Para peserta dalam bedah Jurnal Melinda Janki, West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional di aula USTJ, Sabtu (5/11/2016) – Jubi/Peter Lokon |
“Saya berterima kasih
kepada teman-teman KNPB karena membawa masalah ini dikaji secara
ilmiah,” ujar Isak Rumbarar, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan USTJ,
yang mengaku siap berhadapan dengan berbagai pihak yang mungkin tidak
setuju atas berlangsungnya diskusi tersebut.
Jayapura, Jubi – Tuduhan bahwa masyarakat Papua yang
pro kemerdekaan sebagai separatis atau pelaku makar dibantah oleh
Viktor Yeimo, Ketua KNPB. Menurut dia status kedaulatan Indonesia atas
West Papua hasil Pepera 1969 adalah klaim politik bukan status hukum
internasional.
Hal itu dikatakan dalam diskusi bedah Jurnal West Papua dan Hak
Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional, yang di Aula USTJ
Sabtu (5/11/2016). “West Papua adalah wilayah yang belum berpemerintahan
sendiri, yakni wilayah koloni, karena pelaksanaan Pepera 1969 tidak sah
karena menyalahi prosedur hukum internasional,’ ujarnya dalam diskusi
tersebut.
Untuk itu, lanjutnya, perjuangan damai, jujur, bermartabat dan
terbuka untuk menuntut hak penentuan nasib sendiri melalui referendum
yang final guna menentukan status baru West Papua, adalah hak politik
bangsa Papua dan kewajiban negara-negara anggota PBB untuk mendukungnya.
Sementara Yason Ngelia, aktivis muda mewakili gerakan muda dan
mahasiswa, justru menujukkan pesimismenya terhadap proses di Badan PBB
untuk pengakuan status hukum West Papua.
“Palestina saja sudah mendapat dukungan lebih dari seratus negara,
tetapi PBB tidak bisa bertindak bila negara besar (di DK PBB) bilang
tidak, apalagi resolusi PBB itu tidak mengikat” tegasnya. Untuk itu
Yason menekankan pritoritas perjuangan di dalam negeri yang lebih
berbasis pengetahuan dengan pelibatan lebih banyak orang agar semakin
berkapasitas.
“Rakyat Papua harus mempelajari semua yang dipelajari Indonesia.
Pengetahuan itu penting untuk melawan propaganda buku-buku kolonial
Indonesia. Jurnal ini penting karena dengan jelas menunjukkan dimana
pelanggaran Indonesia dalam sejarah integrasi, mesti didiskusikan
semakin luas,” kata dia.
Yeimo mengakui tantangan yang besar untuk mewujudkan hal tersebut.
“(tetapi) Kita berada di jalur hukum yang benar, masalahnya adalah harus
semakin banyak orang mengetahuinya dan semakin banyak negara
mendukungnya, karena itu pembahasan akademik harus dilakukan,” ujarnya
sambil mencontohkan upaya Proyek Politik Papua yang dilakukan
Universitas Warwick Inggris.
Upaya KNPB membawa diskusi satus politik Papua ini ke ruang akademik
mendapat sambutan hangat dari Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan USTJ,
Isak Rumbarar dan Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramandey.
Ramandey memuji upaya diskusi tersebut sebagai upaya menyebarkan
pengetahuan terhadap instrumen hukum internasional terkait status
politik West Papua. “Jurnal ini sudah member informasi terhadap
mekanisme penentuan nasib sendiri sesuai hukum internasional dan
kecacatan Pepera,” ujarnya.
“Saya berterima kasih kepada teman-teman KNPB karena membawa masalah
dikaji secara ilmiah,” ujar Isak Rumbarar yang mengaku siap berhadapan
dengan berbagai pihak yang menggugar pelaksanaan diskusi itu karena
dianggap sensitif. “Kalau tidak di kampus dimana lagi? Apa harus
dibawah-bawah pohon? atau di jalan-jalan? Saya Wakil Rektor III siap
bertanggung jawab dan justru berterima kasih kepada KNPB” tegasnya.
Diskusi tersebut dilakukan seiring penerbitan jurnal 40 halaman
berbahasa Indonesia oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk publik
di Papua. Jurnal ini ditulis oleh Melinda Janki, seorang pengacara
internasional berbasis di London dan Guyana, serta salah seorang figur
penting dibalik pembentukan International Lawyers for West Papua (ILWP)
di London, Inggris.(*)
0 komentar:
Posting Komentar