Pelanggaran HAM
Ceritera tentang pelanggaran HAM sejatinya bukan hanya ceritera kita di zaman ini. Dalam KS PL pun, kisah pelanggaran HAM itu bisa kita temukan. Wujudnya pun beragama. Ada yang berwujud perlakukan penindasan terhadap kaum lemah, rentan, miskin dan tak berdaya, dan ada pula yang berwujud dalam tindakan dan praktek ketidakadilan. Di Indonesia pun ceritera dan ingatan akan begitu banyak pelanggaran HAM di masa lalu masih saja belum berakhir. Di Papua lebih seksi lagi ceriteranya. Pelanggaraan HAM di masa lalu belum terungkap pelakunya, muncul lagi pelanggaran HAM yang baru.
Masih terpatri dalam ingatan kaum pembela HAM dan masyarakat Papua kebanyakan ceritera pedih tak manusiwai yang terjadi di Kabupaten Pania di 2014 yang lalu. Empat orang anak sekolah mati tak berdaya oleh peluru yang menembus tubuh mereka. Ceritera ini belum menemukan titik terang penyelesaian, muncul lagi kasus-kasus serupa di bagian lain pulau Papua. Penembakan masih terus terjadi. Intimidasi dan bentuk-bentuk tekanan lainnya juga masih belum berakhir.
Itu tentang kekerasan fisik. Masih ada begitu banyak kekerasan dalam bentuk yang lain. Salah satu yang masih terus dialami adalah ‘cap’ negatif yanyg masih terus dilabelkan kepada masyarakat Papua hanya karena berbeda, pandangan politiknya, warna kulitnya dan rambutnya yang tak selurus masyarakat suku lain di negara tercinta ini. Cap ini kadang bisa mejadi alasan untuk sebuah tindakan kekerasan.
Bentuk kekerasan lain adalah kebijakan yang mengabaikan nilai-nila lokal. Misalnya dalam bidang pendidikan. Tak diragukan lagi bahwa pendidikan (formal) merupakan jalan terampuh menggapai manusia yang memiliki sumber daya yang mumpuni. Akan tetapi, haruskah dalam rangka mencapai tujuan yang mulia ini, keutamaan-keutamaan lokal yang – tentu saja – sangat mendukung peningkatan SDM ini dikorbankan demi suksesnya program pusat (Jakarta)? Begitu juga dengan Papua. Semua orang mengakui bahwa pendidikan sangat berkorelasi dengan sumber daya manusia. Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap pendidikan di Papua masih belum terlalu memuaskan. Masih ada sekolah, baik yang di kota maupun di pedalaman yang gurunya kurang kreatif, masuk sekolah hanya pada saat mau terima gaji.
Banyak gedung sekolah yang tidak diperhatikan dan tidak layak, jumlah guru yang relatif sedikit, dan yang paling urgen adalah masyarakat belum sepenuhnya menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam pendidikan menjadi lemah dan bahkan masyarakat menjadi kehilangan dukungannya bagi perkembangan sekolah. Selain itu ada juga kasus korupsi yang dilakukan baik oleh dinas terkait maupun oleh pendidiknya.
Lain lagi dengan ceritera kesehatan. Globalisasi dalam konteks zaman ini, sulit lagi dibendung. Akan tetapi, globalisasi yang sejatinya membawa serta teknologi yang canggih justru tidak berdampak apa-apa bagi semakin terlayaninya kesehatan masyarakat secara baik, terutama yang ada di pelosok dan pedalaman Papua. Globaliasi semakin meraja, kesehatan masyarakat justru semakin kurang dan tidak diperhatikan. Apakah ini akibat dari globalisasi ketidakpedulian sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus (individualisme), sampai mengabaikan orang-orang yang ada di sekitar atau di pelosok sana. Entahlah….
Selain pendidikan dan kesehatan, bentuk pelanggaran HAM yang lain lagi adalah ketidakadilan dalam pembangunan. Sejak Joko Widodo dipilih sebagai presiden, dia telah 4 kali berkunjung ke Papua. Hal ini paling tidak mengindikasikan bahwa presiden memiliki perhatian yang khusus untuk Papua. Dalam setiap kunjunganynya, isu pembangunan selalu menjadi pokok utama dalam pembicaraan. Akan tetapi, betapa pun presiden sebagai pemimpn tertinggi negara ini berulangkali datang mengunjugi Papua, pembangunan yang diharapkan belum terlalu menunjukkan kemajuan yang berarti.
Hal ini tidak terlepas dari tersendatnya perhatian pemerintah daerah. Proyek pelabuhan peti kemas yang diharapkan memperlancar ide tol laut Presiden Jokowi, hingga saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Saling melemparkan tanggung jawab (pusat – daerah) adalah lagu lama yang sering digunakan sebagai argumentasi untuk memaklumi realitas kegagalan itu. Masih begitu banyak program pembangunan serupa yang memiliki nasib yang sama dan kebanyakan berujung pada argumentasi ‘baku lempar kesalahan’.
Efek dari ketidakadilan pembangunan ini adalah kesejahteraan yang diharapkan terasa jauh dari yang diharapkan. Janji kesejahteraan para elit politik (lokal dan nasional) tidak lebih dari semua omongan ‘kabualan’ yang menjadi bumbu pemberi rasa nikmat sesaat saja. Realitas justru mempertontonkan sebuah lakon drama ‘baku tipu’ antar para elit dan penguasa. Banyak kabupaten telah dimekarkan tapi nasib rakyatnya beigtu-begitu saja. Kemiskinan terus dialami oleh kebanyakan rakyat; sementara segelintir orang (para penguasa) terus saja menimbun kekayaan. Banyak masyarakat berteriak dengan suara serak tak berdaya, sementara segelintir orang berdansa dengan penuh sukacita di atas kuasa, jabatan dan kekayaannya. Sungguh Sangat ironis.
SADAR, BERSATU DAN LAWAN ADALAH SOLUSI PALING PRAKTIS UNTUK PEMBEBASAN WEST PAPUA.
By: Emil E Wakei
Disposkan: Suara Wiyaimana Papua
Ceritera tentang pelanggaran HAM sejatinya bukan hanya ceritera kita di zaman ini. Dalam KS PL pun, kisah pelanggaran HAM itu bisa kita temukan. Wujudnya pun beragama. Ada yang berwujud perlakukan penindasan terhadap kaum lemah, rentan, miskin dan tak berdaya, dan ada pula yang berwujud dalam tindakan dan praktek ketidakadilan. Di Indonesia pun ceritera dan ingatan akan begitu banyak pelanggaran HAM di masa lalu masih saja belum berakhir. Di Papua lebih seksi lagi ceriteranya. Pelanggaraan HAM di masa lalu belum terungkap pelakunya, muncul lagi pelanggaran HAM yang baru.
Masih terpatri dalam ingatan kaum pembela HAM dan masyarakat Papua kebanyakan ceritera pedih tak manusiwai yang terjadi di Kabupaten Pania di 2014 yang lalu. Empat orang anak sekolah mati tak berdaya oleh peluru yang menembus tubuh mereka. Ceritera ini belum menemukan titik terang penyelesaian, muncul lagi kasus-kasus serupa di bagian lain pulau Papua. Penembakan masih terus terjadi. Intimidasi dan bentuk-bentuk tekanan lainnya juga masih belum berakhir.
Itu tentang kekerasan fisik. Masih ada begitu banyak kekerasan dalam bentuk yang lain. Salah satu yang masih terus dialami adalah ‘cap’ negatif yanyg masih terus dilabelkan kepada masyarakat Papua hanya karena berbeda, pandangan politiknya, warna kulitnya dan rambutnya yang tak selurus masyarakat suku lain di negara tercinta ini. Cap ini kadang bisa mejadi alasan untuk sebuah tindakan kekerasan.
