Simbol Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, sebuah front yang
dideklarasikan Selasa (29/11/2016) di Jakarta untuk mendukung penentuan
nasib sendiri West Papua - pembebasan.org
Jayapura, Jubi – FRI West Papua, kelompok sipil
Indonesia yang secara terbuka menyatakan dukungannya atas penentuan
nasib sendiri West Papua, mengajak masyarakat Indonesia turut tunjukkan
solidaritasnya pada hak bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri.
Menurut Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) itu,
ada tujuh alasan mengapa penting bersolidaritas untuk bangsa West
Papua.
Pertama, kata mereka, dunia akan lebih baik dan indah apabila setiap
bangsa tidak hidup dalam penjajahan dan dapat bekerjasama secara
demokratis, adil dan setara.
Bagi FRI West Papua, penjajahan masih terjadi di Papua oleh sebab
integrasi Papua ke NKRI mereka anggap tidak demokratis. Mereka setuju
beberapa pendapat gerakan pro kemerdekaan Papua yang menyatakan Pepera
1969 tidak sah, dan oleh karena itu West Papua bukan bagian sah NKRI,
alias masih teritori yang tak berpemerintahan sendiri atau dibawah
pendudukan.
Alasan
kedua, kata Juru bicara FRI West Papua, Surya Anta, yang tampil solo di
acara deklarasi front tersebut Selasa (29/11/2016) adalah penindasan
sistematis yang tidak manusiawi di Papua harus mengusik nurani
kemanusiaan semua masyarakat Indonesia. “Dan membiarkan penjajahan di
atas tanah West Papua berlanjut adalah tindakan tidak manusiawi,” kata
dia.
Mereka juga mengatakan solidaritas tersebut juga merupakan upaya
untuk mendemokratisasikan rakyat dan bangsa Indonesia sendiri,
memperjuangkan kesadaran kemanusiaan yang beradab terhadap rakyat dan
bangsa Indonesia.
“Solidaritas diperlukan terkait perjuangan melawan Imperialisme dan
Korporasi Internasional yang menyokong praktek kolonialisasi NKRI di
tanah West Papua, sekaligus menghentikan praktek-prektek militerisme
yang mengiringinya,” ujarnya.
FRI West Papua juga menyebutkan bahwa solidaritas terebut adalah
bagian dari perlawanan terhadap rasisme terhadap siapapun termasuk
rakyat West Papua, dan mereka menyatakan satu-satunya “tindakan
bermoral” untuk hentikan “genosida” di West Papua adalah melalui
dukungan terhadap penentuan nasib sendiri.
Dukungan
Tri Agus Susanto Siswowiharjo, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi STPMD
"APMD" Yogyakarta yang juga mantan aktivis Solidaritas untuk
Penyelesaian Damai Timor Leste (Solidamor) menyatakan dukungannya pada inisiatif FRI West Papua itu.
“Bagus ada gerakan terbuka seperti itu. Sebagai inisiatif bersama
antara orang Indonesia dan Papua. Selama gerakan di Jakarta non violence
(anti kekerasan) maka tak ada alasan pemerintah dan publik Indonesia
menolak organisasi ini,” kata Tri Agus melalui pesan singkat kepada
Jubi, Selasa (29/11).
“Sa yakin orang Indonesia pasti mengetahui bunyi pembukaan UUD ’45:
Bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan seterusnya. Dan dukungan
terbuka ini bagus karena sekarang era demokrasi . Berjuang dengan jalur
non kekerasan,” ujar dosen yang akrab dipanggil Tass itu. Selain mantan
aktivis, dia juga populer karena menulis buku Mati Ketawa Cara Orde
Baru dan sempat ditahan di jaman Orde Baru.
Tass menekankan pentingnya kampanye publik lanjutan pasca deklarasi
itu. “Tak hanya strategi vs negara, tetapi juga kampanye karena
orang-orang Indonesia perlu digelontor berita tentang Papua yang
benar,” ujarnya.
Di tempat lain, Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta juga mendukung
inisiatif FRI West Papua. “LBH Jakarta bukan bagian FRI, tetapi kami
mendukung kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dan pembentukan FRI
West Papua adalah bagian dari kebebasan berserikat dan berkumpul yang
biasa dan sama saja dengan kelompok lainnya. Kita harus hormati hak
konstitusionalnya,” kata dia.
Dari New York, AS, Coen Husein Pontoh, pendiri situs IndoProgress.com
yang memberi ruang cukup banyak untuk isu-isu Papua, juga menyambut
deklarasi front ini. “Sangat dibutuhkan agar rakyat Indonesia mengetahui
bahwa ada persoalan besar terkait soal Papua,” kata dia.
Coen menekankan hak penentuan nasib sendiri Papua membutuhkan
penghentian tindak kekerasan yang selama ini terjadi terhadap rakyat
Papua. “melalui pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri maka kita akan
mengetahui dengan jelas sejauh mana klaim-klaim politik yang selama ini
dilakukan baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh kalangan oposisi di
Papua agar mendapat legitimasi dari rakyat Papua,” ujarnya.
Dia juga menambahkan hak tersebut sebetulnya bagian integral dari
proses demokrasi sehingga pelaksanaan hak itu akan makin memperkuat
sistem demokrasi yang kita anut saat ini.
Muhajir Abdul Azis, seorang anak muda asal Aceh menganggap inisiatif
FRI West Papua juga sebagai hal yang mesti didukung. "Saya tidak tahu
bagaimana menurut orang Indonesia, apalagi orang-orang di Pulau Jawa
yang kebanyakan mengunyah slogan NKRI harga mati. tapi menurut saya
sebagai orang Aceh inisiatif ini harus didukung, karena itu perjuangan
riil," kata dia kepada Jubi melalui pesan singkat.
Dia mengaku memahami apa yang dirasa masyarakat Papua, "Bagi yang
pernah merasa bagaimana ganasnya militer Indonesia dalam berbagai kasus
pembunuhan pasti paham akan apa yang diminta masyarakat Papua," ujarnya
yang merasa hal itu juga didorong oleh perasaan kebangsaan yang berbeda
antara Indonesia dan Papua.
Perluasan perhatian
Sejak eskalasi isu penentuan nasib sendiri West Papua di Pasifik,
masyarakat Indonesia juga sedikit banyak mengikuti dan coba mengambil
sikap.
Pada bulan April 2016 lalu, setidaknya 154 orang dari berbagai
spektrum sosial politik dan budaya menyatakan terbuka solidaritas mereka
kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan mengutuk
kekerasan yang terjadi pada aktivis-aktivis pendukung ULMWP di Papua.
Di dalam pernyataan 6 April 2016 lalu, seperti dilansir oleh situs
papuaitukita.net, mereka menghendaki agar pemerintah Indonesia
mendengarkan Papua; mengubah pendekatan represif dan eksploitatif pada
Papua; menuntut evaluasi tindakan aparat keamanan di Papua dan
menghentikan pengiriman pasukan, termasuk pembangunan komando teritorial
dan markas-markas Brimob baru; serta mendukung proses politik damai
yang diajukan oleh ULMWP untuk membicarakan hak penentuan nasibnya
sendiri.
“Indonesia bukan milik aparat. Indonesia dibangun oleh rakyat, yang
berjuang untuk kemerdekaan berkumpul, bersuara dan berekspresi demi
kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial,” ujar
pernyataan tersebut.
Bersamaan
dengan deklarasi yang dilakukan FRI West Papua Selasa (29/11), tampak
beberapa orang pemuda menggelar spanduk penolakan di luar gedung LBH
Jakarta. Beberapa diantara mereka menggunakan almamater universitas
tertentu.
Di dalam spanduknya, mereka menyatakan “Tolak West Papua, dari Sabang
Sampai Merauke untuk Indonesia, Save NKRI”. Mereka mengatasnamakan
Front Penyelamat Indonesia (FPI).
FRI West Papua tampaknya akan menjadi babak baru dalam pembukaan
ruang bagi isu-isu penentuan nasib sendiri West Papua, baik pro maupun
kontra, untuk dibicarakan oleh publik politik ibukota.(*)
Sumber:www.tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar