West Papua Advocacy Team with Oktovianus Mote at the centre – supplied |
Jayapura, Jubi - Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, Nauru,
Palau dan Kepulauan Marshall menyampaikan pernyataan bersama mengecam
pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia, termasuk kejahatan terhadap
kemanusiaan di hadapan pertemuan Konsil Menteri-menteri 79 anggota
Kelompok Negara-negara Afrika, Karibia dan Pasifik (ACP).
Bangsa-bangsa Pasifik yang tergabung dalam Pacific Islands Coalition for
West Papua (PICWP) itu meminta ACP membuat resolusi akhir yang
menyertakan dukungan untuk penentuan nasib sendiri West Papua secara
politik.
Berdasarkan keterangan pers yang diterima redaksi Jubi,
Minggu (7/5/2017), penyampaian PICWP diwakili oleh Johnny Koanapo,
pejabat tinggi parlemen Republik Vanuatu dan Sekretaris Parlemen untuk
Kantor Perdana Menteri.
Dalam pidatonya, dikutip dari keterangan
pers tersebut, Koanapo menyebut secara lugas pelanggaran HAM oleh
Indonesia sebagai "genosida perlahan".
Menurut Koanapo diskusi
pada hari itu tampak "sudah menunjukkan peluang kuat bagi dukungan
perumusan sebuah resolusi menyeluruh terkait isu-isu West Papua pada
pertemuan konsil kementerian mendatang," yang dijadwalkan di bulan
November mendatang.
Selama beberapa tahun terakhir, bangsa-bangsa
dalam PICWP sudah menyuarakan persoalan West Papua di panggung-panggung
internasional dan regional. Mereka menyatakan bahwa persoalan
pelanggaran HAM di West Papua terkait erat dengan kehendak penentuan
nasib sendiri.
Tanpa pemenuhan hak politik tersebut, lanjut
Koanapo, maka konflik berkepanjangan yang 'merusak Indonesia, juga West
Papua', akan terus terjadi. Dan Koanapo melihat wakil-wakil ACP yang
hadir cenderung dapat tiba pada kesimpulan yang sama.
Di dalam
pidatonya, Koanapo menyatakan ketujuh bangsa-bangsa Pasifik "sangat
prihatin karena komunitas internasional selama ini mengabaikan
suara-suara rakyat Papua selama 50 tahun."
ACP, kata dia, adalah
tempat yang tepat untuk mencari dukungan lebih lanjut bagi kehendak West
Papua karena negeri-negeri Afrika dan Karibia adalah "pembela paling
awal atas hak penentuan nasib sendiri West Papua" yang cukup konsisten.
ACP, yang dibentuk pada tahun 1975, terdiri dari negeri-negeri bekas koloni itu sendiri. Namun demikian, tambah Koanapo: “ras yang terlupakan ini masih terus berjuang."
Dia juga mengritik kebijakan
perpindahan populasi oleh pemerintah Indonesia, sehingga lebih dari dua
juta orang Indonesia sudah menetap di teritori West Papua.
"Bahkan jumlahnya melampaui masyarakat asli Papua dan mendominasi
ekonomi hampir di semua lini kehidupan di perkotaan, pesisir, dan
zona-zona pertambangan, pembalakan kayu, produksi gas dan minyak serta
perkebunan dan pertanian," ujarnya.
Lebih banyak tekanan internasional Ini adalah diskusi ACP kali keempat terkait informasi tentang West
Papua. Pertemuan ACP di tingkat sub komite dan duta-duta besar dua bulan
terakhir ini, dikatakan sudah menunjukkan dukungan universal yang cukup
kuat atas penentuan nasib sendiri nyaris dari semua delegasi Afrika dan
Karibia.
Walau demikian, pada pertemuan Konsil Menteri-menteri
yang berlangsung 3 Mei lalu itu, duta besar Papua Nugini (PNG), Joshua
Kalinoe, menjadi satu-satunya delegasi yang angkat bicara menentang ACP
bergerak maju merumuskan resolusi penentuan nasib sendiri West Papua di
November mendatang.
Duta Besar PNG mengaku bahwa "tidak ada yang
menyangkal bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di sana," namun dia
menyarankan agar ACP mengirimkan misi pencari fakta terlebih dahulu ke
West Papua untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh atas situasi.
Duta Besar Guinea-Bissau, Alfredo Lopez Cabral langsung memberikan
respon menjawab duta besar PNG. Dia membandingkan kehendak West Papua
tersebut dengan Timor Leste di bawah pendudukan Indonesia selama 24
tahun. Lebih dari seperempat populasi Timor Leste dilaporkan tewas
sebagai dampak langsung dari kekuasaan Indonesia.
Dikatakan,
Guinea-Bissau dan negara-negara bekas jajahan Portugis di Afrika lainnya
memang tampil paling depan membela Timor Leste, sebagai sesama jajahan,
yang kini sudah merdeka.
Duta Besar Cabral menegaskan "tidak ada
alasan kenapa ACP tidak mendorong isu ini dan membantu" West Papua
mendapatkan referendum kemerdekaan yang sama seperti yang didapatkan
Timor Leste setelah kejatuhan kediktatoran Soeharto 1998, berkat
membesarnya tekanan internasional.
Saat ini isu pelanggaran HAM
dan hak penentuan nasib sendiri West Papua melonjak mencapai titik
tertingginya di panggung internasional selama 50 tahun terakhir.
Desakan terbaru PICWP di pertemuan 79 anggota Kelompok Negara-negara
Afrika, Karibia dan Pasifik (ACP), meminta pemerintah negara-negara
tersebut agar bergabung dalam advokasi mereka, guna menambah lebih
banyak lagi tekanan di tingkat internasional untuk menghadapi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar