Mantan Anggota Kongres AS, Faleomavaega Eni Hunkin, meninggal dunia pada usia 73 tahun di Utah pada hari Kamis (23/02) (Foto:AFP) |
UTAH, SATUHARAPAN.COM - Mantan Anggota
Kongres AS yang getol memperjuangkan kemerdekaan Papua, Eni Hunkin
Faleomavaega, meninggal di Utah, AS, pada usia 73 pada hari Kamis
(23/2).
Kematian politisi berdarah Samoa Amerika ini, dikonfirmasi oleh adik
iparnya, Theresa Hunkin, yang mengatakan ia meninggal dengan tenang di
rumahnya di Provo, Utah, dikelilingi oleh keluarga dan beberapa teman
dekat.
Lahir di Vailoatai Village di Kepulauan Samoa, Eni Faleomavaega
dibesarkan di Hawaii. Ia bermukim di sana dan meraih gelar sarjana Ilmu
Politik, sebelum belajar hukum ke AS daratan.
Dia kemudian bergabung dengan Angkatan Darat Amerika Serikat, dan
turut bertempur dalam Perang Vietnam, sampai meraih pangkat kapten.
Setelah meninggalkan karier ketentaraan pada tahun 1969, Faleomavaega
menjabat sebagai asisten administrasi untuk delegasi Samoa Amerika di
Washington sebelum kembali ke pulau kelahirannya pada tahun 1981. Ia
sempat menjadi jaksa di wilayah itu sebelum memutuskan terjun ke
politik.
Ia terpilih sebagai wakil gubernur wilayah itu pada tahun 1985, di
bawah gubernur Aifili Paulo Lutali. Lalu ia bertarung untuk
memperebutkan satu-satunya kursi kongres mewakili wilayah Samoa pada
tahun 1988. Berlaga dari Partai Demokrat, dia menang tipis melawan
kandidat independen Lia Tufele dengan 51 persen suara.
Ia kemudian menjadi tokoh yang sangat populer, memperoleh dukungan
bukan hanya dari kalangan Samoa, sampai akhirnya ia digantikan oleh
Aumua Amata pada tahun 2014.
Koresponden RNZ International
di ibukota Samoa, Pago Pago, Fili Sagapolutele, mengatakan bahwa dengan
pengalaman 26 tahun di kongres, Faleomavaega memenangkan pemilu dengan
mayoritas besar.
"Dia adalah seorang pemimpin yang kuat," kata dia. "Bukan hanya
sebagai pemimpin politik, tetapi juga ia memegang gelar adat utama
Samoa, dan meskipun sebagian besar waktunya ada di Washington. Ia masih
bisa berbicara dalam bahasa Samoa dan lancar menangani masalah dengan
cara budaya, dan berbicara kepada satu pemimpin tradisional ke pemimpin
tradisional yang lain. Dia mendapatkan respek yang besar," kata dia.
Aktivis dan pembela HAM di Papua, Matius Murib, secara pribadi merasa
kehilangan atas kepergian Eni Faleomavaega. "Dia melihat ada sesuatu
yang salah atas status Bangsa Papua, maka beliau memperjuangkan hak-hak
Bangsa Papua di Kongers AS, saya secara pribadi sangat mengapresiasi
perjuangannya," kata Matius Murib.
Hal yang sama dikemukakan oleh Markus Haluk, anggota tim kerja dalam
negeri United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), yang
memerjuangkan penentuan nasib sendiri Papua. Menurut dia, Eni
Faleomavaega tidak pernah lelah memikirkan Papua.
"Saya dan Octo Mote (Sekjen ULMWP, red) bertemu dia di kantornya. Dia bilang, 'Markus, saya sudah tujuh kali operasi jantung tetapi saya masih kuat. Saya akan bicara dan berjuang kuat supaya Papua bisa mendapat hak kedaulatannya. Papua selalu membuat saya kuat sekalipun dalam tubuh saya ini tidak kuat sebagai manusia,'" Markus bercerita.
Menurut Markus, Faleomavaega berkisah bahwa dulu keluarganya lah yang bekerja membawa Injil ke Papua. "Jasad dan tulang belulang mereka disemayamkan di Papua. Saya dan rakyat Samoa Amerika punya kewajiban moral untuk membela hak politik bangsa Papua," demikian Faleomavaega berkata, dikisahkan kembali oleh Markus kepada satuharapan.com.
Samoa Amerika adalah satu-satunya teritori di AS di mana penduduknya diperlakukan sebagai warga negara tetapi tidak memiliki hak penuh sebagai warga negara. Mereka tidak berhak memilih presiden dan perwakilan mereka di Kongres juga tidak memiliki hak suara dalam proses legislasi.
Berjuang untuk Otonomi Samoa
Sepanjang 26 tahun berada di Kongres AS di Washington, Faleomavaega
bergabung dalam Dewan Komite Urusan Luar Negeri dan Komite Sumber Daya
Alam. Dewan dan komite ini memiliki yurisdiksi di seluruh wilayah AS.
Dalam hal legislasi, Faleomavaega berhasil mendorong lebih banyak
dana dikucurkan ke wilayah Samoa, terutama untuk jalan, sekolah dan
infrastruktur lainnya. Ia juga berhasil melawan kesepakatan yang akan
mengancam industri tuna Samoa.
Namun, ia gagal dalam memperjuangkan hal yang lebih besar bagi rakyat
Samoa. Dalam Kongres, ia mengusulkan undang-undang yang akan
mengizinkan penduduk wilayah itu untuk memiiki hak suara dalam pemilihan
presiden jika mereka adalah anggota aktif militer. Menjelang akhir masa
jabatannya, ia juga memperjuangkan otonomi yang lebih besar, bahkan
kemerdekaan Samoa. Tetapi gagal.
Memperjuangkan Papua
Dia juga sangat gencar menyuarakan perlunya pengungkapan pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat
Papua. Pada 22 September 2010, sebagai Ketua Sub Komite Asia, Pasifik
dan Lingkungan Global di Komite Luar Negeri Kongres AS, ia memprakarsai
dengar pendapat tentang masalah Papua. Dalam forum itu, ia menyampaikan
pernyataan yang mengeritik penyalahgunaan kekuasaan militer secara
sistematik terhadap rakyat Papua.
Lewat pernyataan yang berjudul "Crimes Against Humanity: When Will Indoensia's Military Be Held Accountable for Deliebrate and Systematic Abuses in West Papua," ia menyebut bahwa rakyat Papua menjadi target genosida gerak lambat.
"Sejak tahun 1969, orang-orang Papua telah dengan sengaja dan
sistematis menjadi korban genosida gerak lambat oleh pasukan militer
Indonesia," kata dia.
"Namun Indonesia menyatakan bahwa masalah ini adalah 'masalah
internal sedangkan Kementerian Luar Negeri AS 'mengakui dan menghormati
kesatuan teritorial Indonesia.' Yang benar adalah ini bukan isu kesatuan
wilayah dan persoalan internal, dan catatan tentang itu sangat jelas,"
ia melanjutkan.
Di bagian lain pidatonya, ia menceritakan bagaimana Kementerian Luar
Negeri AS memintanya untuk tidak menggunakan kata genosida. "Walaupun
saya telah dengan jelas mengungkapkan keprihatian bahwa ada indikasi
yang kuat pemerintah Indonesia melakukan genosida terhadap rakyat Papua,
saya kecewa bahwa Kementerian Luar Negeri AS telah meminta saya
menghapus kata genosida dalam judul awal pembicaraan saya di rapat ini.
Kementerian luar negeri meminta sebuah perubahan dalam judul didasarkan
penilaian bahwa genosida adalah istilah hukum," tutur dia.
Pengalaman Pahit ketika Mengunjungi Papua
Pada forum itu juga ia menceritakan pengalamannya ketika pada tahun
2007 membawa delegasi kongres ke Indonesia. Menurut dia, ketika itu ia
sudah mendapat janji pribadi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wapres Jusuf Kalla, bahwa ia akan diberi waktu 5 hari mengunjung Biak,
Manokwari dan Jayapura untuk mendukung implementasi Otonomi Khusus yang
sudah dijalankan sejak 2001.
"Tetapi ketika dalam perjalanan ke Jakarta, saya mendapat pesan bahwa
pemerintah Indonesia hanya mengizinkan saya tiga hari di Indonesia.
Ketika saya tiba pada 25 November 2007, saya diberitahu bahwa saya hanya
punya waktu satu hari dan saya tidak diizinkan mengunjungi Jayapura.
Dan pada kenyataannya, saya hanya punya waktu dua jam di Biak dan 10
menit di Manokwari..... Duta Besar AS Cameron Hume dan saya juga harus
mencari jalan menembus barikade militer karena TNI menghalangi rakyat
Papua bertemu saya," kata dia.
Dengar pendapat itu menghadirkan beberapa panelis baik dari kalangan
akademisi, pemerhati masalah Papua, dan aktivis pemerhati HAM. Di
antaranya Pieter Drooglever (Institute of Netherlands History), Henkie
Rumbewas (Australia West Papua Association), dan Sophie Richardson, PhD
(Human Rights Watch).
Atas penyelenggaraan dengar pendapat itu, Duta Besar RI untuk AS kala
itu, Dino Patti Djalal, menulis surat untuk mengingatkan agar forum itu
tidak menjadi forum anti Indonesia.
"Saya berharap dengar pendapat itu merupakan upaya yang jujur yang
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai keadaan
ekonomi, politik dan sosial yang kompleks di Papua, dari pada meladeni
pihak-pihak yang anti Indonesia," kata Dino dalam suratnya, yang dimuat
oleh Detik.com.
Dalam suratnya, Dino menegaskan bahwa Papua dan West Papua (Papua
Barat)merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang didukung secara de facto dan de jure oleh semua anggota PBB.
"Saya menyarankan kepada Anda untuk membedakan antara pihak yang
benar benar peduli dengan Papua dan pihak-pihak yang bermaksud
memanipulasi House of Representative (DPR AS) untuk mendukung gerakan
separatis di Papua," tulis Dino kepada Eni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar