Laporan ASNLF dari Sidang ke-52 Komite PBB Di Jenewa, Swiss
Jenewa - Ketua Presidium ASNLF Ariffadhillah, hadir dalam
pembukaan sidang ke-52 Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya atau CESCR (Committee on Economic, Social dan Cultural
Rights), Senin (28/4), di Palais Wilson, kantor Komisi Tinggi PBB HAM atau
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR),
Jenewa, Swiss.
Pada kesempatan itu, kehadiran Ariffadhillah dipercayai sebagai
wakil resmi dari Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) yang berbicara
atas nama tiga organisasi perjuangan kemerdekaan, Acheh-Sumatra National
Liberation Front (Aceh), Republik Maluku Selatan (Maluku) dan Pemerintah
Nasional Republik Papua Barat (Papua).
Sidang ke-52 tersebut berlangsung mulai 28 April sampai 23 Mei 2014,
dimana komite ini khusus akan mengevaluasi Indonesia dan beberapa negara lain
terkait perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di negaranya
masing-masing.
Di depan Komite yang terdiri dari 18 perwakilan negara, diketuai
oleh Mr. Kedzia dari Polandia, Ariffadhillah menyampaikan pengaduan terkait
hal-hal ketimpangan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang dialami oleh bangsa
Aceh, Maluku dan Papua. Selaku wakil UNPO, ketua Presidium ASNLF yang bermukim
di Jerman ini menggambarkan betapa terdiskriminasikannya bangsa Aceh, Maluku
dan Papua, yang disertai paparan bukti dengan fakta konkrit.
Sebagai salah satu contoh, presentase rumah tangga dengan akses
air bersih adalah sekitar 26% di Papua dan 28% di Aceh. Fakta ini
membuktikan sangat kecil perbandingannya dengan kisaran rata-rata di Indonesia
pada tingkat 43%.
Contoh lain, pembukaan lahan secara besar-besaran (2,5 Juta
hektar) di wilayah Papua, adalah suatu eksploitasi dengan pola diskriminasi
struktural terhadap rakyat Papua dalam penempatan tenaga kerja dan hanya akan
merugikan bangsa Papua.
Eksploitasi terhadap tanah masyarakat adat juga telah
mengakibatkan perambahan hutan dan kerusakan lingkungan yang sangat serius,
yang pada giliran nya juga berdampak pada kekurangan sumber air bersih,
kelangkaan sumber makanan dan pencemaran lingkungan.
Sesuai dengan laporan UNICEF tahun 2012, akibat dari perambahan
hutan, telah mengakibatkan kekurangan makanan, selanjutnya berpengaruh pada
tingkat kematian anak yang sangat tinggi. Sebagai contoh, di Maluku Selatan
tercatat tingkat kematian bayi sekitar 60 dari 1000 kelahiran. Angka ini
sangatlah tinggi dibandingkan tingkat kematian bayi rata-rata di Indonesia
sekitar 34 dari 1.000 kelahiran.
Terkait dengan berbagai ketimpangan ini, UNPO menyampaikan
rekomendasi, agar hak-hak bangsa asli dihormati sebagaimana tertuang dalam
konvensi internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ICESCR
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
ASNLF tetap dalam komitmen untuk memperjuangkan eksistensi bangsa
Aceh dalam segala aspek kehidupan di berbagai forum internasional dengan paradigma
yang tegas dan jelas, bahwa kelangsungan hidup bangsa Aceh bukan hanya dalam
aspek politik, tapi juga dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, agama,
pendidikan, lingkungan, bahasa dan lain-lain.
***
Ilustrasi foto:
Ketua Presidium ASNLF, Ariffadhillah, saat melawat kantor PBB di
Jenewa, Swiss pada Senin (28/4) lalu. (Foto: Asnawi Ali)
Sumber: http://nestasuhunfree.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar