SUARA WIYAIMANA : di Cendrawasih - Papua: Hari Sabtu, pada tanggal (07/12/2013), Penulis menjelaskan opini ini kepada: suarawiyaimana.blogspot.com. Penulis
dengan turut merasa terharu dengan judul di atas ini, dengan sebenarnya, injil sudah ada sebelum
para Misionaris beroperasi di Wilayah Papua. Mengapa katakan demikian, Orang
berbicara tentang kasih Tuhan dalam versi Alkitab, tentu para leluhur juga
sudah pernah diterapkan selama berabad-abad.
Yang menjadi persoalan buat generasi sekarang adalah kita sering mengabaikan budaya yang benar-banar seharusnya, kita sesuaikan dengan konteks versi Alkitab. Bahkan terkadang kita terlupakan budaya kita sendiri dan dianggap bahwa budaya itu, sesuatu yang primitif atau tidak berguna. Jika kita hanya berpijak pada era modern ini, budaya tentu akan menuntut dimanapun kita berada. Lagi pula, umur kita pun akan terbatas karena kita hanya hidup dari budaya orang lain.
Kehidupan generasi akan berdampak dekadensi nilai-nilai kultur yang benar sesuai pola hidup orang-orang yang mendiami di Wilayah itu, sendiri. Oleh karenanya, Perlu kita sadari dan mengembangkan budaya yang benar itu, serta dapat melestarikan dan mempraktekan secara universal, tanpa terpengaruh dengan akulturasi budaya. Perbadingan budaya para leluhur identik dengan injil yang di bawah oleh Para Misionari di Papua. Injil sebagai sebuah simbol atau kompas perlawanan dengan terjadinya akulturasi budaya luar.
Alkitab menjadi pedoman dan bahan refleksi buat generasi serta diversikan dengan budaya para leluhur itu. Yang perlu kita atasi bersama adalah budaya perang saudara atau konflik sosial yang sering terjadi di Bumi Cendrawasih, terutama daerah-daerah pedalaman Papua. Seharusnya, budaya perang suku atau perang keluarga itu, punya kaidah-kaidah atau aturan-aturan perangnya. Namun perang yang sering terjadi di papua itu, tidak sesuai dengan perang para leluhur sebelum masuk injil. Maka itulah yang dikatakan akulturasi budaya tercemar di Bumi Cenderawasih.
Budaya perang suku atau konflik sosial sekarang terkontaminasi dengan akulturasi budaya orang lain sehingga memakan korban jiwa manusia papua terus-menerus terjadi. Siapakah yang dapat menanggung segala konflik yang megakibatkan nyawa manusia tanpa berdosa di Bumi Cendrawasih ini? Mungkin saja, perang suku atau konflik sosial itu, terjadi karena kepentingan tertentu dari sekelompok orang yang mendapatkan massa pada saat kompetisi politik. Generasi papua harus berfikir secara akurasi atas tindakan-tindakan selanjutnya.
Salah satu contoh budaya perang para leluhur, yang memang pernah terjadi adalah Apabila seorang pria sudah perkosa atau berhubungan badan dengan istri dari suami orang Lain, tentu diantara si laki-laki dan perempuan tanpa diampuni menghabiskan kedua nyawa diatas gantungan panahan. Karena apa yang diperbuat si laki-laki dan perempuan itu, sudah melanggar budaya perang para leluhur. Pihak dari suami si istri bersama pihak dari pelaku laki-laki berkumpul untuk berunding agar kedua pelakunya dinyatakan melanggar hukum Adat. Proses Selanjutnya, kedua pelaku di gantungkan diatas kayu yang berbentuk salib agar masyarakat dari pihak laki-laki maupun perempuan dapat mengambil tindakan untuk membunuh kedua pelakunya. Pihak laki-laki dan perempuan membuat kesepakatan untuk menyelesaikan kasus tersebut diselesaikan pada saat itu juga. Tanpa merasa kecurigaan antara sesama warga atau suku yang di wilayah tersebut.
Budaya perang suku atau konflik sosial bukan melibatkan pihak lain, tetapi mencari kedua oknum atau pelaku agar bagaimana cara untuk menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan. Untuk itu, Biarlah kepada generasi muda tidak akan terpengaruh dengan budaya akulturasi yang tercemar, tetapi justru menjadi simbol perlawanan akulturasi budaya dengan kekuatan Injil. Semoga kita hidup berintim dengan kebenaran, maka kehidupan kita tentu terus berubah, sesuai budaya yang diberikan oleh pencipta kepada orang Papua, asal kita setia mengikuti kebenaran Pencipta. "Syalom"
Oleh: Awimee G (MS)
Demi Kemanusian dan Ketentraman
di Bumi Cendrawasih
0 komentar:
Posting Komentar