Selasa, 14 Juli 2015

Para Pastor Papua Minta Pemerintah Cegah Kekerasan di Tanah Papua


Para pastor yang sedang mengikuti Misa penutupan Temu Imam Diosesan di Gereja Kristus Terang Dunia Waena, Jayapura, Papua, Minggu (5/7) pagi. (Suara Pembaruan/Robert Isodorus)
Jayapura-Para pastor dari lima keuskupan di Papua meminta pemerintah mengatasi dan mencegah terulangnya kekerasan di Tanah Papua pada masa depan dan mengutamakan diaog sebagai sarana terbaik menemukan solusi atas persoalan di Tanah Papua.
Demikian pernyataan sikap para pastor yang disampaikan oleh pastor Neles Tebay kepadaSP di Jayapura, Selasa (14/7).
Ia mengatakan, untuk mendukung hal tersebut, para pastor mendorong Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyampaikan kepada Pemerintah Pusat agar masalah Papua dapat diselesaikan melalui dialog damai, dengan melibatkan semua kelompok pemangku kepentingan.
"Kami percaya bahwa semua persoalan dapat dibahas secara mendalam, secara tenang dan tanpa kekerasan melalui dialog, sehingga solusi-solusi terbaik dapat ditemukan," tandasnya.
Para pastor di Tanah Papua ini juga mengatakan, mereka mendorong Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Tanah Papua untuk mendukung inisiatif rakyat Papua yang berupaya mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai.
Mereka juga mengharapkan pemerintah bisa umenegakkan hukum dan mendorong pemerintah untuk menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang pengendalian mobilisasi penduduk di Provinsi Papua dan Papua Barat.
"Kami berdoa agar Tuhan melindungi dan memberkati Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat agar berkat pelayanannya, rakyat Papua dapat menikmati hidup yang damai sejahtera. Semoga Tuhan memberkati setiap orang yang hidup di atas Tanah Papua," ujarnya.
Sebanyak 75 pastor dari lima keuskupan Tanah Papua yaitu Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Agats, Keuskupan Timika, Keuskupan Manokwari-Sorong, dan Keuskupan Jayapura, telah mengadakan Temu Imam Diosesan di Jayapura, 30 Juni - 5 Juli 2015. Tema dari pertemuan tersebut "Suka Duka Umat Manusia di Tanah Papua adalah Suka Duka Imam Projo". Tema ini dalami melalui retret, seminar, dan mengalami secara langsung kehidupan umat dengan menginap di keluarga-keluarga.
"Kami membuat refleksi pribadi dan saling memperkaya satu sama lain, melalui kehadiran, doa, dan studi bersama. Melalui ceramah, sharing berdua, diskusi kelompok, dan pleno, kami mendalami suka duka umat dan masyarakat di Tanah Papua dalam terang Kitab Suci dan ajaran sosial gereja. Kami melayani umat dan masyarakat yang hidup di pulau-pulau, di pesisir pantai, di dataran rendah, dan di lereng-lereng gunung dalam wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat," ujar Pastor Neles Tebay.
Sementara itu, dalam keterangan tertulisnya yang ditandayangani Unio Keuskupan Agung Merauke Romo Diosisan (RD) Niko Jumari JK, Unio Keuskupan Agats Unio Keuskupan Timika RD. Abraham Nusmese, Unio Keuskupan RD. Dominikus Dulione Hodo, Unio Keuskupan Manokwari-Sorong, Unio Keuskupan Jayapura RD. Izaak Bame dan Unio Keuskupan RD Neles Tebay menyampaikan keprihatinan dengan harapan akan menjadi perhatian bersama oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Pernyataan tersebut yakni : Pertama, Pemerintah berhasil membangun gedung-gedung sekolah, baik untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Umum (SMU), dari kota hingga kampung-kampung terpencil dan terisolir. Sekalipun demikian, kami sungguh merasa prihatin dengan situasi pendidikan di mana pembangunan gedung sekolah kurang diikuti oleh proses belajar-mengajar di ruang kelas. Secara jujur kami mengakui bahwa proses pendidikan dari tingkat SD hingga SMU, terutama yang berada di kampung-kampung yang mayoritas muridnya adalah orang Papua, tidak berjalan lancar. Anak-anak asli Papua sangat kurang mendapatkan pelajaran yang menjadi haknya oleh karena kelalaian dari para guru. Banyak anak asli Papua diluluskan dari ujian SD, sekalipun tidak bisa membaca dan menulis. Kami sedih karena hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Dan kami tidak bisa menerima situasi dan kenyataan ini, karena jelas-jelas merupakan pembiaran, penipuan, pembodohan, dan pembunuhan karakter.
Kedua, Kami menyaksikan pemerintah berhasil mendirikan banyak gedung untuk pelayanan kesehatan di berbagai tempat, termasuk kampung-kampung terisolir. Sekalipun demikian, kami mengamati bahwa kondisi kesehatan yang dialami rakyat Papua amat sangat memprihatinkan. Sambil mengakui adanya banyak masalah di bidang kesehatan, kami sungguh prihatin dengan penyebaran HIV dan AIDS, minuman keras (miras), narkoba, yang tetap dan terus mengancam eksistensi orang asli Papua.
Ketiga, dalam masa Otonomi Khusus ini, dibuat sejumlah pemekaran Kabupaten. Banyak orang menjadi pejabat. Kami secara khusus berbangga terhadap semua pejabat orang asli Papua yang menjadi pimpinan daerah seperti bupati dan gubernur serta pejabat-pejabat di berbagai instansi pemerintahan. Kami menaruh harapan yang lebih kepada mereka agar membuat program yang kena sasaran sesuai keadaan rakyat dan mampu menjadi teladan serta memberikan contoh yang baik kepada para pegawai lainnya.
Keempat, Kami melihat adanya ketidakadilan ekonomi, sosial, budaya, dan politik di Tanah Papua. Kami merasa prihatin dengan berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di Bumi Cenderawasih. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Dan bahwa semua kekerasan ini menghambat pembangunan, mengusik perdamaian, dan melukai hati dan batin banyak orang.
Kelima. Kami menyaksikan bahwa hak-hak dasar masyarakat adat Papua kurang dihargai dan lingkungan hidup yang diciptakan Tuhan dihancurkan demi pembangunan dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA).
Keenam, Kami menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM), seperti yang terjadi di Enarotali , Kabupaten Paniai, tanggal 8 Desember 2014, di mana empat orang tewas tertembak dan 17 orang menderita luka tembak. Martabat kemanusiaan tidak dihargai. Hak-hak kewarganegaraan tidak dihormati, sekalipun dijamin oleh Konstitusi.
Ketujuh, kami menyaksikan bahwa kecurigaan dan ketidakpercayaan mewarnai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan orang Asli Papua, antara aparat keamanan TNI-Polri dan rakyat Papua, antara orang asli Papua dan warga Papua yang berasal dari luar Tanah Papua. Kami mengamati dan merasakan bahwa jumlah penduduk yang masuk ke Tanah Papua semakin hari semakin tinggi. Mereka berasal provinsi dan kelompok etnis yang berbeda dan menetap di semua ibu kota kabupaten di seluruh tanah Papua. Jumlah mereka bertambah secara cepat, maka apabila Pemerintah Daerah tidak melakukan pengendalian kependudukan, maka jumlah warga Papua yang datang dari luar Tanah Papua melampaui jumlah orang asli Papua, seperti yang sudah terjadi di Kota Jayapura, Merauke, Timika, Nabire, Manokwari, dan Sorong. Mobilisasi penduduk yang tak terkendali ini akan mempengaruhi komposisi penduduk Tanah Papua, yang membuat orang asli Papua menjadi minoritas di atas tanah leluhurnya, dan berdampak pada kehidupan politik.
Kedelapan, kami mengamati bahwa hukum tidak ditegakkan secara tegas di Bumi Cenderawasih. Pengalaman memperlihatkan bahwa hukum dalam penerapannya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kami merasa heran karena pegawai yang meninggalkan tempat tugas bertahun-tahun lamanya tidak pernah diberikan sanksi apa pun.
Robert Isidorus/PCN
Suara Pembaruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar