Bazoka L Jubir dan Agus K Ketua I KNPB (Jubi/Mecky) |
Jayapura, 14/7 (Jubi) – Dalam pers
reales Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang diterima
tabloidjubi.com, Senin (14/7), dikatakan, rakyat bangsa Papua menolak dan
menyangkal keberadaan Indonesia di wilayah Papua Barat secara damai, bermartabat
dan demokratis. Sebab terbukti pemahaman praktek demokrasi orang asli Papua
(OAP) jauh lebih baik dibanding pemerintah Indonesia yang selalu menyuarakan
demokrasi, tapi kenyataannya tak dapat melakukan praktek demokrasi sesungguhnya
kepada rakyat Indonesia.
Dalam pers realese itu dijelaskan, kenapa OAP
melakukan boikot secara damai, bermartabat dan demokratis karena pada Pilpres 9
Juli 2014 lalu sesuai laporan Pengurus KNPB Wilayah Tanah Papua, rakyat sipil
bangsa Papua Barat tidak memberikan hak politik, tidak melakukan tindakan
anarkis dan kriminal tetapi lebih memilih tinggal di rumah.
Dalam kesempatan itu, Agus Kosay, Ketua I KNPB
mengkritisi beberapa media cetak dan online yang terkesan tak profesional dalam
menerbitkan isu keterlibatan OAP dalam Pilpres 2014 ini. Menurutnya, sesuai
informasi yang mereka miliki, sebagian masyarakat pegunungan Papua di Jayapura
yang mencoblos mengenakan pakaian adat (Koteka dan Sali) diduga dibayar untuk
kepentingan sosialisasi dan lobi pemerintah kepada publik.
Selain itu, Agus juga merasa heran terkait
tanggapan Komnas HAM di berbagai media di Papua yang berencana akan melakukan
penyelidikan terkait boikot Pilpres di Kabupaten Yahukimo. “Komnas HAM
semestinya mengurus kasus pelanggaran HAM Papua yang masih tumpuk di meja Komnas
HAM, bukannya mengurus boikot Pilpres karena itu urusannya KPU dan Bawaslu,”
ujarnya heran.
Juru Bicara Nasional KNPB, Bazoka Logo
mengatakan, seruan boikot Pilpres ini bukan hanya pada Pilpres 2014 tetapi
sudah dilakukan sejak Pilpres 2009. “Kami akan bekerja dengan isu boikot
untuk berbagai isu bukan hanya Pilpres, Pileg atau pemilihan lainnya, misalnya
boikot menggunakan bahasa Indonesia tetapi menggunakan bahasa daerah
masing-masing suku adat,” imbuhnya dengan penuh yakin dan antusias.
Berikut tujuh poin rekomendasi KNPB, yakni
pertama, pemerintah daerah tidak boleh lagi melakukan pembohongan kepada
pemerintah pusat, sebab kenyataan dalam Pilpres Indonesia, sikap dari rakyat
sipil bangsa Papua Barat sangat jelas.
Kedua, pemerintah, TNI/POLRI dan KPU tak boleh
melakukan pembohongan publik bahwa menjelaskan tentang perolehan suara antara
Capres nomor urut 1 dan Capres nomor urut 2, sebab kenyataan tidak seperti itu
namun rakyat Papua tidak memilih, jadi jika ada tertera di suatu tempat
melakukan pencoblosan itu berarti benar-benar tipu.
Ketiga, pemerintah tak bisa memakai suatu
alasan bahwa suatu daerah tidak melakukan pencoblosan dengan alasan logistik
belum sampai, sebab kenyataan yang tak melakukan pencoblosan bukan hanya di
pedalaman saja, namun di kota-kota rakyat pun tak simpatik terhadap Pilpres dan
dengan sadar mereka tidak melakukan pencoblosan.
Keempat, pemerintah pusat, daerah, TNI, POLRI
dan KPU bahwa rakyat Papua Barat tak mencoblos bukan karena kekurangan
logistik, kurang sosialisasi, tidak menerima undangan memilih dan atau OAP
tidak tahu tetapi sesungguhnya rakyat sipil bangsa Papua Barat tidak ingin
terlibat dalam Pilpres dan mereka membutuhkan kemerdekaan di atas tanahnya
sendiri.
Kelima, Indonesia perlu belajar proses
demokrasi dari orang Papua, orang Papua memahami demokrasi dan melakukan hak
demokrasinya dengan damai, bermartabat, dan demokratis dan tidak anarkis tetapi
diam-diam sikap yang ditunjukkan sangat jelas.
Keenam, pada Senin Juli 2014 ini sama pada
tahun 1969 yang merupakan awal Indonesia melanggar hak politik dan hak
demokrasi di Papua melalui pelaksanaan PEPERA 1969 pertama kali di Merauke yang
hasilnya cacat hukum dan moral.
Ketujuh,
Indonesia sebagai negara anggota PBB harus menghargai hak penentuan nasib
sendiri(self
determination) melalui
referendum sebagai solusi. (Jubi/Mecky)
Sumber: http://tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar