Mr. Hiskia Meage (Ketua KNPB Wilayah Se-Indonesia Tengah |
PERSOALAN PAPUA BUKAN MASALAH BARU.
PERSOALAN Papua di PBB kini memasuki babak baru. Bukan saja karena
telah ada tujuh negara sebagai subjek hukum internasional telah
membawanya ke Sidang Majelis Umum sebagai persoalan bersama
bangsa-bangsa, tetapi juga karena fokusnya bukan lagi sebatas masalah
pembangunan dan hak asasi manusia, tetapi juga hak penentuan nasib
sendiri (self-determinasi) dan kemerdekaan dari kolonialisme
(dekolonisasi).
Negara-negara yang bersolidaritas dengan Papua di
Pasifik tampaknya menaruh harapan, sama seperti orang Papua, bahwa
Papua akan turut serta dalam gelombang dekolonisasi itu. Langkah awalnya
adalah dengan meninjau kembali proses-proses Pepera yang kontroversial
itu dan membicarakan Papua masuk kembali ke dalam daftar PBB untuk
wilayah dekolonisasi.
Jelaslah di sini bahwa agenda penentuan
nasib sendiri dan dekolonisasi kembali menjadi fokus persoalan Papua di
PBB. Dan bahwa solidaritas negara-negara di Pasifik, bukan lagi sekadar
solidaritas untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia yang biasa.
Melainkan solidaritas dekolonial yang diperjuangkan lewat
mekanisme-mekanisme yang dimungkinkan oleh kesepakatan PBB. Selain
pelanggaran hak asasi yang umum, solidaritas ini menyasar juga akar
historis dan politik dari situasi di Papua, yaitu pelanggaran hak
penentuan nasib sendiri yang menyebabkan kolonialisme terus bercokol di
Papua.
Dalam hak jawabnya terhadap pernyataan negara-negara
Pasifik pada Sidang Umum PBB, Indonesia menuduh negara-negara Pasifik
memakai forum PBB untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia dan
mengklaim diri telah memenuhi semua standar HAM dan melakukan
pembangunan di Papua.
Apakah bangsa-bangsa Pasifik akan tetap bersama orang Papua di saat-saat sulit atau akan lebih tergoda dengan kerjasama politik dan ekonomi dengan Indonesia dan sekutu-sekutunya?
Apakah solidaritas itu akan meluas ke negara-negara anti-kolonial di
Afrika dan Latin Amerika; ataukah mereka tidak peduli ?
Dan apakah
bangsa-bangsa yang bergabung dalam PBB akan mendengarkan perjuangan
orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, atau akan sekali lagi
pengkhianat seperti pada tahun 1963-1969 ?
Di hadapan solidaritas
itu, Indonesia sedang diuji. Yang jelas pendekatan militeristik akan
memperburuk situasi HAM dan memicu solidaritas atas Papua. Percepatan
dan perluasan pembangunan yang eksploitatif dan kolonial pun sudah
ditentang oleh orang Papua, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bersilat-lidah dalam forum diplomatis, seperti yang dilakukan pada
Sidang Umum PBB ke-71, September 2016, jelas tidak menolong siapapun dan
tidak memperbaiki situasi riil di Papua.
Tidak ada pilihan
rasional dan etis lain bagi Indonesia, selain memperbaiki diri secara
sungguh-sungguh dan bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di
Papua.
Pada babak baru Papua di PBB, kita sedang menyaksikan
rangkaian peristiwa penting dalam sejarah kolonialisme. Apakah
kolonialisme di Papua akan berakhir dengan perubahan radikal dalam cara
Indonesia bernegara di Papua atau akan berujung dengan lahirnya sebuah
negara-bangsa baru, Papua Barat.?
Solusinya adalah Bersatu dan
LAWAN untuk merdeka dari Kolonialisme, Neokolonialidme, Kapitalisme Dan
Imperialisme Global yang saat ini menjadi Penindas Rakyat Papua.
____________________SALAM SETARA_________________
Oleh: Hiskia Meage Ketua KNPB Konsulat se-Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar