Ringkasan
Pada akhir Juni 2014, terdapat setidaknya 76 tahanan politik di lembaga-lembaga permasyarakatan Papua.
Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah kelompok aktivis Papua yang pro-merdeka, menjadi target penangkapan oleh pihak aparat keamanan Indonesia selama bulan ini. Setidaknya 24 anggota KNPB ditangkap dari beberapa daerah di Papua, seperti Boven Digoel, Timika dan Merauke. Di Boven Digoel, polisi melakukan penangkapan massal anggota KNPB sebanyak 20 orang, dengan alasan RUU Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas). Menurut polisi, tidak sahnya KNPB karena organisasi tersebut belum terdaftar di Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Berdasarkan itu, polisi mengatakan semua atribut KNPB seperti bendera dan lambing organisasi juga tidak sah.
Pemakaian RUU Ormas memberi kesan untuk medelegitimasi dan mengendalikan kelompok masyarakat sipil pribumi di Papua. Khususnya, sebelum demonstrasi atau acara peringatan terus menempatkan keterbatasan yang tidak dapat diterima terhadap kebebasan berkumpul dan berekspresi di Papua.
Awal bulan ini ada indikasi dimana pihak otoritas Indonesia berupaya menumpas anggota KNPB melalui penangkapan dan penggerebekan untuk menghalangi pelaksanaan peringatan 1 Juli, yaitu tanggal yang dianggap sebagai hari nasional bagi orang Papua. Selain itu, ada juga penangkapan benuansa politik yang terkait dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) RI di Merauke. Polisi menangkap satu orang dan mengepung Sekretariat KNPB. Penangkapan dilakukan dengan tuduhan para aktifis sedang merencanakan kegiatan sosialisasi untuk memboikot PilPres pada 9 Juli 2014. Orang Papua di Balik Jeruji sudah mendokumentasikan penangkapan serupa di Bokondini pada tahun 2004 dan di Nabire pada tahun 2009. Ini sudah menjadi pola biasa pada masa pemilu di Papua, di mana aktifis pro-merdeka menuntut boikot, lalu ditangkap.
Sementara itu, Iskandar Bwefar, seorang orang Papua berkewargaraan Belanda, ditangkap di Den Haag, karena mengibarkan bendera Bintang Kejora secara damai dalam pawai perayaan Hari Veteran Belanda. LSM Belanda melaporkan bahwa bendera Bintang Kejora dilarang dibawa dalam pawai oleh pihak otoritas Belanda, sesudah tekanan dari Kedutaan Besar Indonesia di Belanda. Penangkapan ini mirip dengan penangkapan tiga warga PNG pada bulan Desember 2013 ketika bendera Bintang Kejora dikibarkan dalam sebuah kegiatan di Port Moresby. Kesediaan pemerintah asing untuk melegitimasi kriminalisasi lambang Bintang Kejora, sangat menghawatirkan. Ini merupakan pelanggaran hukum internasional, berdasarkan laporan dan opini dari UN Working Group on Arbitrary Detention (Kelompok Kerja PBB tentang penahanan sewenang-wenang). Pada tingkat luas, perkembangan ini mengindikasikan bahwa Indonesia semakin proaktif dalam upaya membatalkan dukungan untuk kemerdekaan Papua di luar negeri.
Penangkapan
DUAPULUH ANGGOTA KNPB DITANGKAP DALAM SERANGAN POLISI BOVEN DIGOEL\
Menurut aktivis setempat, pada 28 Juni 2014, sebanyak 20 aktifis dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ditangkap di Sekretariat mereka di Boven Digoel. Sekitar 50 polisi daerah Boven Digoel melakukan pencarian di Sekretariat KNPB dan menghancurkan barang-barang seperti poster pro-merdeka dan bendera KNPB. Polisi juga menyita beberapa barang milik anggota KNPB serta lima telepon genggam, kamera digital, bendera-bendera KNPB, spanduk dan uang. Belakangan, ke-20 tahanan itu dibebaskan namun, semua item yang disita, tidak dikembalikan.
Pada 30 Juni, Natalis Guyop, Kepala KNPB Boven Digoel, bersama beberapa anggota KNPB mengunjungi Polres Boven Digoel untuk menuntut penjelasan penggerebekan dan penahanan. Kepala Polres Boven Digoel, Iswan Tato, menyampaikan kepada para aktifis bahwa polisi menyerang Sekretariat KNPB Boven Digoel karena bendera KNPB berkibar di depan Sekretariat. Menurutnya tindakan polisi ini sesuai dengan aturan nasional di mana setiap lembaga kemasyarakatan yang belum didaftarkan di Kesbangpol adalah berstatus tidak sah. Maka, atribut-atribut mereka seperti bendera juga dilarang. Aturan ini disahkan dalam RUU organisasi Kemasyarakatan. Kata para aktifis, Tato mengancam mereka bahwa polisi akan membubarkan kegiatan KNPB dengan paksa dan menangkap atau menembak mati aktifis KNPB. Menurut aktifis KNPB di Boven Digoel, mereka terus dipantau.
DUA ORANG DITAHAN DI YAHUKIMO KARENA KEPERCAYAAN POLITIK
Penyidik HAM setempat melaporkan, telah terjadi penangkapan sewenang-wenang terhadap tiga laki-laki di Yahukimo. Dua diantaranya masih di balik jeruji. Pada 21 Mei 2014, sebanyak 30 anggota polisi Yahukimo menghentikan dan menginterogasi aktifis HAM Lendeng Omu tentang afiliasi dia dengan KNPB. Lendeng Omu dipukul berat, ditendang dan dipukul dengan popor senjata sebelum ditangkap dan ditahan di Polres Yahukimo. Setelah mendengar tentang kejadian ini, masyarakat kampung setempat bereaksi dengan membakar pos polisi di Jalan Halabok, Yahukimo.
Menurut laporan, pada 4 Juni kepala suku Yali di Yahukimo, Alapia Yalak, ditangkap atas tuduhan pembakaran pos polisi, namun tanpa bukti jelas. Menurut saksi mata yang hadir pada saat penangkapan, Yalak dan seorang laki-laki yang tidak dikenal, ditangkap di rumah Yalak di Yahukimo sekitar jam 22:30 waktu Papua. Yalak bersama beberapa teman sedang bermain kartu ketika 20 anggota gabungan aparat polisi dan militer memasuki rumahnya dengan paksa. Sementara itu, sekitar 30 aparat keamanan mengepung rumah Yalak. Aparat keamanan dilaporkan tiba menggunakan 16 mobil dan mengeluarkan tembakan peringatan. Yalak diseret keluar rumah sementara teman-temannya diancam dengan senjata dan terpaksa menaikkan tangan tanda menyerah. Salah satu teman Yalak, pemuda yang sedang tidur di dapur, berusaha melarikan diri namun ditangkap oleh polisi di belakang rumah. Namun, beberapa jam kemudian, dia dilepaskan.
Menurut saksi mata ini, dirinya bersama Yalak menerima perlakuan yang kejam dari aparat keamanan selama perjalanan menuju Polres Yahukimo. Keduanya dianiaya dan diintimidasi. Setelah tiba di Polres, kata korban, polisi memaksa mereka untuk membuka semua baju dan dipukuli oleh 30 polisi secara bergantian. Kemudian, mereka dipaksa merangkak ke dalam sel rutan.
Sehari kemudian, sekelompok warga setempat berdemonstrasi di depan kantor Polres Yahukimo. Mereka menuntut pembebasan Yalak dan Omu. Namun, Yalak dipindahkan ke tahanan Polda Papua di Jayapura untuk penyelidikan lebih lanjut.
Informasi yang disampaikan dalam laporan menunjukkan bahwa Yalak ditangkap karena pilihan politik dan dukungannya bagi kemerdekaan Papua. Pada tahun 2009, sebagai kepala suku Yali di Yahukimo, Yalak diundang mengikuti rapat yang diadakan oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Dalam rapat itu, banyak kepala suku dari beberapa wilayah di Papua, berkumpul untuk membahas Otomonoi Khusus bersama otoritas pemerintah. Dalam rapat tersebut, menurut Yalak, petugas pemerintah menawarkan suap kepada para kepala suku agar mengajak anggota suku mereka untuk mendukung Otomoni Khusus. Kata Yalak, dia ditawarkan suap IDR 50,000,000 (USD 4,200) oleh Bupati Yahukimo, Ones Pahabol. Pahabol sudah dituduh korupsi, baru-baru ini pada tahun 2013, Pahabol dituduh menggelapkan sebagian dana pendidikan yang dianggarkan untuk mahasiswa. Para kepala suku ditegaskan, “Kalau kamu bilang kamu mau merdeka, kamu tidak dapat uang. Kalau kamu mendukung Otsus, kamu dapat.” Atas tawaran itu, Yalak mengatakan “Kamu sudah cukup tipu orang tau kami di era 60an. Sekarang kamu tidak boleh tipu kami…Bapak-bapak kasih saya uang tapi masyarakat disana mereka mau merdeka.”
Hingga saat ini, dakwaan yang dijatuhkan bagi Yalak dan Omu belum jelas. Mereka juga belum mendapatkan pengacara hukum.
TIGA AKTIFIS KNPB TIMIKA DITAHAN SATU MALAM
Menurut sumber HAM setempat, tiga aktifis KNPB ditangkap pada 30 Juni 2014 di Timika. Mereka adalah Elon Airabun, Leo Wusei dan Joni Korwa. Mereka ditangkap saat melakukan jaga malam di Sekretariat KNPB Timika. Para aktifis melaporkan bahwa tidak ada alasan untuk penangkapan ini, walaupun mereka menduga kuat bahwa tujuan paling mungkin adalah untuk mencegah kegiatan peringatan 1 Juli. Yaitu, tanggal yang dianggap sebagai hari nasional oleh orang Papua. Ketiganya telah dibebaskan tanpa dakwaan sehari sesudah kejadian.
AKTIFIS KNPB MERAUKE DITAHAN, SEKRETARIAT DIKELILINGI
Aktifis setempat melaporkan bahwa pada 18 Juni 2014, anggota polisi dan Brimob mengelilingi Sekretariat KNPB di Merauke dan menginterogasi anggota KNPB. Aktivis yang mencoba masuk ke secretariat tersebut, dihalangi oleh aparat. Simon Apay, seorang aktivis KNPB Merauke ditangkap dan diinterogasi selama setengah jam di Polres Merauke. Apay sudah dibebaskan. Menurut sumber setempat, Kepala Intelegen Polres Merauke menyatakan bahwa polisi mengelilingi Sekretariat karena mereka menerima informasi tentang kegiatan sosialisasi boikot Pilpres 2014 yang diorganisir oleh KNPB dan Parlemen Rakyat Daerah (PRD). Aktivis setempat menyangkal merencanakan acara semacam itu.
Bulan lalu dua aktivis KNPB, Ferdinandus Blagaize dan Selestinus Blagaize,ditangkap karena memiliki dokumen terkait referendum dan buku-buku tentang sejarah Papua. Dokumen dan buku-buku tersebut dimaksudkan untuk acara sosialisasi di kampung Okaba. Hingga saat ini, keduanya masih ditahan di Polsek Okaba dan belum diketahui dakwaan yang dilimpahkan atas mereka.
Pembebasan
FERDINAND PAKAGE DIBEBASKAN
Informasi diterima dari sumber HAM setempat melaporkan bahwa Ferdinand Pakage telah dibebaskan pada tanggal 16 Juni dari LP Abepura. Awalnya, Pakage ditangkap pada 16 Maret 2006 dengan tuduhan terlibatan dalam demonstrasi anti-Freeport yang menyebabkan bentrokan dengan polisi dan mengakibatkan kematian satu anggota polisi. Total 23 orang didakwa berkaitan dengan insiden ini. Pakage dan Luis Gede menerima dakwaan yang paling berat. Dalam penahanannya, Pakage disiksa dan dipaksa mengaku, bahwa dirinya terlibat dalam kejadian itu, kendati dia merasa tidak terlibat dan tidak ikut dalam kelompok demonstran saat itu. Pakage dihukum 15 tahun penjara setelah menjalankan persidangan yang tidak adil. Para terdakwa yang menolak tuduhan, diancam dan dipukul oleh anggota Brimob. Pemukulan berat yang dilakukan petugas LP Abepura pada tahun 2008, menyebabkan mata kanan Pakage menjadi buta. Pakage terus menderita kesakitan dan sakit kepala. Upaya beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal untuk mendapatkan akses perawatan medis bagi Pakage, tak kunjung berhasil hingga dia dibebaskan.
AUGUST KRAAR DIBEBASKAN
Menurut informasi dari seorang penyelidik HAM setempat, pada 21 Juni 2014, August Kraar dibebaskan dari LP Abepura. Dia ditangkap bersama Dominikus Surabut, Forkorus Yaboisembut, Edison Waromi dan Gat Wenda saat Konggress Rakyat Papua Ketiga pada 19 Oktober 2011. Selpius Bobii, Ketua Kongress itu, kemudian menyerahkan diri kepada polisi. Kraar didakwa dibawah Pasal 106 dan 110 untuk permufakatan jahat untuk melakukan makar dan Pasal 160 untuk penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap pihak berwenang. Kongress tersebut dihadiri oleh sekitar 4.000 orang Papua dalam acara damai dimana bendera Bintang Kejora dikibarkan. Ia dikelilingi oleh 2.200 anggota TNI dan Brimob, yang berjalan kaki dan serta yang menggunakan tangki. Lima tahanan tersisa diharapkan akan dibebaskan pada Juli.
SAMUEL WOMSIWOR DIBEBASKAN
Pengacara HAM telah melaporkan pembebasan Samuel Womsiwor tiga minggu selepas penahannya pada 15 Mei 2014. Pembebasannya dijamin oleh pihak Universitas Cenderawasih (UNCEN), yang juga mendorong penangkapan Womsiwor, mulanya. Womsiwor adalah satu dari kolektif mahasiswa kritis yang menjadi target penangkapan dan intimidasi dalam beberapa bulan terakhir ini.
Pengadilan bernuansa politik dan pandangan sekilas tentang kasus-kasus
PENDEMO MAHASISWA DIHUKUM ENAM BULAN PENJARA
Pada tanggal 11 Juni 2014, Kristianus Delgion Madai dihukum enam bulan penjara oleh Pengadilan Distrik Jayapura dibawah UU Darurat 12/1951 karena dilaporkan menyeludupkan delapan peluru kaliber 8.4mm dari Jakarta ke Nabire. Sebelumnya, pengacara HAM telah menyuarakan keprihatinan mereka atas penahannya. Mereka menyatakan bahwa Madai dijadikan target penangkapan pihak keamanan karena dia aktif dalam demonstrasi mahasiswa di Jakarta berkaitan dengan isu Papua. Dia diharapakan akan dibebaskan pada akhirnya bulan Juli atau awal bulan Agustus.
DEBER ENUMBY MASIH TIDAK DIBERIKAN PENDAMPINGAN HUKUM
Sumber HAM setempat melaporkan bahwa Deber Enumby, yang ditangkap di kampung Kurilik di Puncak Jaya pada 4 Januari 2014 dan sekarang ditahan di Polda Papua, masih tanpa pendampingan hukum. Dia dituduh sebagai anggota TPN-OPM dan ditangkap atas tuduhan mencuri delapan pucuk senjata api dari pos polisi Kurilik. Dia didakwa dengan UU 12/1951. Kemungkinan besar Enumby akan dijatuhi hukuman mati, menurut kepolisian Papua.
PERSIDANGAN UNTUK 11 ORANG DITAHAN DALAM PENANGKAPAN 26 NOVEMBER DITUNDA
Informasi dari pengacara HAM yang mendampingi 11 orang ditangkap pada 26 November 2013, melaporkan bahwa persidangan mereka penuh dengan penundaan. Mereka didakwa dengan tuduhan melakukan kekerasan dan pengrusakan terhadap barang dan orang dibawah Pasal 170 KUHP. Mereka dituduh terlibat dalam demonstrasi yang mengakibatkan bentrokan dengan aparat keamanan. Padahal, mereka menyatakan bahwa mereka tidak terlibat langsung dengan demonstrasi itu. Sudah hampir dua bulan tidak ada acara persidangan. Batas hukum penahanan mereka akan berakhir pada tanggal 30 Juli 2014.
Kasus-kasus yang menjadi perhatian
PRIA PAPUA BELANDA DITANGKAP KARENA MEMBAWA BENDERA BINTANG KEJORA DI BELANDA
Pada 28 Juni, Iskandar Bwefar, seorang Papua berkewargaraan Belanda,ditangkap di Den Haag, karena melambaikan bendera Bintang Kejora pada sebuah parade memperingati Hari Veteran Belanda. Menurut wawancara dengan Bwefar di situs web Belanda Omroep West, dia didorong ke lantai oleh lima anggota polisi beberapa saat selepas melambaikan bendera Bintang Kejora saat Bwefar sementara menonton parade tersebut. Saat dia mencoba memprotes, seorang anggota polisi menyumbat mulutnya dengan bendera itu. Bwefar ditahan untuk beberapa jam sebelum dibebaskan. Bwefar didakwa karena menerobos ketertiban umum dan didenda €100.
Beberapa hari sebelum Hari Veteran Belanda, Rumah Perwakilan Belanda setuju bahwa bendera Bintang Kejora tidak akan dibawa dalam prosesi tetapi bisa dibawa di luar prosesi dan di Malieveld, padang di mana prosesi itu diadakan. Sebuah LSM Belanda melaporkan bahwa ada indikasi kuat tentang larangan itu akibat tekanan dari pihak Indonesia. Penangkapan serupa juga terjadi pada tanggal 1 Desember 2013, di mana tiga warga Papua Nugini ditangkap di Port Morseby karena keterliatan mereka dalam acara pengibaran bendera Bintang Kejora. Gubernur Powes Parkop memberitahu koran Guardian Australi bahwa tiga orang itu ditargetkan “karena tekanan yang tidak semestinya dari pemerintah Indonesia.”
Berita
KEBURUKAN KEBEBASAN BERKESPRESI DI PAPUA DISOROT DI DEWAN HAM PBB
Franciscans International, Koalisi Internasional untuk Papua (International Coalition for Papua, ICP), TAPOL,Pusat Sumber Hukum Asia (Asian Legal Resource Centre, ALRC), Pondasi Pro Papua, Vivat International dan West Papua Netzwerk menyoroti keburukannya kebebasan berkespresi di Papua semasa sesi ke-26 Dewan HAM PBB di Genewa. Pada tanggal 11 Juni 2014, koalisi menyampaikan pernyataan kusan di Dialog Interaktif dengan Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berkespresi dan Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berkumpul dan Pergaulan, mengungkapkan data yang menunjuk bahwa penangkapan bernuansa politik telah dua kali lipat dan laporan kasus penyiksaan dan penganiayaan telah empat kali lipat dalam tahun 2013 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 12 Juni, sebuah side event diadakan mendiskusi kebebesan berekspresi di Papua. Pihak panelis berbicara tentang kebebesan media, penyiksaan, tahanan politik dan tidakadanya akses bebas ke Papua.
CATATAN TENTANG PENCOPOTAN TIGA TAHANAN DARI DAFTAR TAHANAN POLITIK
Di update kami yang sebelumnya, kami mengeluarkan tiga tahanan – Yahya Bonay, Astro Kaaba dan Hans Arrongear – dari daftar tahanan politik. Lebih dari satu tahun Orang Papua di balik Jeruji tidak bisa dapat informasi tentang tiga orang ini dan kemungkinan mereka sudah dibebaskan. Meskipun, kami akan terus melaporkan tentang kasus mereka jika kami mendapat informasi baru.
Tahanan politik Papua bulan Juni 2014
Sumber: http://www.papuansbehindbars.org
0 komentar:
Posting Komentar