Filep Karma saat menandatangani surat penolakan remisi yang dikirimkannya kepada Kementrian Hukum dan HAM – Jubi/Ruth |
Jayapura, Jubi – “Saya, Filep Karma menolak tawaran remisi untuk masa tahanan saya dalam peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Hari kemerdekaan saya adalah hari kemerdekaan Papua Barat, 1 Desember,” demikian disampaikan Filep Karma, tahanan politik Papua Barat yang dijatuhi hukuman 15 tahun penjara sejak tahun 2014 karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di Universitas Cenderawasih, Jayapura, kepada Jubi, Jumat (14/8/2015).
Filep Karma menegaskan ia hanya akan menerima pembebasan tanpa syarat.
“Jika pembebasan tanpa syarat ini diberikan, saya dengan senang hati akan berjalan bebas keluar dari penjara Abepura pada tanggal 18 Agustus nanti,” ujar Filep Karma.
Filep Karma meyakini ia tidak berbuat satupun kesalahan atau tindakan criminal saat ia mengibarkan bendera Bintang Kejora. Karenanya, ia menegaskan akan tetap mengkampanyekan kemerdekaan Papua Barat, sekalipun ia telah bebas nantinya.
Dalam catatan Jubi, Filep Karma selalu menolak tawaran remisi dari Negara. Pada tahun 2008, ia dengan tegas menolak remisi yang ditawarkan oleh pemerintah. Padahal menurut Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kanwil Depkum dan HAM Provinsi Papua saat itu, Demianus Rumbiak Filep Karma bersama Yusak Pakage adalah dua tahanan politik yang menjadi perhatian para anggota Kongres AS. Para anggota Kongres AS ini bahkan meminta keduanya dibebaskan.
Filep Karma juga menolak remisi yang ditawarkan pemerintah pada tahun –tahun berikutnya. Ia berprinsip tegas menolak, walaupun negara/pemerintah mengatakan ini kewajiban Negara. Menurutnya, remisi itu diberikan kepada orang yang bersalah sebagai bentuk pengampunan karena selama menjadi warga binaan mereka berkelakuan baik.
“Nah saya merasa tidak bersalah atas sesuatu yang tidak saya lakukan, tapi saya malah dihukum,” ujarnya tahun lalu saat diberikan tawaran remisi oleh pemerintah.
Terakhir, Filep Karma menolak pembebasan yang ditawarkan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo, pada bulan Mei lalu. Saat itu, Presiden Indonesia menawarkan grasi kepada beberapa tahanan politik, termasuk Filep Karma yang awalnya dijanjikan akan diberikan amnesti. Pada akhirnya, hanya lima tahanan politik yang menerima tawaran pembebasan itu.
Di lain pihak, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Papua, Abner Banosro mengatakan, pihaknya memberikan program pengurangan masa tahanan atau remisi bagi narapidana yang mendekam di seluruh Lembaga Pemasyarakat di Papua. Menurut dia, remisi itu diberikan dalam rangka HUT RI ke-70 dan remisi Dasawarsa yang diberikan setiap 10 tahun sekali.
“Jadi total narapidan dan anak pidana yang langsung bebas setelah mendapatkan remisi HUT RI ke-70 dan remisi dasawarsa sebanyak 45 orang,” katanya.
Dari 45 orang tersebut,menurut Abner Banosro, salah satunya adalah tahanan politik atas nama Filep Karma.
Menanggapi hal ini, Filep Karma tegas mengatakan ia adalah pelaku politik sehingga ia tak mau didegradasi sebagai pelaku tindak criminal lewat pemberian remisi, grasi maupun amnesti.
“Tawaran remisi, pembebasan bersyarat, grasi dan amnesty yang ditawarkan selama ini oleh Negara Indonesia tidak menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan persoalan politik di papua, tetapi hanya untuk menghindari tekanan politik internasional terhadap persoalan Papua dan untuk pencitraan pemerintah Indonesia di mata masyarakat internasional,” ujar Filep Karma.
Sikapnya tetap tegas, Indonesia, menurutnya harus sadar telah melakukan kesalahan dalam proses hukum terhadap dirinya. Jika ia diberikan pembebasan tanpa syarat, maka harus diikuti oleh rehabilitasi nama baiknya.
“Termasuk juga tahanan politik Organisasi Papua Merdeka lainnya dan Republik Maluku Selatan yang masih di Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia maupun yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang,” tegas Filep Karma. (Victor Mambor)
0 komentar:
Posting Komentar