LONDON, SUARA WIYAIMANA - Sebuah laporan
yang diterbitkan oleh Economic & Social Research Council The
University Warwick mengatakan investor asing mulai mempertanyakan
implikasi etis dari dukungan mereka terhadap pemerintah Indonesia di
Papua. Lebih jauh laporan itu menunjukkan sejumlah investor telah
melepas saham di beberapa perusahaan yang beroperasi di Papua karena
alasan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan hidup.
Laporan setebal 48 halaman yang
diluncurkan pada awal bulan Mei ini, merupakan laporan terbaru yang
terbit terkait dengan kondisi terkini di Papua. Laporan ini merupakan
bagian dari Politics of Papua Project dari Department of Politics and
International Relations University of Warwick, yang ditujukan untuk
memfasilitasi resolusi konflik secara damai di Papua.
Dalam salah satu bagian dari laporan ini, yang secara luas dan
komprehensif membahas berbagai pelanggaran HAM di Papua, dikatakan bahwa
sejumlah lembaga telah hengkang dari perusahaan-perusahaan yang
beroperasi di Papua dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, pada
tahun 2006 dan 2007, Dana Pensiun Pemerintah Norwegia telah
mendivestasikan sahamnya dari perusahaan tambang yang beroperasi di
Papua, Rio Tinto. Alasannya adalah kerusakan lingkungan yang dtimbulkan
oleh perusahaan yang beroperasi di pertambangan Grasberg itu.
Pada tahun 2012, Superannuation Fund dari Selandia Baru juga menarik
kepemilikan sahamnya dari Freeport. Pilihan ini diambil karena adanya
laporan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan di sekitar tambang
Grasberg. Selain itu hengkangnya lembaga ini juga dipicu oleh
kekhawatiran atas adanya pembayaran-pembayaran kepada pasukan keamanan
pemerintah.
Sebuah artikel The New York Times pada tahun 2005,
melaporkan Freeport membayar tentara Indonesia sebesar US$ 20 juta dalam
rentang waktu 1998 hingga 2004. Hal yang mirip dilakukan oleh BP, yang
mulai beroperasi di Papua pada 2005 di Proyek LNG Tangguh. Perusahaan
ini membayar jasa polisi Indonesia, yang dituduh telah melakukan
pelanggaran HAM.
Pada tahun 2013, sebuah dana pensiun Swedia juga keluar dari
Freeport. Dewan Etis, yang memberi nasihat kepada dana pensiun itu,
melaporkan bahwa operasi pertambangan Freeport di Papua telah memberi
dampak buruk lingkungan yang melanggar standar Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Perusahaan Inggris, British Petroleum (BP), menurut laporan
Universitas Warwick, juga telah menanggung kerugian reputasi atas
aktivitasnya di Papua. Down to Earth, sebuah lembaga advokasi
lingkungan, mempertanyakan perilaku BP di Papua. Mereka mengeritik
kurangnya trnasparansi dan kegagalan perusahaan itu memenuhi janjinya di
Papua.
Pada tahun 2004, 300 LSM dan individu menandatangani surat yang
ditujukan kepada pemimpin BP. Mereka menyampaikan keprihatinan terhadap
komitmen perusahaan itu di Papua. Penandatanganan petisi termasuk mantan
Vice President BP untuk Indonesia, John O'Reilly. Reilly juga secara
terbuka mengeritik kerusakan reputasi perusahaan itu akibat pelanggaran
HAM di Papua.
Keterlibatan BP di Papua juga telah menjadi salah satu alasan di
balik unjuk rasa publik terhadap perusahaan itu, termasuk dalam unjuk
rasa pada tahun 2015 yang mengambil tempat di Festival Edinburg, Royal
Opera House dan di British Museum.
Laporan Universitas Warwick mencatat bahwa implikasi hukum dari
perilaku perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua tidak boleh
dianggap enteng di masa mendatang. Freeport telah menjadi objek tuntutan
hukum yang menyatakan perusahaan itu melanggar HAM dan merusak
lingkungan. Tuntutan hukum diajukan oleh Tom Beanal dan Yosefa Alomang
di pengadilan AS. Tuntutan ini memang gagal, karena hambatan jurisdiksi.
Namun, kemungkinan konsekuensi hukum di masa mendatang tidak boleh
diremehkan.
Laporan ini juga mengingatkan kemungkinan sulitnya posisi
perusahaan-perusahaan ini kelak bila ada perkembangan politik yang
signifikan. Apabila Papua merdeka, dukungan perusahaan-perusahaan
tersebut selama ini kepada militer Indonesia diperkirakan akan
menyulitkan proses membangun relasi yang konstruktif.
Laporan ini menggambarkan Papua semakin terancam dari eksploitasi dan
kerusakan lingkungan. Diakui, Papua sangat kaya dengan sumber daya
alam, termasuk hutan, minyak, gas, tembaga dan emas. Namun, hutan Papua
semakin terancam oleh kegiatan pertambangan, penebangan hutan dan
penanaman kelapa sawit. Tambang Grasberg sebagai tambang emas terbesar
di dunia, dioperasikan oleh Freeport, sedangkan Rio Tinto, perusahaan
multinasional Inggris-Australia, ikut melakukan bagi hasil produksi.
Menurut laporan ini, komunitas internasional telah semakin memberi
perhatian atas konflik Papua. Tingkat kemiskinan di Papua sangat tinggi,
sistem pendidikan dan kesehatan tidak efektif dan pemerintahan yang
tidak memiliki akuntabilitas. Ini menjadi salah satu sumber
keprihatinan.
Keprihatinan terhadap Papua semakin menguat disurakan oleh
negara-negara Melanesia di sekitar Papua. United Liberation Movement fo
West Papua (ULMWP), wadah terdepan yang menyuarakan penentuan nasib
sendiri di Papua, kemudian diakui sebagai anggota peninjau di organisasi
negara-negara Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG).
Papua juga telah menarik perhatian yang lebih luas. Pada tahun 2008,
sejumlah anggota parlemen dari berbagai negara mendirikan International
Parliamentarians for West Papua (IPWP) yang mendukung penentuan nasib
sendiri untuk Papua. Pemimpin Afrika, rohaniawan dan pemenang Nobel,
Desmond Tutu, secara berulang kali mengangkat isu Papua tersebut.
Sejak tahun 2009, International Lawyers for West Papua, sebuah
kelompok beranggotakan pengacara internasional, bergerak mengadvokasi
masyarakat Papua Asli untuk menuntut penentuan nasib sendiri. Pada tahun
2011, Menu AS kala itu, Hilary Clinton, mengumumkan bahwa Indonesia
harus menangani kebutuhan legitimasi rakyat Papua.
Pada tahun 2004, Menteri Negara Inggris, Baronss Symons, memberi
komentar tentang Acot of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat pada
1969) yang selama ini dianggap tidak sesuai dengan standar
internasional. Pada tahun 2013, anggota parlemen Inggris mengangkat isu
Papua pada sidang di parlemen. Menjawab pertanyaan, pemerintah Inggris
mengakui, "Kita semua setuju bahwa situasi di Papua merupakan
keprihatinan kita dan kita harus terus menyuarakan perlawanan terhadap
kekerasan, siapa pun yang melakukannya yang melanggar HAM dan hukum
internasional."
Pada akhirnya, studi Universitas Warwick memberikan sejumlah
rekomendasi yang ditujukan kepada parlemen dan pemerintah Inggris.
Rekomendasi itu antara lain, meminta kepada parlemen Inggris
mempertanyakan isu pelanggaran HAM di Papua kepada pemerintahnya.
Laporan ini juga mendorong agar anggota parlemen Inggris ikut
bergabung dengan All Party Parliementary Group on West Papua, yang
dipimpin oleh Andrew Smith. Lembaga ini bertujuan mempromosikan
pemahaman lebih baik tentang situasi di Papua.
Laporan ini juga mendorong agar pemerintah Inggris mengambil peran
lebih aktif dalam mengatasi konflik di Papua, mendorong kebebasan pers
di Papua, khususnya kepada jurnalis asing dan mendesak dibebaskannya
tahanan politik.
Laporan ini selanjutnya mendesak PBB untuk mengirimkan Special
Rapporteur ke Papua, dan meminta menunda pelatihan serta penjualan
peralatan militer kepada TNI dan Polri sampai terciptanya mekanisme yang
dapat diandalkan dalam memverifikasi pelanggaran HAM di Papua.
Editor : Eben E. Siadari
Baca Juga:
- Gereja Katolik Minta PBB Investigasi Pelanggaran HAM Papua
- Sejumlah Negara Hadiri Pertemuan Pembebasan Papua di London
- Aktivis Papua Pilih Sosialisme dan Tinggalkan Gereja
- Mahasiswa Papua di Australia Nekad Suarakan Aspirasi Merdeka
- Pakar Media: Pelanggaran HAM Papua Harus Jadi Cerita Global
- Dukung ULMWP Anggota Penuh, Vanuatu Minta RI Didepak dari MSG
- Seperti Papua, Pulau-pulau Ini Juga Ingin Merdeka
- Perempuan Katolik Papua Minta Paus Fransiskus Kunjungi Papua
- 20 Uskup Negara-negara Melanesia Turun ke Papua, Ada Apa?
- LIPI: Gerakan Pro Kemerdekaan Papua Semakin Solid
- LIPI Desak Jokowi Segera Umumkan Dialog Nasional dengan Papua
- Pendeta Papua: Pemerintah Jangan Larang Gereja Bicara Referendum
- Pasca Kunjungan Luhut, ULMWP Gencarkan Internasionalisasi Isu Papua
- Komisi HAM Asia Kutuk Penangkapan Aktivis Papua Penyeru Referendum
- WP Arriors Tanding di AS Suarakan Pelanggaran HAM di Papua
- Luhut Pandjaitan: Buat Apa Berunding dengan ULMWP?
- Tokoh Papua: Bila Pak Luhut Niat Baik Tuhan Memberkati
- Luhut Tolak Tim Pencari Fakta Pelanggaran HAM untuk Papua
- Luhut: Saya Ingin Orang Papua Tuan di Tanahnya Sendiri
- Karya Tulis tentang Papua Merdeka Raih Penghargaan di California
- ULMWP Tolak Usul Luhut Kirim Utusan Khusus ke Pasifik Selatan
- Ziarah Luhut ke Makam Theys Bertabur Puji dan Caci
- Gereja-gereja Pasifik Kritisi Kunjungan Luhut ke Fiji
- Tokoh Papua: Kunjungan Luhut Sia-sia Tanpa Dialog dengan ULMWP
- Papua Termasuk 60 Bangsa di Dunia yang Perjuangkan Kemerdekaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar