Delegasi Nederlands Nieuw Guinea(Papua Barat)-Jubi-ist |
Jayapura, Jubi- Perubahan politik di Vanuatu membawa pertanyaan semua pihak terutama United Liberation Movement West Papua(ULMWP) soal status West Papua di Negara-negara Ujung Tombak Persaudaraan Melanesia(MSG). Meski mendapat status sebagai pengamat di dalam keluarga besar persaudaraan Melanesia. Tentunya membuat pemerintah Indonesia dan ULMWP sama-sama duduk di dalam kamar adat Ujung Tombak Persaudaraan Melanesia.
Banyak tawaran untuk mencegah konflik dan perdamaian di Tanah Papua salah satunya Pastor Neles Tebay dengan usulan dialog antara Jakarta dan Papua. Dialog antara Jakarta dan Papua berbicara soal bagaimana membentuk Papua menjadi tanah damai tanpa harus membawa aspirasi dan kepentingan politik masing-masing. Lepaslah kasut NKRI harga mati dan Papua Merdeka harga mati sebelum menuju ke meja dialog antara Papua dan Jakarta.
Menghindari untuk membahas dan membicarakan soal Papua dan Jakarta bukanlah solusi yang akan ditempuh. Apalagi pernyataan Presiden Jokowi setelah kunjungan kedua ke Jayapura, Mei lalu dengan mengatakan untuk apa dialog. Pasalnya Presiden Jokowi sudah bicara dengan tokoh-tokoh adat dan dialog dengan masyarakat di pasar. Sehingga dialog bukanlah suatu solusi sebab Presiden Jokowi sudah datang dan langsung berdialog dengan masyarakat.
Tentunya tidak segampang itu, berbicara soal masalah di Tanah Papua, apalagi menyelesaikan masalah Papua dengan memakai metode dan cara-cara lama. Membungkam keterbukaan dengan kekerasan dan mulai memberlakukan isolasi Papua dari dunia luar di tengah perkembangan teknologi dan perbuahan ekonomi global.
Banyak tawaran untuk mencegah konflik dan perdamaian di Tanah Papua salah satunya Pastor Neles Tebay dengan usulan dialog antara Jakarta dan Papua. Dialog antara Jakarta dan Papua berbicara soal bagaimana membentuk Papua menjadi tanah damai tanpa harus membawa aspirasi dan kepentingan politik masing-masing. Lepaslah kasut NKRI harga mati dan Papua Merdeka harga mati sebelum menuju ke meja dialog antara Papua dan Jakarta.
Menghindari untuk membahas dan membicarakan soal Papua dan Jakarta bukanlah solusi yang akan ditempuh. Apalagi pernyataan Presiden Jokowi setelah kunjungan kedua ke Jayapura, Mei lalu dengan mengatakan untuk apa dialog. Pasalnya Presiden Jokowi sudah bicara dengan tokoh-tokoh adat dan dialog dengan masyarakat di pasar. Sehingga dialog bukanlah suatu solusi sebab Presiden Jokowi sudah datang dan langsung berdialog dengan masyarakat.
Tentunya tidak segampang itu, berbicara soal masalah di Tanah Papua, apalagi menyelesaikan masalah Papua dengan memakai metode dan cara-cara lama. Membungkam keterbukaan dengan kekerasan dan mulai memberlakukan isolasi Papua dari dunia luar di tengah perkembangan teknologi dan perbuahan ekonomi global.
Pernyataan Wakil Menlu Indonesia Wiwik Setyawati Firmandi MSG bahwa resolusi PBB telah mengakui Papua Barat adalah bagian dari Indonesia. Bagi pemerintah Indonesia sesuai dengan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) di mana 1026 orang Papua yang dipilih untuk mewakili 815.944 penduduk di Irian Barat pada 1969 memilih tetap dengan Indonesia.
Demokratiskah pelaksanaan Pepera 1969 ? Ini mungkin pertanyaan klasik tetapi generasi baru Papua harus mengetahui bagaimana reaksi dari Dr Fernando Ortiz Sanz soal pelaksanaan Pepera 1969. Dalam laporannya Ortiz Sanz menyesal karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII(220 tentang hak-hak dan kebebasan orang-orang Papua.
Laporan Ortiz Sanz di dalam Sidang Umum PBB, September 1969 mengatakan, “Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII(22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk.”(Baca Socratez Sofyan Yoman, Pepera 1969 di Papua Tidak Demokratis)
Dr Fernando Ortiz Sanz dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB menyatakan pula kekecewaannya. Karena Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI (16) di West Irian.
Sebelum Papua Barat bergabung dengan Indonesia melalui Pepera 1969, wilayah Nederlands Nieuw Guinea atau Papua Barat sudah menjadi bagian dari South Pacific Commission (SPC). Tepat 6 Februati 1947, wilayah Nederlands Nieuw Guinea sudah menjadi bagian dari SPC di mana dalam Perjanjian Canberra 1947 di mana salah satu tujuan Komisi Pasifik Selatan untuk mengambil kebijakan dan membuat rencana dan mengusulkan pembangunan bidang-bidang ekonomi dan sosial bagi penduduk di Kepulauan Pasifik Selatan.
Menarik dalam perjanjian Canberra 1947 adalah Konfrensi Pasifik Selatan wajib mengikutsertakan tokoh-tokoh intelektual masyarakat penduduk pribumi di kepulauan ini sebagai anggota utuasan, karena pada akhirnya merekalah yang akan dilibatkan dalam pekerjaan Komisi Pasifik Selatan. Selain itu kehadiran mereka sebagai nara sumber dan penasehat. Tak heran saat itu tokoh-tokoh Papua Th Messet, Markus Kaisiepo, Raja Rumbati, FKT Poana, Inuri, Nicolash Youwe selalu ikut dalam pertemuan di Pasifik Selatan.
Wilayah Nederlands Nieuw Guinea (Papua Barat) sejak 1950 pertama kali ikut konfrensi Pasifik Selatan di Suva, ibukota Fiji. Selanjutnya pada 1953 mengikuti konfrensi kedua di Noumea, Kaledonia Baru. Konfrensi pada 1956 di Suva, Fiji dan konfrensi ke empat, 1959 di Rabaul, Papua New Guinea. Terakhir Papua Barat ikut konfrensi di Pago-Pago ibukota Samoa Timur, 1962, mestinya 1965 Konfrensi Komisi Pasifik Selatan di Hollandia (Jayapura sekarang) tetapi wilayah Papua Barat masih menjadi status sengketa antara Indonesia dan Belanda sehingga konfrensi berakhir.
Kehadiran tokoh-tokoh Papua Barat selama Konfrensi Pasifik Selatan, terutama mendiang Markus Kaisiepo dengan lantang memrotes praktek-praktek rasisme terutama di Papua New Guinea dan Fiji. Akibat dari kritikan Kaisiepo saat itu, praktek disikriminasi di sana mulai berubah dan kesempatan diberikan kepada masyarakat pribumi di Pasifik Selatan.
Sedangkan MSG sendiri baru berdiri pada 14 Maret 1988 di mana tiga negara Melanesia masing-masing PNG, Solomon Island dan Vanuatu di Port Villa memprakarsai pembentukan Kelompok Negara Ujung Tombak Melanesia atau Melanesian Spearhead Group(MSG). Manifesto MSG menyepakati bahwa pemerintah ketiga negara bersepakat untuk mengikatkan diri pada prinsip-prinsip saling menghargai dan untuk memajukan kebudayaan dan nilai-nilai tradisi Melanesia. Salah satu manifesto terpenting adalah bahwa kemerdekaan adalah hak yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat yang masih berada dalam negara-negara penjajah.
Salah satu perjuangan MSG adalah bertujuan untuk kemerdekaan rakyat Kanak di Kaledonia Baru. Saat ini Front Pembebasan Rakyat Kanak(Front de Liberation Nationale Kanake et Socialiste –FLNKS) telah menjadi anggota penuh sedangkan ULMWP dari Papua Barat masih berstatus observer.
Dominasi Australia dan Selandia Baru di South Pasific Comission membuat Perdana Menteri Fiji, Vareqe Josaia Bainimarama membentuk The Pasific Islands Development Forum. Pada Konfrensi Tingkat Tinggi(KTT) ke dua di Suva Fiji, Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono mendapat undangan dan menjadi tamu utama serta menyampaikan pidato dalam pertemuan tersebut.
Meski Papua Barat di MSG masih berstatus observer tetapi terbuka peluang untuk kembali menyambung tali persaudaraan yang terputus di South Pasific Comission (SPC) sejak 1962 sampai 2015. Selama 15 tahun bergabung di SPC dan kini bisakah kembali bergabung di SPC? Tak tahulah tetapi yang jelas pintu selalu terbuka untuk bergabung di Pasifik Selatan.(Dominggus Mampioper)
Demokratiskah pelaksanaan Pepera 1969 ? Ini mungkin pertanyaan klasik tetapi generasi baru Papua harus mengetahui bagaimana reaksi dari Dr Fernando Ortiz Sanz soal pelaksanaan Pepera 1969. Dalam laporannya Ortiz Sanz menyesal karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII(220 tentang hak-hak dan kebebasan orang-orang Papua.
Laporan Ortiz Sanz di dalam Sidang Umum PBB, September 1969 mengatakan, “Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII(22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk.”(Baca Socratez Sofyan Yoman, Pepera 1969 di Papua Tidak Demokratis)
Dr Fernando Ortiz Sanz dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB menyatakan pula kekecewaannya. Karena Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI (16) di West Irian.
Sebelum Papua Barat bergabung dengan Indonesia melalui Pepera 1969, wilayah Nederlands Nieuw Guinea atau Papua Barat sudah menjadi bagian dari South Pacific Commission (SPC). Tepat 6 Februati 1947, wilayah Nederlands Nieuw Guinea sudah menjadi bagian dari SPC di mana dalam Perjanjian Canberra 1947 di mana salah satu tujuan Komisi Pasifik Selatan untuk mengambil kebijakan dan membuat rencana dan mengusulkan pembangunan bidang-bidang ekonomi dan sosial bagi penduduk di Kepulauan Pasifik Selatan.
Menarik dalam perjanjian Canberra 1947 adalah Konfrensi Pasifik Selatan wajib mengikutsertakan tokoh-tokoh intelektual masyarakat penduduk pribumi di kepulauan ini sebagai anggota utuasan, karena pada akhirnya merekalah yang akan dilibatkan dalam pekerjaan Komisi Pasifik Selatan. Selain itu kehadiran mereka sebagai nara sumber dan penasehat. Tak heran saat itu tokoh-tokoh Papua Th Messet, Markus Kaisiepo, Raja Rumbati, FKT Poana, Inuri, Nicolash Youwe selalu ikut dalam pertemuan di Pasifik Selatan.
Wilayah Nederlands Nieuw Guinea (Papua Barat) sejak 1950 pertama kali ikut konfrensi Pasifik Selatan di Suva, ibukota Fiji. Selanjutnya pada 1953 mengikuti konfrensi kedua di Noumea, Kaledonia Baru. Konfrensi pada 1956 di Suva, Fiji dan konfrensi ke empat, 1959 di Rabaul, Papua New Guinea. Terakhir Papua Barat ikut konfrensi di Pago-Pago ibukota Samoa Timur, 1962, mestinya 1965 Konfrensi Komisi Pasifik Selatan di Hollandia (Jayapura sekarang) tetapi wilayah Papua Barat masih menjadi status sengketa antara Indonesia dan Belanda sehingga konfrensi berakhir.
Kehadiran tokoh-tokoh Papua Barat selama Konfrensi Pasifik Selatan, terutama mendiang Markus Kaisiepo dengan lantang memrotes praktek-praktek rasisme terutama di Papua New Guinea dan Fiji. Akibat dari kritikan Kaisiepo saat itu, praktek disikriminasi di sana mulai berubah dan kesempatan diberikan kepada masyarakat pribumi di Pasifik Selatan.
Sedangkan MSG sendiri baru berdiri pada 14 Maret 1988 di mana tiga negara Melanesia masing-masing PNG, Solomon Island dan Vanuatu di Port Villa memprakarsai pembentukan Kelompok Negara Ujung Tombak Melanesia atau Melanesian Spearhead Group(MSG). Manifesto MSG menyepakati bahwa pemerintah ketiga negara bersepakat untuk mengikatkan diri pada prinsip-prinsip saling menghargai dan untuk memajukan kebudayaan dan nilai-nilai tradisi Melanesia. Salah satu manifesto terpenting adalah bahwa kemerdekaan adalah hak yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat yang masih berada dalam negara-negara penjajah.
Salah satu perjuangan MSG adalah bertujuan untuk kemerdekaan rakyat Kanak di Kaledonia Baru. Saat ini Front Pembebasan Rakyat Kanak(Front de Liberation Nationale Kanake et Socialiste –FLNKS) telah menjadi anggota penuh sedangkan ULMWP dari Papua Barat masih berstatus observer.
Dominasi Australia dan Selandia Baru di South Pasific Comission membuat Perdana Menteri Fiji, Vareqe Josaia Bainimarama membentuk The Pasific Islands Development Forum. Pada Konfrensi Tingkat Tinggi(KTT) ke dua di Suva Fiji, Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono mendapat undangan dan menjadi tamu utama serta menyampaikan pidato dalam pertemuan tersebut.
Meski Papua Barat di MSG masih berstatus observer tetapi terbuka peluang untuk kembali menyambung tali persaudaraan yang terputus di South Pasific Comission (SPC) sejak 1962 sampai 2015. Selama 15 tahun bergabung di SPC dan kini bisakah kembali bergabung di SPC? Tak tahulah tetapi yang jelas pintu selalu terbuka untuk bergabung di Pasifik Selatan.(Dominggus Mampioper)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar