Dr. George Junus Aditjondro |
Oleh: Dr. George Junus
Aditjondro
Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari
gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM
(Organisasi Papua Merdeka).
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu
ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon
751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu
"proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota
Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak
untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke
penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di
kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36;
Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).
Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang
berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara
pembacaan "proklamasi OPM" serta "pengibaran bendera OPM"
yang kesekian kali.
Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa
serupa sebelumnya.
Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua
Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang
dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi,
Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny.
Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah
"Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun
para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya
negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah
pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol
gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS,
sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas.
DENGAN segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak
sejarah mana yang paling penting untuk disorot? secara kronologis, ada lima
tonggak sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.
26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan
berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir
ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh
pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah
berumur 75 tahun.
Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua
bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry
dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK,
atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara
adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan
kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di
Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah
pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis
di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini
adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal
tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).
1 Juli 1971
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah
Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando
almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris,
Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas)
Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya,
"Mavik".
Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata,
tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas
bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang
memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari
suku Biak.
Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang
pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya
Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik
di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).
Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih,
Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara
Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata
buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti
latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya
dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran
hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969,
mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura
sendiri.
Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan
kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas
dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut
dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat
Brigadir Jenderal:(3)
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami
memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada
hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi
bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi
maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan
merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem
didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?),
Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway
sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi
sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.
Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang
dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi
New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di
"Markas Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah
negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang
pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani
apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya
menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua
Niugini) sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik
Indonesia".
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan
petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan
"proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang
sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14
Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam
penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta.
Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di
antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri
Jayapura.
Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis
delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika saya
bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan salah seorang
pencetus "proklamasi Sorong-Samarai", yang telah selesai menjalankan
masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan
transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang gerakan
yang pernah dilakukannya (atau yang pernah dituduhkan kepadanya?).
26 April 1984
Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan
"sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di
Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara
waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal
itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap,
ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang
menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua
Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah
mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945,
menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih,
Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia
turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi
di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969.
Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh
PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang
terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian
berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas
kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik
Indonesia.
Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.
Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.
Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan
mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian
lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan
inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai
suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).
Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi
nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan
sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak
untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978,
menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas
senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para "cikal-bakal" Mambesak
yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih
berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983).
Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang
kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya
kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi
-- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis
terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra
yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu
siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu
rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di
Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang
sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok.
Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan
kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari
kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan
penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia
juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman
alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok
Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia,
bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus
kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua.
Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat
keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan
sesuatu yang "subversif" atau bersifat "makar", ia tak
dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di
kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para
gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.
Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun
1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha
membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus
dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for
all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan
"OPM kota" itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi
penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang
memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di
hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen
Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet
Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.
Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold
ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan
sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen
maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi
politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri.
Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan
oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera
mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di
Jakarta.
Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di
Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan
diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke
tahanan Polda.
Seorang teman Arnold yang juga anggota inti
Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya.
Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini,
menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka
akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura,
pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan
diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk
isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di
dalam kandungannya.
Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian --
Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang
mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke
Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat
keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).
Di tengah-tengah gejolak politik beginilah,
"tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda
guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan.
Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan
meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984
(Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).
Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah
sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe
Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah
meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu
Paskah, 22 April 1984.
Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi
tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke
sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda,
Corry Ap.
Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol
nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba
mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri
Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian
Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor
modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik
Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).
Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai
pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap
bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?)
menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak
kebangkitan kebudayaan Irian.
Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan
anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini,
kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur
Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami,
Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan
setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik
diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat)
sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di
negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam.
14 Desember 1988
Seperti yang telah disinggung di depan,
"proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di
stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran
bendera OPM sebelumnya.Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah
berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.
Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.
Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.
Konon menurut ceritera, bendera "Papua
Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di
Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda
yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di
Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru
ketiga warna bendera Belanda.
Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul
"Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara
OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta
seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu
kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan
"wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya
juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh
Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.
Begitulah lima tonggak sejarah dalam evolusi
nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.
Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua
yang sudah tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan
dari generasi ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan
tingkat pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah
nasionalisme Papua ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus
bertahan melalui proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat
bukti-bukti historis yang ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana
sebaiknya jawaban orang-orang Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus
selalu lewat peluru, ataukah lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution
by ballot ? Selain itu, apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi
Belanda, dengan hanya membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para
pejuang kemerdekaan Hindia Belanda yang dianggap "berbahaya" dibuang
ke Irian, sementara sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga
dianggap semakin berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari
tujuh ke 20 tahun, dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah
betul, bijaksana, dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian?
SUMBER: musafirkebebasan.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar