Pater Nico Dister bersama anak Panti Asuhan Putri Kerahiman Hawai dan para suster DSY tahun 2012 (Foto: Dok Florry Koban/jayapura.space) |
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Salah seorang
rohaniawan Katolik di Papua yang sangat dihormati, Prof. Dr. Nico Syukur
Dister OFM, menyerukan agar gereja-gereja di Papua, terutama Gereja
Katolik, menghormati aspirasi umat yang menginginkan kemerdekaan Papua,
sama hormatnya dengan aspirasi umat yang ingin tetap di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia bahkan mendesak Gereja Katolik di Papua untuk turut menjelaskan
mengapa aspirasi Merdeka (ia singkat dengan M) tersebut adalah hal
wajar, lebih-lebih bila itu diperjuangkan secara ahimsa.
Pemikirannya ini, yang dia sebut sebagai refleksi, disampaikan lewat sebuah tulisan di fransiskanpapua.org, hari ini (18/07).
Nico Syukur Dister ketika masih remaja (Foto: Dok Florry/jayapura.space)
Dalam tulisan tersebut, ahli teologi kelahiran Maastricht, Belanda ini, menjelaskan secara panjang lebar pandangannya hingga tiba pada kesimpulan itu. Penyandang gelar gurubesar ini menengarai adanya keragu-raguan gereja dalam menyikapi berbagai persoalan umat di Papua, terutama oleh adanya dua aspirasi tersebut dan ia menyampaikan saran tentang bagaimana gereja bersikap.
Dalam tulisan tersebut, ahli teologi kelahiran Maastricht, Belanda ini, menjelaskan secara panjang lebar pandangannya hingga tiba pada kesimpulan itu. Penyandang gelar gurubesar ini menengarai adanya keragu-raguan gereja dalam menyikapi berbagai persoalan umat di Papua, terutama oleh adanya dua aspirasi tersebut dan ia menyampaikan saran tentang bagaimana gereja bersikap.
Di bagian lain tulisannya, ia mengetengahkan aspek sejarah
sehingga Papua dapat disebut sebagai sebuah bangsa dan karena itu berhak
memiliki aspirasi untuk merdeka. Teolog yang sudah bermukim di Papua
sejak tahun 1984 itu juga memberikan pandangan tentang bagaimana peran
gereja dalam memperjuangkan Papua Merdeka dan pada saat yang sama
menciptakan saling menghormati di antara umat.
Di bagian catatan kaki, ia memberikan penekanan bahwa apa yang
disebut 'Kesatuan' dalam terminologi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) tidak harus dipertentangkan dengan negara federasi, sebab negara
federasi pun adalah negara kesatuan. Bahkan bila Otsus benar-benar
diterapkan, menurut dia, Indonesia sebetulnya sudah menjadi negara
federasi, terdiri dari negara bagian: Aceh, Papua dan sisa Indonesia.
Kritik Terhadap Gereja Katolik
Dalam salah satu bagian tulisannya, Pater Nico melancarkan kritik
terhadap Gereja Katolik di Papua. Ia berpendapat Gereja Katolik kurang
vokal dalam menyuarakan permasalahan yang dihadapi rakyat Papua,
terutama yang terkait dengan pelanggaran HAM dan aspirasi untuk
menentukan nasib sendiri.
"Bila wakil gereja-gereja lain bersuara tegas dan keras dalam
mengemban tugas kenabian, orang bertanya: 'Dimanakah suara gereja
katolik?' Suara itu sering tidak terdengar, karena para petinggi dan
tokoh gereja katolik seringkali lebih suka berbicara dalam pertemuan
skala kecil dengan petinggi negara, tentara dan polisi sebagai pihak
yang berwenang serta bertanggungjawab," tulis Pater Nico.
"Pembicaraan semacam itu mereka anggap akan lebih berhasil daripada
bicara vokal di hadapan umum.... Tetapi patut dipertanyakan apakah
percakapan pribadi semacam itu lebih besar efektivitasnya daripada
protes vokal, yang gema dan kumandangnya terdengar melalui media.
Memburuknya situasi hak asasi manusia Papua terasa sekali selama
paruhan pertama tahun 2017. Berhadapan dengan kenyataan ini, pendekatan
ala gereja katolik rasanya tidak begitu efektif," kata Pater Nico, yang
bekas anak didiknya sudah banyak tersebar di Papua sebagai imam.
Menurut dia, aspirasi umat yang mendukung penentuan nasib sendiri
Papua seharusnya tidak dipandang sebagai hal yang tidak patut.
Sebaliknya hal itu merupakan ekspresi kebebasan berpendapat yang tidak
dapat dilarang.
Dia akui, di dalam gereja ada pendapat yang mengatakan bahwa di
tengah perbedaan pendapat umat antara yang pro dan kontra terhadap
aspirasi merdeka, tugas gereja adalah untuk mempersatukan. Oleh karena
itu, uskup dan pastor merasa tidak boleh memihak pada salah satu dari
kedua pendapat ini. Urusan itu dianggap urusan politik.
Namun, Pater Nico mengatakan pembedaan antara urusan politik dan
urusan gereja kehilangan relevansinya, begitu dimunculkan pertanyaan
apakah setiap bangsa tidak berhak atas negaranya sendiri. "Tidak sedikit
orang asli Papua yang berpandangan bahwa mereka merupakan sebuah bangsa
dan bukanlah cuma sebuah suku di dalam Bangsa Indonesia. Kalau
demikian, bukankah memang sebuah ketidakadilan bahwa Papua belum
merdeka? Dan bukankah 'gereja' untuk 'menyuarakan ketidakadilan yang
terjadi di Papua'?"
Saling Menghormati
Pater Nico mengatakan inti persoalan adanya aspirasi M adalah
pertanyaan apakah OAP sebuah bangsa tersendiri sehingga berhak atas
negerinya sendiri. Menurut dia, menjawab 'tidak' berarti memandang OAP
sebagai salah satu suku di antara sekian banyak suku lain yang
bersama-sama merupakan satu bangsa Indonesia.
Pater Nico Dister saat kaul kekal di usia 23 tahun (Foto: Dok Florry Koban/jayapura.space)
Tetapi, kata dia, ada alternatif lain, yaitu kalau menjawab 'ya.' Bila ini yang terjadi, maka masalah orang Papua serupa dengan masalah orang Yahudi pra-1949 dan masalah orang Kurdi sekarang ini. Mengingat prinsip bahwa setiap bangsa berhak atas negerinya sendiri, maka pada tahun 1949 PBB mengizinkan orang Yahudi untuk mendirikan negara Israel. "Izin semacam itu belum didapatkan oleh orang Papua, dan juga belum oleh orang Kurdi yang sampai sekarang tersebar antara lima negara (Turki, Iran, Syria, Armenia dan Irak)," tulis Pater Nico.
Tetapi, kata dia, ada alternatif lain, yaitu kalau menjawab 'ya.' Bila ini yang terjadi, maka masalah orang Papua serupa dengan masalah orang Yahudi pra-1949 dan masalah orang Kurdi sekarang ini. Mengingat prinsip bahwa setiap bangsa berhak atas negerinya sendiri, maka pada tahun 1949 PBB mengizinkan orang Yahudi untuk mendirikan negara Israel. "Izin semacam itu belum didapatkan oleh orang Papua, dan juga belum oleh orang Kurdi yang sampai sekarang tersebar antara lima negara (Turki, Iran, Syria, Armenia dan Irak)," tulis Pater Nico.
Pater Nico berpendapat, apa pun sikap dan pandangan umat, tidak boleh
ada yang melarang. Sebab hak mengungkapkan pendapat merupakan hak
asasi, selama aspirasi ini tidak mengakibatkan orang angkat senjata
untuk merebut kemerdekaan dengan kekerasan. Ia menambahkan para pejuang
aspirasi ini jangankan dituduh makar, ditegur saja pun tidak boleh.
"Kebebasan berekspresi dijamin oleh Deklarasi Universal PBB tahun
1948 tentang hak-hak asasi manusia, maupun oleh TAP MPR RI No.
XVII/MPR/1998."
Lebih jauh, Pater Nico mengatakan adanya dua pandangan yang pro dan
kontra ini hanya dapat saling menghormati apabila latar belakang sejarah
dipahami. Ia mengatakan, dengan memahami sejarah ada harapan tindakan
kekerasannya terhadap OAP yang pro M dapat dihentikan dan masyarakat
yang berseberangan satu sama lain mengenai masalah M, dapat saling
mengerti dan saling menghormati pandangannya.
"Gereja (termasuk katolik) dapat menentukan peranan yang harus dipegangnya dalam menanggapi situasi Papua saat ini," kata dia.
Tugas Gereja
Di bagian akhir tulisannya, Pater Nico menegaskan bahwa gereja tidak
hanya terdiri dari para uskup dan klerus lainnya. “Kita adalah gereja,”
tulisnya. Namun para gembala diharapkan berjalan di depan dalam
menggembalakan umatnya.
Menurut dia, seluruh gereja, baik para pimpinan maupun umat,
mempunyai –antara lain- tugas kenabian untuk menegur penyelewengan yang
terjadi dalam masyarakat.
"Yang disebut 'tokoh gereja' itu bukan hanya Bapak Uskup dan Bapak
Pastor, tetapi juga pimpinan dan anggota tarekat religius," kata dia.
Pater Nico Dister saat ditahbiskan menjadi imam pada 1964 (Foto: Florry Koban/jayapura.space)
Dalam salah satu bagian tulisan dengan judul Mengapa dan bagaimana Memperjuangkan Papua Merdeka, Pater Nico menulis apa yang tampaknya akan menjadi bagian yang sensitif bila dihadapkan pada sikap Jakarta yang selama ini masih belum membuka pintu bagi dialog tentang Papua.
Dalam salah satu bagian tulisan dengan judul Mengapa dan bagaimana Memperjuangkan Papua Merdeka, Pater Nico menulis apa yang tampaknya akan menjadi bagian yang sensitif bila dihadapkan pada sikap Jakarta yang selama ini masih belum membuka pintu bagi dialog tentang Papua.
"Selama kepada OAP tidak diberi apa yang menjadi hak mereka, yaitu
mempunyai negeri sendiri sebagai negara independen dan berdaulat, semua
bantuan material yang telah, sedang dan akan disediakan pemerintah
Indonesia untuk mereka di bidang infrastruktur, pendidikan dan kesehatan
yang memang mutlak perlu, tentu akan mereka terima, tetapi aspirasi M
akan tetap bergelora dalam lubuk hati setiap OAP, walaupun secara
rasional dan dengan akal-budinya ia mengakui keadaan faktual bahwa Papua
sekarang menjadi dua provinsi Indonesia," tulis dia.
Namun di sisi lain, ia menyarankan agar cara memperjuangkan
kemerdekaan Papua sebaiknya bukan dengan kekerasan yaitu dengan cara
Indonesia sendiri merebut kemerdekaannya dari tangan pemerintah
kolonial..... "Jauh lebih tepatlah berjuang menurut pola Mahatma Gandhi
yang menjunjung tinggi ahimsa, non-violence...."
Sekilas Prof Dr. Nico Syukur Dister OFM
Pater Nico lahir di Maastricht (Nederland) pada tahun 1939. Ibunya
bernama Maria Katarinya dan ayah Yohanes H. Nikolaus Dister. Selesai SMA
ia langsung Novis di usia 18 sedangkan Kaul Kekal pada 8 September 1962
dan ditahbisan menjadi imam pada 8 Maret 1964.
Setelah masuk Ordo Saudara Dina Fransiskan (OFM) ia belajar filsafat
dan teologi di Nederland, Belgia dan Jerman Barat. Di samping itu ia
mendalami bidang psikologi, khususnya psikologi agama.
Menurut riwayat hidupnya yang disajikan sekilas dalam buku Studi
Kritis Pemikiran Nico Syukur Dister tentang Pengalaman Keagamaan karya
Idrus Ruslan dari IAIN Raden Intan Lampung, setelah mencapai gelar
doktor dalam bidang filsafat yang diperolehnya di Universitas Leuvien
(Belgia) pada tahun 1972 dengan disertasi mengenai gagasan Koinsidensi
Pertentangan dalam Filsafat Cusanus, Pater Nico mulai berkarya di
Indonesia sebagai tenaga pengajar.
Sejak tahun 1973, ia menjadi dosen Sekolah bidang Teologi Dasar,
Psikologi Agama dan Metafisika. Sejak tahun 1977 ia merangkap sebagai
dosen Sekolah Tinggi Kateketik “Karya Wacana” (Jakarta) untuk bidang
Teologi Dasar, Kristologi dan Psikologi Agama.
Pada tahun 1983, ia dipanggil ke Papua untuk mengajar pada Sekolah
Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura. Buku-buku karyanya antara
lain: Bapak dan Ibu sebagai Simbol Allah, (Kanisius : Yogyakarta – BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 1983), Filsafat Agama Kristiani, (Kanisius :
Yogyakarta – BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985), Kristologi ; Sebuah
Sketsa, (Yogyakarta, Kanisius, 1987). Adapun karya yang berkaitan dengan
Psikologi Agama adalah yang berjudul Pengalaman dan Motivasi Beragama,
(Jakarta : Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas, 1982).
Di usia tuanya, ia banyak menolong anak-anak termasuk anak-anak yang
tinggal di panti asuhan, dengan menjadi Bapak Spiritual mereka. Ia
antara lain turut berkarya di Panti Asuhan Putri Kerahiman Papua, Panti
Asuhan Polomo Sentani, SMP dan SMA St Antonius Padua Sentani, Pondok
Agape, Pondok Pengharapan Sentani dan Wisma Senja Fajar.
Selengkapnya tulisan refleksi Prof. Dr. Nico Syukur Dister tersebut dapat dilihat di sini.
Editor : Eben E. Siadari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar