Obby Kogoya (tengah) saat menghadiri sidang dengan agenda duplik di Pengadilan Negeri Yogyakarta (17/7/2017) – Jubi/AY |
“Iya, kasus ini sudah sangat mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan
kuliah saya. Bahkan di tengah persidangan, saya juga harus mengikuti
ujian di kampus,” kata Obby saat berbicara kepada Jubi melalui sambungan
Whatsapp dari Jayapura, Senin (17/7/2017) di sela-sela sidang Duplik
yang berlangsung di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Menurut Obby, setiap minggu dia harus bolak-balik ke pengadilan dan
sangat menyita waktu kuliahnya di Universitas Respati Yogyakarta
(Unriyo).
“Sementara saya harus mengikuti persidangan atas suatu tuduhan yang
sama sekali tidak saya lakukan,” ujar mahasiswa Semester VIII di
Fakultas Ilmu Kesehatan program studi keperawatan yang juga sedang
menyusun skripsinya itu.
Obby dituntut Jaksa penuntut umum selama enam bulan kurungan penjara
dan satu tahun hukuman percobaan, pada sidang tuntutan ketiga di
Pengadilan Negeri Yogyakarta, 19 Juni lalu.
Dia dituduh melakukan penganiayaan dan pemukulan terhadap aparat
kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka melanggar pasal 212 jo. 213
KUHP Sub 351 ayat 2 KUHP.
Obby Kogoya adalah salah satu dari delapan mahasiswa Papua yang
ditangkap dan dibawa ke Polda DIY dalam peristiwa pengepungan Asrama
mahasiswa Papua Kamasan di Yogyakarta 15 Juli 2016 silam, saat hendak
berlangsungnya aksi mendukung keanggotaan West Papua di Melanesian
Spearhead Group (MSG).
Namun anehnya, dari berbagai foto yang tersebar di media sosial
justru Obby lah yang tampak menjadi korban kekerasan dan penyiksaan
aparat kepolisian Yogyakarta pada waktu itu. Obby dan mahasiswa Papua
lainnya di Kamasan bahkan mendengar jelas lontaran perkataan rasis dari
beberapa ormas yang ikut mengepung asrama itu bersama polisi.
Bahkan KOMNAS HAM mengonfirmasi dalam kunjungannya ke Yogyakarta
tahun lalu, bahwa ada indikasi pelanggaran HAM dalam kasus pengepungan
dan penyiksaan terhadap Obby tersebut.
Aris Yeimo, Presiden Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua, saat
memperingati satu tahun kasus Obby Kogoya dan pengepungan asrama
mahasiswa Kamasan Yogyakarta, Sabtu (15/7) kepada Jubi mengatakan, yang
terjadi pada Obby adalah disriminasi rasial dan hukum.
“Obby dikriminalkan karena aparat kemanan Yogyakarta hendak menutupi
kesalahan mereka sendiri yang tidak membiarkan aksi damai 15 Juli
berlangsung sesuai prosedur UU yang telah kami penuhi.
Terbukti sampai
saat ini tidak ada bukti Obby melawan petugas dengan menggunakan anak
panah, anak panahnya tidak ada. Malah foto penyiksaan terhadap Obby
dituding Hoax oleh Kapoltesta Yogyakarta,” kata Aris kepada Jubi Minggu
(16/7).
Menurut catatan Aris, kasus yang menimpa Obby bukan satu-satunya
terjadi di Yogyakarta. Diskriminasi hukum sudah dialami setidaknya sejak
terjadinya pembunuhan mahasiswa Papua di depan Kantor Pos Malioboro,
Yogyakarta.
“Sampai saat ini kasus itu masih mandeg di Kepolisian Resort Kota Yogyakarta, sementara kasus pembunuhan dimana mahasiswa Papua sebagai
pelaku di Jalan Timoho pada tahun 2015 sudah diproses dan diputuskan
Pengadilan Negeri Yogyakarta,” ungkap Aris.
Bagi dia hal ini tidak terlepas dari pernyataan Gubernur Yogyakarta
sendiri pada 15 Juli tahun lalu yang menuduh mahasiswa Papua sebagai
separatis dan tidak diperbolehkan ada di Yogyakarta.
Sidang duplik Senin (17/7) memuat bantahan pembela atas replik Jaksa
Penuntut Umum terhadap Obby, dibacakan oleh tim pembela dari LBH
Yogyakarta yang mendampingi Obby selama ini.
Saat ditanya apa harapannya pada masyarakat Papua, Obby hanya memohon
dukungan doa. “Saya merasa tidak salah, tapi negara hadir mencari-cari
kesalahan dan memaksa menghukum saya. Jadi saya memohon masyarakat Papua
mendukung dalam doa, sehingga kasus ini mendapat keadilan sesuai
kehendak Tuhan,” kata Obby.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar