atas Papua Barat karena tidak sesuai dengan keadilan dan kebenaran hukum internasional.
Akhir dari itu adalah, Belanda dan Amerika Serikat mempunyai ruang bisnis di wilayah rakyat Papua Barat dan hadirlah berbagai persoalan intimidasi di tanah Papua Barat yang dikarenakan pembungkaman sejarah New York Agreement yang kini sedang menjelang 56 tahun dan belum diluruskan secara hukum internasional. Melalui itulah AMP Bali mengambil ruang diskusi secara bersama dan menyikapi apa dasar dari perjuangan sejati untuk pembebasan Papua Barat.
Maka, dalam rangka peringatan 56 tahun New York Agreement yang ilegal, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali menyatakan sikap politik secara umum kepada Rezim Jokowi-Jusuf Kala, Belanda dan PBB untuk segera:
1. Memberikan kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua
2. Tarik militer (TNI-Polri) organik dan non-organik dari seluruh tanah Papua sebagai syarat damai
3. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, dan yang lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas tanah Papua
4. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua
Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Atas dukungan, pastisipasi dan kerja sama oleh semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih. Salam Demokrasi!
(Aten Pekei)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar