Ilustrasi Buku |
Jayapura
- Sebuah buku berjudul: “Menggugat Freeport” karangan seorang
aktivis vokal Markus Haluk diluncurkan. Peluncuran buku tersebut mendapat
apresiasi dari Akademisi dari Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua,
Marinus Yaung. “Saya pikir perlawanan terhadap ketidakadilan yang ditimbulkan
oleh PT Freeport dalam bentuk tulisan seperti ini adalah sesuatu yang sudah
waktunya muncul, dan seharusnya dilakukan oleh banyak penulis di Papua,” kata
Marinus Yaung, dosen Hubungan Internasional dari Uncen di Kota Jayapura, Papua,
Sabtu malam.
Pernyataan
ini dikemukakan oleh mantan anggota KPU Kota Jayapura itu setelah menghadiri
peluncuran buku ketiga Markus Haluk yang terkenal vokal menyuarakan
ketidakadilan di daerahnya itu.
“Dan hari
ini Markus Haluk meluncurkan sebuah buku dengan judul ‘Menggugat Freeport’
suatu jalan penyelesaian konflik,” katanya. Namun, Yaung menilai buku yang diluncurkan oleh Markus Haluk masih perlu
penambahan isinya.
“Bagi
saya buku ini halamannya masih terlalu tipis. Tapi saya mendorong Markus Haluk
untuk berbuat lebih lagi. Karena namanya PT Freeport sejak 1967, sejak dia
berada di Papua sampai hari ini ada banyak konflik yang sudah ditimbulkan bagi
rakyat Papua,” katanya.
Menurut
dia, Freeport selain mengeruk keuntungan dari hasil bumi rakyat Papua juga
memberikan nilai negatif sehingga kerap kali dikabarkan terjadi konflik sosial.
“Konflik
dari segala bidang kehidupan orang Papua, masalah yang timbul dari PT Freeport
itu sudah terlalu banyak sekali, sehingga gugatan kepada Freeport itu saya
pikir ini sebagai jilid pertama, kedua, ketiga sampai penyelesaian konflik di
seputar pertambangan Freeport ditemukan titik temunya,” katanya.
Konflik
di Freeport, bagi Yaung terjadi bukan karena terjadi begitu saja atau berdiri
sendiri tetapi itu ada jaringan kerjanya. “Itu terdiri dari tiga komponen atau
tiga elemen yang pertama eksekutor, yang kedua konseptor dan yang ketiga
suporting,” katanya.
“Nah, konflik
di seputaran pertambangan Freeport yang perlu digugat adalah para eksekutor,
konseptor dan suporting, nah buku ini, saya lihat sudah menyentuh semua tapi
masih minim sekali karena saya pikir eksekutornya terlalu banyak sekali,
konseptor juga terlalu banyak dimana ada aktor individu, kelompok maupun negara
dalam negeri maupun luar negeri, itu melibatkan para konseptor,” lanjutnya.
Para
suporting juga menurut Yaung, terdiri dari beberapa negara maupun individu yang
ingin membuat daerah di seputaran Freeport terkesan tidak aman dan nyaman.
Markus
Haluk adalah Sekertaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua
Indoenesia (Sekjen AMPTPI). Ia juga sebagai tokoh pemuda Papua yang dikenal
vokal menyuarakan ketidakadilan di daerah asalnya. “Sebelum menulis buku ini,
dilakukan riset sekitar enam tahun dan itu riset umum yang tidak dipublikasikan
selama 10 tahun,” katanya sambil menunjukkan buku dengan tebal 125 halaman itu
ketika ditemui Antara di Jayapura, Sabtu petang.
Peluncuran
buku dilakukan di Aula STT IS Kijne, Distrik Abepura, Kota Jayapura, pada Sabtu
pagi yang dihadiri sejumlah tokoh masyarakat, adat, pemuda, perempuan, dan
wakil pemerintah serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Papua.
“Hasil
riset saya lakukan secara organisasi bersama Hans Magal, Mama Yosepha Alamong,
dan rekan lainnya yang belum pernah kita publikasikan sebelumnya,” kata Haluk
yang juga Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI).
Menurut
dia, pengambilan topik tentang Freeport itu, lebih karena banyak persoalan yang
perlu dikaji dan ditelaah lebih mendalam terhadap perusahaan penghasil emas dan
tembaga terbesar di Tanah Air, selain banyaknya permasalahan lain di tanah
Papua.
“Tapi,
ini kita dahulukan karena situasi pertama itu, secara sewenang-wenang PT
Freeport itu terus memperpanjang kontrak karya (KK) dengan cara-cara licik,
seperti KK 1967-1991. Biasanya sebelum KK berakhir, ada cara licik (konflik)
yang ditempuh, dalam 3-5 tahun terakhir menjelang KK habis massanya,”
katanya.(ant/don/l03)
0 komentar:
Posting Komentar