Bendera Skotlandia, dan West Papua |
Victor F. Yeimo*
KNPB-News, Tanggal 18 September 2014,
referendum bagi Skotlandia akan berlangsung. Rakyat Skotlandia secara damai akan menentukan apakah tetap bergabung dengan
Inggris atau memisahkan diri (merdeka) sebagai sebuah negara. Sejak Indonesia
anekasi West Papua tahun 1962, dan merampas hak penentuan nasib sendiri melalui
Penentuan Pendapat Rakyat (pepera) tahun 1969, bangsa Papua di teritori West
Papua terus menerus menuntut Indonesia agar menyelesaian persoalan West Papua
melalui referendum yang fair, damai dan final.
Mekanisme referendum adalah
satu-satunya cara universal yang diakui dan dipakai dalam praktek penentuan
nasib sendiri bagi suatu wilayah konflik. Pemerintah Indonesia, dan berbagai
kelompok ultra-nasionalis di Indonesia masih beranggapan bahwa tuntutan
referendum adalah separatisme. Mereka menolak referendum sebagai cara damai dan
bermarbat yang harusnya diakui sebagai opsi tengah dari sebuah konflik. Mereka
barangkali lebih menginginkan orang Papua diatas teritori West Papua terus
berdarah atas sebuah tuntutan damai yang ditawarkan.
Referendum di Skotlandia adalah
contoh penyelesaian damai yang disepakati dan diakui oleh Pemerintah dan
Parlemen Skotlandia. Sejak perang dunia II usai, Inggris sebagai negara
kolonial tertua sudah banyak mempraktekkan cara penyelesaian damai di berbagai
wilayah jajahannya. Indonesia sebagai negara kolonial bagi West Papua, sudah
semestinya menanggapi tuntutan referendum yang ditawarkan oleh rakyat Papua
dengan cara-cara yang damai pula. Tidak seperti pelaksanaan referendum yang
berdarah di Timor Timor (Timor Leste), tidak seperti pelaksanaan Pepera 1969 di
Papua yang penuh dengan pemaksaan dan rekayasa di bawah todongan senjara
militer Indonesia.
Lord Avebury, anggota Parlemen
Tinggi Inggris dalam debat di Parlemen Tinggi Inggris pada tanggal 24 Juli 2014
lalu telah mengajak Indonesia untuk belajar bagaimana Inggris mengadakan
referendum di Skotlandia, “Saya berharap Perdana Menteri mengundang Presiden
SBY untuk mengunjungi Inggris pada bulan September tahun depan sehingga ia
dapat melihat bagaimana kita berurusan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri
di negeri ini.” kata Lord Avebury.
Hak penentuan nasib sendiri (the
right of self-determination) diakui PBB dan anggota PBB, termasuk Indonesia
harus tunduk dan menghargainya sebagai kewajiban hukum dalam menanggapi
tuntutan referendum di West Papua. Indonesia tidak harus menggunakan alasan
integritas teritorial dalam menolak referendum di Crimea-Ukraina, Kosovo, dan
kini Skotlandia sebagai alasan untuk menutupi tuntutan referendum di West
Papua. Sebab, referendum sudah menjadi kebiasaan yang relevan bagi penyelesaian
konflik-konflik di dunia.
Bila 5,3 juta jiwa penduduk
Skotlandia akan memilih secara terbuka dengan mekanisme one man one vote,
Indonesia seharusnya malu karena pada Pepera tahun 1969, dari 800.000 jumlah
penduduk Papua saat itu, hanya 1.025 orang saja yang dipaksa oleh militer
Indonesia untuk memilih bergabung dengan Indonesia. Sangat salah bila
Pemerintah Indonesia masih menolak referendum West Papua dengan alasan
integritas teritori Indonesia. Teritori yang mana, dan integritas yang mana?
Sebab, Orang Papua, sebelum Indonesia datang menjajahnya, sudah hidup diatas
integritas teritorinya sendiri tanpa Indonesia. Orang Papua menuntut Indonesia
kembalikan integritasnya sebagai bangsa Papua, di teritori West Papua yang
berhak menentukan nasibnya sendiri.
Perjuangan bangsa Papua untuk
merdeka sendiri sudah ada sebelum Indonesia menginjakkan kakinya diatas tanah
Papua. Itu adalah tindakan aneksasi (pencurian) hak milik teritori bangsa lain,
yaitu bangsa Papua. Tetapi, sekali lagi, karena Indonesia sudah rekayasa hak penentuan
nasib sendiri melalui Pepera 1969, maka bangsa Papua menuntut segera melakukan
referendum bagi bangsa Papua yang damai, fair dan final, sama seperti
referendum di Skotlandia. Itulah solusi tengah untuk menghindari korban
berdarah yang terus menerus terjadi diatas tanah Papua.
Referendum di Skotlandia menjadi
pelajaran bagi West Papua, terutama Pemerintah Indonesia untuk segera mengambil
praktek penentuan nasib sendiri melalui jalur referendum. Indonesia dan
aparatur negaranya di Papua segera berhenti dalam sandiwara Otsus Plus,
Pemekaran, dan sebagainya, karena praksis tidak menyelesaikan persoalan dasar
bangsa Papua, yakni hak penentuan nasib sendiri yang belum final.
Indonesia dan West Papua harus
mengambil langkah penyelesaian melalui proses hukum dan politik. Proses hukum
yakni menyelesaian hukum tentang aneksasi hingga Pepera 1969 yang jelas-jelas
melanggar hukum dan prinsip-prinsip Internasional. Cara-cara politik dalam
penyelesaian West Papua harus mengikuti proses Skotlandia, dimana adanya kemauan
politik antara Parlemen Skotlandia dan Pemerintah Inggris. Di West Papua, orang
Papua telah memiliki Parlemen Rakyat sendiri, yakni Parlemen Nasional West
Papua (PNWP) sebagai badan Politik perjuangan bangsa Papua. PNWP terdiri dari
Parlemen-Parlemen Rakyat Daerah (PRD) di seluruh Wilayah West Papua. PNWP harus
melakuan komunikasi politik dengan Pemerintah Indonesia dalam membicarakan tata
cara penyelenggaraan hak penentuan nasib sendiri melalui referendum.
*Victor F. Yeimo. Ketua Umum Komite
Nasional Papua Barat [KNPB]
Sumber: http://knpbnews.com
0 komentar:
Posting Komentar