Kebudayaan Papua. Foto: Ist. |
Penulis:: I Ngurah Suryawan |
Salah satu
kontribusi ilmu pengetahuan di tengah masyarakat adalah menginspirasi perubahan
sosial untuk kemaslahatan masyarakat yang selama ini tesingkirkan dan
dikalahkan.
Senjata ilmu
pengetahuan sepatutnya memberikan gambaran dan arah tentang berbagai fenomena
yang terjadi di tengah masyarakat. Selain memberikan analisis, ilmu pengetahuan
juga sepatutnya memberikan penafsiran dan prediksi tentang situasi yang akan
terjadi ke depan. Nah, salah satu bidang yang penting tersebut adalah analisis
dan penafsiran dalam bidang kebudayaan, yang nantinya sangat berguna untuk
memberikan refleksi sekaligus bimbingan ke arah mana kebudayaan masyarakat akan
bergerak.
Studi kebudayaan
inilah yang menjadi perhatian dari antropologi, salah satu ilmu-ilmu humaniora
yang menaruh perhatian kepada proses-proses pembentukan kebudayaan di tengah
masyarakat. Tentu saja perspektif (cara pandang) dalam memahami kebudayaan
berbagai macam dan berbagai studi kebudayaan telah banyak dihasilkan sesuai
dengan cara pendang tersebut. Totalitas antropologi dalam menuliskan fenomena
kebudayaan itulah yang dinamakan etnografi. Di sinilah titik perdebatannya.
Perdebatannya bukan hanya persoalan perspektif namun lebih ke dalam yaitu
mengenai bagaimana etnografi bisa menginspirasi atau menstimulasi (merangsang)
inisiatif perubahan di tengah masyarakat. Perubahan yang dimaksudkan pada
tataran pemaknaan dari fenomena yang terjadi dan juga kesadaran yang tercipta
di tengah masyarakat. Untuk mencapai tujuan inilah diperlukan relasi yang intim
guna mentautkan (menghubungkan) antropologi dan transformasi sosial budaya yang
bergerak di tengah masyarakat.
Dalam tradisi
studi kebudayaan klasik yang dipoplerkan oleh "Bapak Antropologi
Indonesia", Koentjaraningrat, berkembang "dogma" tentang 7 unsur
kebudayaan yang meliputi: sistem pengetahuan, religi/agama, kesenian,
teknologi, bahasa, organisasi sosial dan kekerabatan, sistem ekonomi/mata pencaharian
hidup. Pendeskripsian ketujuh unsur kebudayaan ini pernah menjadi kegandrungan
dalam studi kebudayaan yang masih berlangsung hingga kini. Jurusan-jurusan
antropologi berbagai universitas di Indonesia masih menggunakan metode 7 unsur
kebudayaan ini dalam memperkenalkan kajian-kajian awal dari ilmu antropologi.
Akumulasi
pengetahuan dan penggambaran etnografi kelompok masyarakat berdasarkan tujuh
unsur kebudayaan menjadi hal yang "sederhana" dan paling berguna
untuk penggambaran awal "kebudayaan etnik" yang bisa dimanfaatkan
untuk berbagai kepentingan dan kekuasaan. Ahimsa-Putra (1987:27) mengungkapkan
studi-studi etnografi yang mengikuti pandangan tujuh unsur kebudayaan universal
bermaksud untuk memudahkan para peneliti memanfaatkannya dalam studi
perbandingan kebudayaan (cross-cultural). Melalui studi perbandingan yang semacam ini
diharapkan akan dapat dicapai rumusan-rumusan yang sedikit banyak meyerupai
"hukum-hukum" atau "dalil" tentang fenomena sosial-budaya.
Epistemologi yang ada dibalik pemikiran semacam ini adalah epistemologi yang
positivistik.
Studi perbandingan
kebudayaan inilah yang memunculkan perspektif studi kebudayaan yang melokalisir
kebudayaan pada wilayah tertentu. Hal ini tentu salah kaprah karena kebudayaan
sifatnya adalah cair melampaui ruang dan terus-menerus berubah melampaui
pembatasan-pembatasan. Paradigma positivistik yang menganggap kebudayaan
sebagai benda dan nilai-nilai yang kokoh, ajeg yang tidak berubah beresiko
gagal menangkap dinamika dan perubahan dalam kebudayaan tersebut.
Nah, jika studi
kebudayaan Papua khususnya terus-menerus menggantung diri pada perspektif ini,
bukan tidak mungkin kajian kebudayaan Papua yang kritis dan transformatif tidak
akan pernah terjadi. Studi kebudayaan Papua akan macet, tidak berkembang secara
dinamis dan kritis. Yang justru terjadi adalah involusi (pengulangan) dan
pengkerdilan kebudayaan Papua karena kegagalan memahami perspektif emansipatif
yang kritis dan transformatif. Dengan kata lain, kebudayaan Papua yang
terus-menerus berubah sepatutnya dipahami dan dianalisis dengan perspektif yang
merekognisi (mengakui) kehadiran rakyat Papua sebagai subyek (bukan
obyek=korban) dari perubahan sosial yang terjadi di tanah
mereka.
Kulturalisme dan Dimana Rakyat?
Kulturalisme dan Dimana Rakyat?
Studi kebudayaan
klasik mensandarkan dirinya kepada eksotisme kebudayaan yang menganggap sebuah
kebudayaan terlokalisir dan mempunyai ciri yang khas dan unik dibandingkan
kebudayaan lainnya. Terkait dengan konteks ini, Timmer (2013:22) mencoba
menunjukkan bahwa kajian budaya dan bahasa di Papua pada masa kolonial dan
diwariskan hingga kini memperlihatkan adanya variasi yang tinggi. Hal ini
mengundang kita melakukan reduksi untuk menarik batas dan menjelaskan
karakteristik yang bervariasi tentang budaya dan bahasa di Papua yang eksotis
dan terlokalisir tanpa adanya mobilitas dan transformasi.
Pandangan
kulturalisme ini sangat menyesatkan karena melihat orang Papua hanya ditentukan
oleh budayanya sehingga budaya ini membentuk sebuah kesatuan organik yang utuh
dan tertutup, sehingga orang Papua tidak dapat meninggalkan budayanya tetapi
hanya dapat merealisasikan dirinya di dalam budayanya tidak dapat meninggalkan
budayanya tetapi hanya dapat merealisasikan dirinya di dalam budayanya.
Perspektif ini tentu saja mengingkari bahwa kebudayaan itu melintas batas
melewati sekat-sekat dan lokalisir hanya sebatas tempat. Kebudayaan sekali lagi
bukan hanya sebatas properti-properti tetapi pembentukan pikiran dan pengertian
(notion formation).
Perspektif yang
melokalisir kebudayaan tersebut sering dipandang sebagai pemahaman kulturalisme
dalam studi kebudayaan. Ahimsa-Putra (1987:28) mengungkapkan bahwa perspektif
kulturalisme digambarkan dengan pendeskripsian "kebudayaan" suku-suku
bangsa yang ditulis menjadi etnografi betul-betul merupakan rekonstruksi dari
si penulis dan bukan merupakan pelukisan "realitas" yang dilihat,
didengar, dan dialami oleh penulis etnografi tersebut. Para penulis etnografi
tersebut telah dipandang sebagai "pencipta-pencipta" kebudayaan dari
komunitas masyarakat yang dimaksud.
Dalam penulisan
etnografi kulturalisme ini, yang oleh Ahimsa-Putra (1987:26) disebut dengan
"etnografi laci", hampir tidak ada ditemukan di dalamnya dialog
antara penelti (penulis etnografi) dengan mereka yang diteliti. Para informan
dan warga pendukung kebudayaan yang ada di lapangan tenggelam di balik teks.
Apa yang kemudian hadir dalam tulisan tersebut adalah abstraksi dari si
peneliti atas hal-hal yang telah dia dengar, lihat, dan mungkin alami selama
tinggal di lapangan dan mungkin dengan dilakukan dengan menggunakan
konsep-konsep yang sebelumnya sudah ia pahami. Pada titik inilah penulis
etnografi merasa dirinya berhak mewakili para informannya dalam menyampaikan
apa yang telah dikemukakan kepada peneliti.
Para informan itu
adalah adalah rakyat yang sepatutnya menjadi subyek dari studi-studi
kebudayaan, bukan justru menjadi "obyek penderita", terlebih lagi
dijadikan sebagai seolah-olah sebagai "massa" yang sama sekali tidak
mempunyai kedaulatan dan pengetahuan. Rakyat dalam arti yang sebenarnya bahasa
Laksono (2008 via Budi Susanto, 2005) adalah "orang-orang yang
berdaya", mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan sosial terhadap
diri dan lingkungannya. Oleh karenanya rakyat hampir selalu diantara dua sisi
yaitu melakukan resistensi (perlawanan) sekaligus obyek penundukan dan
eksploitasi. Dalam hal inilah rakyat berbeda dengan "massa" yang
sangat mudah untuk dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan.
Dalam konteks
historis, negara dan kekuasaannya sangat alergi dengan kata "rakyat"
karena sejarah panjangnya dalam melakukan gerakan kritis kepada kekuasaan.
Dalam bingkai itulah rakyat satu kata yang sangat berpengaruh dalam proses
transformasi sosial. Dalam konteks Papua, rakyat juga menjadi subyek (yang
berdaya) sekaligus dijadikan sebagai "alat" oleh kekuasaan untuk
semakin menancapkan kekuasaannya. Nah, jika rakyat dimaknai sebagai yang
berdaulat dan berdaya dengan demikian juga artinya memiliki pengetahuan yang
sepatutnya diapresiasi dan dipelajari maka studi-studi kebudayaan di Tanah
Papua tidak akan macet, tetapi justru akan terus berkembang dengan dinamis.
Dengan demikian rakyat akan dimediasi untuk terus-menerus aktif melahirkan
inisiatif mengambil peran dalam transformasi sosial budaya yang terjadi di
Tanah Papua.
I Ngurah Suryawan
adalah Staf Pendidik/Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas
Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
Sumber: Macetnya Studi Kebudayaan Papua?
0 komentar:
Posting Komentar