Bentuk kekerasan lain adalah kebijakan yang mengabaikan nilai-nila lokal. Misalnya dalam bidang pendidikan. Tak diragukan lagi bahwa pendidikan (formal) merupakan jalan terampuh menggapai manusia yang memiliki sumber daya yang mumpuni. Akan tetapi, haruskah dalam rangka mencapai tujuan yang mulia ini, keutamaan-keutamaan lokal yang – tentu saja – sangat mendukung peningkatan SDM ini dikorbankan demi suksesnya program pusat (Jakarta)? Begitu juga dengan Papua. Semua orang mengakui bahwa pendidikan sangat berkorelasi dengan sumber daya manusia. Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap pendidikan di Papua masih belum terlalu memuaskan. Masih ada sekolah, baik yang di kota maupun di pedalaman yang gurunya kurang kreatif, masuk sekolah hanya pada saat mau terima gaji.
Banyak gedung sekolah yang tidak diperhatikan dan tidak layak, jumlah guru yang relatif sedikit, dan yang paling urgen adalah masyarakat belum sepenuhnya menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam pendidikan menjadi lemah dan bahkan masyarakat menjadi kehilangan dukungannya bagi perkembangan sekolah. Selain itu ada juga kasus korupsi yang dilakukan baik oleh dinas terkait maupun oleh pendidiknya.
Lain lagi dengan ceritera kesehatan. Globalisasi dalam konteks zaman ini, sulit lagi dibendung. Akan tetapi, globalisasi yang sejatinya membawa serta teknologi yang canggih justru tidak berdampak apa-apa bagi semakin terlayaninya kesehatan masyarakat secara baik, terutama yang ada di pelosok dan pedalaman Papua. Globaliasi semakin meraja, kesehatan masyarakat justru semakin kurang dan tidak diperhatikan. Apakah ini akibat dari globalisasi ketidakpedulian sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus (individualisme), sampai mengabaikan orang-orang yang ada di sekitar atau di pelosok sana. Entahlah….
Selain pendidikan dan kesehatan, bentuk pelanggaran HAM yang lain lagi adalah ketidakadilan dalam pembangunan. Sejak Joko Widodo dipilih sebagai presiden, dia telah 4 kali berkunjung ke Papua. Hal ini paling tidak mengindikasikan bahwa presiden memiliki perhatian yang khusus untuk Papua. Dalam setiap kunjunganynya, isu pembangunan selalu menjadi pokok utama dalam pembicaraan. Akan tetapi, betapa pun presiden sebagai pemimpn tertinggi negara ini berulangkali datang mengunjugi Papua, pembangunan yang diharapkan belum terlalu menunjukkan kemajuan yang berarti.
Hal ini tidak terlepas dari tersendatnya perhatian pemerintah daerah. Proyek pelabuhan peti kemas yang diharapkan memperlancar ide tol laut Presiden Jokowi, hingga saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Saling melemparkan tanggung jawab (pusat – daerah) adalah lagu lama yang sering digunakan sebagai argumentasi untuk memaklumi realitas kegagalan itu. Masih begitu banyak program pembangunan serupa yang memiliki nasib yang sama dan kebanyakan berujung pada argumentasi ‘baku lempar kesalahan’.
Efek dari ketidakadilan pembangunan ini adalah kesejahteraan yang diharapkan terasa jauh dari yang diharapkan. Janji kesejahteraan para elit politik (lokal dan nasional) tidak lebih dari semua omongan ‘kabualan’ yang menjadi bumbu pemberi rasa nikmat sesaat saja. Realitas justru mempertontonkan sebuah lakon drama ‘baku tipu’ antar para elit dan penguasa. Banyak kabupaten telah dimekarkan tapi nasib rakyatnya beigtu-begitu saja. Kemiskinan terus dialami oleh kebanyakan rakyat; sementara segelintir orang (para penguasa) terus saja menimbun kekayaan. Banyak masyarakat berteriak dengan suara serak tak berdaya, sementara segelintir orang berdansa dengan penuh sukacita di atas kuasa, jabatan dan kekayaannya. Sungguh Sangat ironis.
SADAR, BERSATU DAN LAWAN ADALAH SOLUSI PALING PRAKTIS UNTUK PEMBEBASAN WEST PAPUA.
By: Emil E Wakei
Disposkan: Suara Wiyaimana Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar