Anggota DPR Papua bersalaman dengan Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM (memakai topi) usai aksi di halaman kantor DPR Papua - Jubi-Abeth You |
Jayapura, Jubi – Senin (15/5/2017) Uskup Jayapura,
Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM memimpin seribuan umat Nasrani dibawah
Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP) melakukan aksi damai. Ribuan umat
Nasrani ini mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan
Kantor Gubernur Papua.
Uskup Leo menyampaikan delapan poin pernyataan di hadapan anggota
DPRP yang menerima massa aksi. Diantara delapan poin itu, tiga
diantaranya adalah dukungan pada Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika
serta Pembubaran Ormas Radikal seperti Hizbuth Tahir Indonesia (HTI),
Front Pembela Islam (FPI) dan Ichwanul Muslimin dan juga membebaskan
Ahok.
Uskup dikritik oleh umatnya
Sehari sebelum aksi digelar, sejumlah beberapa aktivis, tokoh gereja
dan pemuda yang juga umat Katolik mengkritik sikap Uskup Leo dan PGGP.
Mereka menilai Uskup bisa melihat persoalan yang jauh tapi menutup mata
pada realitas di hadapannya. Uskup dianggap tidak berpihak pada umatnya
di Papua dan mereduksi perjuangan melawan diskriminasi dan rasisme
menjadi perjuangan ideologi negara.
John Djonga, Pastor dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua
mengatakan aksi PGGP yang dipimpin Uskup itu hanya mengecewakan rakyat
Papua. Rakyat Papua yang menjadi korban bisa menilai gembalanya tidak berpihak.
“Kalau aksi itu hanya menyelamatkan NKRI di Papua, bagaimana dengan korban pelanggaran HAM selama ini?” tanya pastor John Djongga.
Uskup Jayapura selaku ketua PGGP pun dianggap tidak pernah bicara
terkait masalah sosial yang dihadapi orang Papua. Padahal orang Papua
yang menjadi basis PGGP mengalami perlakuan buruk dari negara tapitidak
pernah disuarakan.
“Kenapa selama ini uskup dan PGGP tidak bicara atau memimpin aksi
ketika orang Papua meninggal karena ditembak dan dibunuh atas nama NKRI
dan Pancasila. Apakah gereja memperbolehkan pembantaian, diskriminasi,
dan marjinalisasi atas nama NKRI dan Pancasila di Papua?” tanya
Frederika Korain, tokoh Perempuan Papua.
Pemuda Katolik, Soleman Itlay berpandangan masih banyak hal lain yang
harus diperjuangkan gereja, misalnya masalah pendidikan dan kesehatan.
“Sebagai uskup, ia tidak pernah bicara ketika umat mendapat perlakuan
buruk dari aparat keamanan. Sebagai ketua PGGP Papua pun tidak pernah
bicara membela umat di Papua yang mendapat kekerasan negara atau
pendidikan dan kesehatan umatnya yang belum diberikan oleh negara,”
tegasnya.
Demo bukan untuk melawan Perjuangan Papua Merdeka
Uskup Leo usai membaca pernyataan sikap menegaskan partisispasi
gereja-gereja ‘selamatkan Indonesia dan selamatkan Pancasila’ untuk
melawan radikalisme yang sudah ada di Tanah Papua.
Menurut Uskup Leo, aksi demo itu cermin dari konsolidasi melawan mereka yang mau mengubah negara Indonesia.
“Justru sudah ada kelompok radikal di Papua ini maka kita demo,
bersuara keras. Kita menyadarkan kepada masyarakat bahwa radikalismenya
ada di Papua. Jadi poinnya, kami bukan melawan perjuangan Papua
Merdeka. Tapi kami minta perhatian lagi bahwa kami hampir dibahayakan
oleh radikalisme,” tegas Uskup Leo.
Ia menambahkan, masyarakat Papua harus mengetahui bahwa dirinya telah
banyak membuka mulut membicarakan ketidakadilan yang terjadi atas tanah
Papua ini.
“Saat ini saya berani tampil meskipun saya orang yang tidak suka
demo, tapi berani tampil saat ini karena kita ini (masyarakat) tidak
sadar bahwa ada radikalisme yang betul-betul amat bahaya besar yang
mengancam kita semua, kelompok manapun,” lanjutnya.
Sementara, Yunika, warga Kota Jayapura yang ikut berpartisipasi dalam
demo mengatakan ia ikut demo karena terharu kepada sosok Ahok yang taat
pada gereja dan bebas dari korupsi.
“Saya suka Ahok karena ia rajin ke gereja dan ia anti korupsi. Ahok tidak salah tapi dipenjara,” katanya.
Aksi gereja jangan hanya untuk kasus Ahok saja
Elvis Tabuni, Ketua Komisi I DPR Papua yang menerima massa
mengatakan, pihaknya juga sependapat dengan PGGP terkait kasus Ahok. Ia
berjanji akan segera membentuk tim ke Jakarta membawah aspirasi ini
agar Ahok dibebaskan.
“Kami sependapat, kami juga tidak mau radikalisme ini ada di tanah
Papua. Terkait dengan tuntutan pembebasan Ahok ini akan segera kami
bentuk tim dan membawa aspirasi ini ke Jakarta,” kata Tabuni di hadapan
massa aksi.
Sementara, anggota Komisi I, Laurenzus Kadepa di hadapan massa aksi
berpesan, semua pihak terutama kepada Gereja-Gereja (PGGP) agar aksi
damai seperti ini tidak hanya dilakukan untuk kasus Ahok saja.
“Di Papua banyak masalah, banyak kasus. Seperti kasus Wasior
Berdarah, Paniai Berdarah, Wamena Berdarah dan masih ada lain lagi.
Akibatnya kini masalah Papua menjadi sorotan dunia internasional, Mari
bersama- sama mencari solusi damai. Tidak boleh memihak ke pihak
tertentu saja,” tegas Kadepa.
Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal yang menerima massa di Kantor
Gubernur Papua mengatakan, Pemerintah Provinsi Papua terus berupaya
melawan dan bahkan menghentikan keberadaan kelompok-kelompok radikalisme
di Papua.
“Papua ini tanah suci, tanah damai dan tanah yang diberkati Tuhan.
Tidak boleh lagi ada kekerasan, tidak boleh ada pertumpahan darah. Maka,
kami sudah komitmen bahwa radikalisme di tanah Papua segera
dihentikan,” tegas Tinal. (*)
Benny Mawel berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar