Selasa, 10 Mei 2016

Investor Asing Mulai Pertanyakan Pelanggaran HAM di Papua


Desmond Tutu (kiri), kulit hitam pertama yang menjadi uskup Gereja Anglikan, Afrika Selatan, tatkala berfoto bersama Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda. Desmond Tutu, rohaniawan penentang apartheid dan pemenang Nobel Perdamaian 1984, memberikan dukungannya bagi penentuan nasib sendiri rakyat Papua (Foto: akun twitter Benny Wenda).

LONDON, SUARA WIYAIMANA - Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Economic & Social Research Council The University Warwick mengatakan investor asing mulai mempertanyakan implikasi etis dari dukungan mereka terhadap pemerintah Indonesia di Papua. Lebih jauh laporan itu menunjukkan sejumlah investor telah melepas saham di beberapa perusahaan yang beroperasi di Papua karena alasan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan hidup.

Laporan setebal 48 halaman yang diluncurkan pada awal bulan Mei ini, merupakan laporan terbaru yang terbit terkait dengan kondisi terkini di Papua.  Laporan ini merupakan bagian dari Politics of Papua Project dari Department of Politics and International Relations University of Warwick, yang ditujukan untuk memfasilitasi resolusi konflik secara damai di Papua.

Dalam salah satu bagian dari laporan ini, yang secara luas dan komprehensif membahas berbagai pelanggaran HAM di Papua, dikatakan bahwa sejumlah lembaga telah hengkang dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, pada tahun 2006 dan 2007, Dana Pensiun Pemerintah Norwegia telah mendivestasikan sahamnya dari perusahaan tambang yang beroperasi di Papua, Rio Tinto. Alasannya adalah kerusakan lingkungan yang dtimbulkan oleh perusahaan yang beroperasi di pertambangan Grasberg itu.

Pada tahun 2012, Superannuation Fund dari Selandia Baru juga menarik kepemilikan sahamnya dari Freeport. Pilihan ini diambil karena adanya laporan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan di sekitar tambang Grasberg. Selain itu hengkangnya lembaga ini juga dipicu oleh  kekhawatiran atas adanya pembayaran-pembayaran kepada pasukan keamanan pemerintah.

Sebuah artikel The New York Times pada tahun 2005, melaporkan Freeport membayar tentara Indonesia sebesar US$ 20 juta dalam rentang waktu 1998 hingga 2004. Hal yang mirip dilakukan oleh BP, yang mulai beroperasi di Papua pada 2005 di Proyek LNG Tangguh. Perusahaan ini membayar jasa polisi Indonesia, yang dituduh telah melakukan pelanggaran HAM.

Pada tahun 2013, sebuah dana pensiun Swedia juga keluar dari Freeport. Dewan Etis, yang memberi nasihat kepada dana pensiun itu, melaporkan bahwa operasi pertambangan Freeport di Papua telah memberi dampak buruk lingkungan yang melanggar standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Perusahaan Inggris, British Petroleum (BP), menurut laporan Universitas Warwick, juga telah menanggung kerugian reputasi atas aktivitasnya di Papua. Down to Earth, sebuah lembaga advokasi lingkungan, mempertanyakan perilaku BP di Papua. Mereka mengeritik kurangnya trnasparansi dan kegagalan perusahaan itu memenuhi janjinya di Papua.

Pada tahun 2004, 300 LSM dan individu menandatangani surat yang ditujukan kepada pemimpin BP. Mereka menyampaikan keprihatinan terhadap komitmen perusahaan itu di Papua. Penandatanganan petisi termasuk mantan Vice President BP untuk Indonesia, John O'Reilly. Reilly juga secara terbuka mengeritik kerusakan reputasi perusahaan itu akibat pelanggaran HAM di Papua.

Keterlibatan BP di Papua juga telah menjadi salah satu alasan di balik unjuk rasa publik terhadap perusahaan itu, termasuk dalam unjuk rasa pada tahun 2015 yang mengambil tempat di Festival Edinburg, Royal Opera House dan di British Museum.

Laporan Universitas Warwick mencatat bahwa implikasi hukum dari perilaku perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua tidak boleh dianggap enteng di masa mendatang. Freeport telah menjadi objek tuntutan hukum yang menyatakan perusahaan itu melanggar HAM dan merusak lingkungan. Tuntutan hukum diajukan oleh Tom Beanal dan Yosefa Alomang di pengadilan AS. Tuntutan ini memang gagal, karena hambatan jurisdiksi. Namun, kemungkinan konsekuensi hukum di masa mendatang tidak boleh diremehkan.

Laporan ini juga mengingatkan kemungkinan sulitnya posisi perusahaan-perusahaan ini kelak bila ada perkembangan politik yang signifikan. Apabila Papua merdeka, dukungan perusahaan-perusahaan tersebut selama ini kepada militer Indonesia diperkirakan akan menyulitkan proses membangun relasi yang konstruktif.

Laporan ini menggambarkan Papua semakin terancam dari eksploitasi dan kerusakan lingkungan. Diakui, Papua sangat kaya dengan sumber daya alam, termasuk hutan, minyak, gas, tembaga dan emas. Namun, hutan Papua semakin terancam oleh kegiatan pertambangan, penebangan hutan dan penanaman kelapa sawit. Tambang Grasberg sebagai tambang emas terbesar di dunia, dioperasikan oleh Freeport, sedangkan Rio Tinto, perusahaan multinasional Inggris-Australia, ikut melakukan bagi hasil produksi.

Menurut laporan ini, komunitas internasional telah semakin memberi perhatian atas konflik Papua. Tingkat kemiskinan di Papua sangat tinggi, sistem pendidikan dan kesehatan tidak efektif dan pemerintahan yang tidak memiliki akuntabilitas. Ini menjadi salah satu sumber keprihatinan.

Keprihatinan terhadap Papua semakin menguat disurakan oleh negara-negara Melanesia di sekitar Papua. United Liberation Movement fo West Papua (ULMWP), wadah terdepan yang menyuarakan penentuan nasib sendiri di Papua, kemudian diakui sebagai anggota peninjau di organisasi negara-negara Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG).

Papua juga telah menarik perhatian yang lebih luas. Pada tahun 2008, sejumlah anggota parlemen dari berbagai negara mendirikan International Parliamentarians for West Papua (IPWP) yang mendukung penentuan nasib sendiri untuk Papua. Pemimpin Afrika, rohaniawan dan pemenang Nobel, Desmond Tutu, secara berulang kali mengangkat isu Papua tersebut.

Sejak tahun 2009, International Lawyers for West Papua, sebuah kelompok beranggotakan pengacara internasional, bergerak mengadvokasi masyarakat Papua Asli untuk menuntut penentuan nasib sendiri. Pada tahun 2011, Menu AS kala itu, Hilary Clinton, mengumumkan bahwa Indonesia harus menangani kebutuhan legitimasi rakyat Papua.

Pada tahun 2004, Menteri Negara Inggris, Baronss Symons, memberi komentar tentang Acot of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969) yang selama ini dianggap tidak sesuai dengan standar internasional. Pada tahun 2013, anggota parlemen Inggris mengangkat isu Papua pada sidang di parlemen. Menjawab pertanyaan, pemerintah Inggris mengakui, "Kita semua setuju bahwa situasi di Papua merupakan keprihatinan kita dan kita harus terus menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan, siapa pun yang melakukannya yang melanggar HAM dan hukum internasional."

Pada akhirnya,  studi Universitas Warwick memberikan sejumlah rekomendasi yang ditujukan kepada parlemen dan pemerintah Inggris. Rekomendasi itu antara lain, meminta kepada parlemen Inggris mempertanyakan isu pelanggaran HAM di Papua kepada pemerintahnya.

Laporan ini juga mendorong agar anggota parlemen Inggris ikut bergabung dengan All Party Parliementary Group on West Papua, yang dipimpin oleh Andrew Smith. Lembaga ini bertujuan mempromosikan pemahaman lebih baik tentang situasi di Papua.

Laporan ini juga mendorong agar pemerintah Inggris mengambil peran lebih aktif dalam mengatasi konflik di Papua, mendorong kebebasan pers di Papua, khususnya kepada jurnalis asing dan mendesak dibebaskannya tahanan politik.

Laporan ini selanjutnya mendesak PBB untuk mengirimkan Special Rapporteur ke Papua, dan meminta menunda pelatihan serta penjualan peralatan militer kepada TNI dan Polri sampai terciptanya mekanisme yang dapat diandalkan dalam memverifikasi pelanggaran HAM di Papua.

Editor : Eben E. Siadari


Baca Juga:

Sumber: Satu Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar