![]() |
Foto: Pemuda, Perempuan, Gereja, dan Mahasiswa Tolak Kedatangan Jokowi, Spanduk | Dok. FB |
Operasi Sadar(1965-1967),
Operasi Brathayuda(1967-1969), Operasi Wibawa(1967-1969), Operasi
Pamungkas(1969-1971), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya-Papua(1977),
Operasi Sapu Bersih I dan II Paniai – Papua(1981), Operasi Galang I dan
II(1982), Operasi Tumpas(1983-1984) dan Operasi Sapu Bersih (1984), Operasi
Militer Mapenduma(1996), Peristiwa Wasior(2001), Pembunuhan Theys Eluay(2001),
Operasi Militer di Wamena(2003), Kabupaten Puncak Jaya(2004), Pembunuhan Mako
Tabuni(2012).
Barapa ratusan jiwa yang telah
hilang akibat ulah bejatmu itu? Ratusan? Ribuan? Atau Jutaan? Tanah ini menjadi
saksi bisu setiap peristiwa berdarah itu! Entah kemana semua proses kelam ini,
sebuah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Pemerintah (Negara) terhadap
rakyatnya tanpa ada penyelesaian pasti, semisal untuk masalah Pelanggaran HAM
di Papua:
1. Sejauhmana operasi militer pada era DOM di Papua memiliki unsur “Pelanggaran
HAM Berat” apa saja seperti: jenis senjata yang digunakan, kesatuan yang
terlibat, pelaku-pelaku, jenis peluru dan bom apa yang dipakai, apa/ada
kemungkinan menggunakan racun/bahan kimia mematikan, jenis-jenis kekerasan apa
saja yang dilakukan, kepada siapa saja, jumlah korban berapa banyak dalam
seluruh operasi tersebut,
2. Membawa Pelaku ke Pengadilan HAM,
3. Adanya Kompensasi kepada
pihak korban,
4. Ganti rugi oleh pelaku
kepada korban,
5. Pemulihan Nama baik kepada
korban yang mendapat perlakuan diskriminasi dengan stigma separatis(Kajian
KOMNAS HAM RI dan LSM Papua).
Siapakah dirimu? Siapakah
engkau pemerintah! Sehingga demi mengamankan sifat busuk
kemanusiaanmu(Pemerintahan) engkau tidak segan-segan menghilangkan nyawa
manusia, dengan kekuatan Negara, yang tiap harinya engkau rauk atau rampas dari
manusia yang tak berdosa itu(korban) untuk membeli semua peralatan
canggih(senjata) yang kau pakai untuk siap membantai kapanpun di manapun
sesukamu terhadap rakyatmu sendiri.
Terror dan intimidasi begitu
dekat, kematian menjadi kawan yang setia pada manusia Papua, berdasarkan
ikhtisar yang kau rancang. Dengan stigma separatis atau OPM kau buat pada
masyarakat sipil Papua di pedalaman, pesisir, dan hutan belantara demi menambah
ongkos kerja aparat keamanan yang kau pasang.
Siapakah engkau
(Pemerintah-aparat TNI/POLRI)? Tuhan? Sehingga engkau yang menentukan(kematian)
semua itu. Atau benarlah Papua ini sedang di rancang oleh Negara ini guna
menuju Genocide. Seperti pada Buku
hasil tulisan, Socratez Sofyan Yoman berjudul : Pemusnahan Etnis Melanesia;
Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat, “Papua Barat adalah suatu
wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya
pemusnahan.” – Mr. Juan Mendez (Penasehat Khusus Sekjen PBB Bidang Pencegahan
Pemusnahan Penduduk Pribumi). Pernyataan tersebut sedang berlaku atas tanah
ini-Papua.
JOKO WIDODO – Presiden
Republik Indonesia(RI)
Saat kampanye PEMILU Jokowi ke
Papua, khususnya Jayapura. Ada sisi lain yang di nilai, yaitu:
1. Kedatangannya untuk memantau lokasi strategis ekonomi jangka panjang dalam
bentuk investasi asing di Papua, khusus kota metropolitan Papua – Jayapura,
2. Jokowi ke Pasar Mama-Mama Papua sebagai bentuk untuk memandang kelemahan
utuh manusia Papua di Bidang Ekonomi sehingga mudah di jajah di bidang ini,
ekonomi.
Di tengah dualism legislative
pusat (MRP dan DPR RI) – Kolisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, dan
juga sifat apatis Jokowi dalam memandang dualism tersebut. Ia malah membangun
kerjasama dengan pihak asing untuk pasar bebas tahun 2015, yang sudah sejak
2012 lalu di gencar-gencarkan. Target utama dari pasar bebas tahun 2015 adalah
Papua, hal yang secara tidak langsung membunuh orang asli Papua(investor asing,
berikutnya transmigrasi yakni dua hal yang jokowi buktikan terhadap sikap
kejawaannya).
Jumlah orang asli yang dari
tahun ketahun terus menunjukkan angka statistic yang tak wajar berdasarkan data
sensus(perbandingan Papua dan non-Papua), pertengahan tahun 2010 jumlah Orang
Asli Papua 2.220.934 sedang non- Papua 2.833.381. Dan berdasarkan data KPU
tahun 2014, jumlah penduduk di provinsi Papua 4.224.232, sedang dalam jumlah
tersebut yang paling mendominasi adalah penduduk non-Papua dengan jumlah
2.689.363 jiwa.
Kita lihat daerah transmigrasi
Merauke atau Keerom yang manusia aslinya telah tergeser dalam berbagai persaingan,
seperti ekonomi dan politik. Manusia-manusia yang kini menjadi penonton atas
tanahnya sendiri. Transmigrasi yang memperparah keadaan Papua, sebab telah
menimbulkan konflik horizontal akibat kecemburuan sosial. Dan tentu dalam hal
ini aparat keamanan akan dilibatkan, sehingga pastinya menimbulkan masalah
baru.
Selanjutnya di tengah sikap
prabowo lawan politiknya pada PEMILU lalu, yang anti-kolonial(Investor Asing),
Jokowi dengan bahasa inggris jawanya dalam pidato APEC mempersilahkan pihak
asing menanam modal seluas-luasnya di Indonesia dengan menunjukkan
presentasinya (lokasi-lokasi strategis untuk Investasi-Salah satunya Papua yang
menjadi target besar). Disisi lain, Jokowi malah menaikkan harga Bahan Bakar
Minyak(liputan6.com, 17/11) agar masyarakat resah
dan lupa bahwa mereka sedang menuju neo-kolonialisme. Sungguh
blusukan penuh kebusukan.
Para pakar serta pegiat
Lingkungan mau mengarahkan pikiran masyarakat tentang nasib alam Papua tak
dapat berbuat apa-apa, pikiran dan hanya pikiran, Karena masyarakat akan
habiskan waktu dengan memikirkan nasib mereka dengan telah dinaikkan harga
Bahan Bakar Minyak dan tingginya sembako. Orang Papua pun akan terdiam, apalagi
mahasiswa yang akan menghabiskan waktu dengan memikirkan nasib mereka di tanah
rantau pendidikannya Jayapura.
Fokus yang terhapus stress akan
melambungnya harga ongkos transportasi, belum termasuk biaya makan tiap harinya
yang mirip pejabat yang selalu berpuasa pada Tuhan, seperti bunyi lirik
lagu yang menceritakan kehidupan mahasiswa, bahwa: Senin Makan, selasa puasa,
rabu ngutang, kamis bayar, jumat puasa, sabtu libur, minggu puasa. Begitulah
berulang-berulang.
Dengan beberapa keputusan
Jokowi yang juga terlalu kontraversial, seperti Penunjukan menteri Ryamizard
Ryacudu yang merupakan mantan dan otak dari Pembunuhan Tokoh Besar Pejuang
Papua, alm. Theys H. Elluay, lalu penunjukan menteri Pemberdayaan Perempun dan
Perlindungan Anak, Yohana Yembise, yang mungkin di
sengaja, agar menciptakan konflik horizontal antar orang Papua sendiri(Lawan
politik), kemudian menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang hanya
lulusan SMP, dan juga actor pembunuh Bapak HAM Indonesia Munir, Pollycarpus.
Sungguh aneh.
Dan di tengah Damai Natal yang
kini mulai terasa, dan rencana kedatangan Joko Widodo Presiden Indonesia yang
akan merayakan Natal Nasional di Papua, 27 Desember 2014 nanti, serta 10
Desember 2014 sebagai peringatan Hari HAM se-dunia, dimana orang percaya yang
menginginkan kedamaian dunia berdoa dan berbuat sehingga Hari HAM ini di
dekarasikan pada tahun 1948 lalu. Sehingga semua wajib
merayakannya. Namun semua tak terasa di sini(Papua), sebab pembantai terhadap
21 manusia di Paniai, hingga berujung pada tewasnya 6 orang di tempat kejadian
akibat aparat TNI-POLRI.
Peristiwa Paniai berdarah, 08
Desember 2014 lalu, menjadi bukti bahwa Pemerintah(Negara) ini tidak
sungguh-sungguh menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyatnya sendiri. Papua
dan rakyat akan selalu seperti ini(sejak aneksasi tahun 1963), karena pada
dasarnya Pemerintah tak pernah mempercayai rakyat Papua(Eksekutif, Legislatif,
Yudikatif, orang asli Papua) sebagai bagian yang katanya di akui sebagai
bagian integral, akibatstigmaisasi yang
terus di lancarkan. PAPUA BERDUKA.
Berangkat dari dasar Pikiran di
atas, maka sebaiknya:
- Presiden Joko Widodo tak perlu datang ke Papua, untuk merayakan Natal 27 Desember 2014 nanti, karena Papua sedang berduka akibat pembantaian di Paniai, dan Jokowi stop melakukan pencitraan di Papua yang hanya membuang-buang waktu saja, dan sebaiknya mengurus Sistem Pemerintahan di Indonesia yang masih kacau balau, akibat dualisme atar semua elit Politik di Indonesia(Pusat), selain itu kedatangannya hanya akan menghabiskan puluhan miliaran APDB Papua.
- Presiden Jokowi harus segera membentuk tim Invetigasi Independen kasus Paniai Berdarah, 08 Desember 2014 lalu, yang telah menelan korban 6 orang, serta lainnya(16 orang) yang masih kritis dan luka akibat ulah brutal aparat TNI/POLRI.
- Jokowi agar seriusi masalah HAM di Papua sesuai janji kampanyenya saat datang ke Papua. Dengan segera membentuk 3 lembaga sesuai amanat(Roh) Otsus 2001(BAB XII HAM – Pasal 45 ayat 2), a. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua; b. Komnas HAM Papua; c. Pengadilan HAM di Papua. Agar menyelesaikan seluruh persoalan HAM di Papua sejak di Aneksasi Bangsa Papua ke Indonesia.
- Selesaikan akar persoalan Papua sesuai kajian LIPI, dalam Road Map Papua; a. Masalah Status Politik Papua; b. Marginalisasi dan Deskriminasi; c. Kekerasan Negara dan Pelanggaran HAM; serta d. Kegagalan Pembangunan.
- Bersama Amnesti Internasional, Dewan HAM PBB, Dewan Keamanan PBB, agar menyelesaikan seluruh persoalan pelanggaran HAM di Bangsa Papua sejak Aneksasi Bangsa Papua tahun 1963.
- Mendorong dan mendukung pemerintah Vanuatu untuk menyelesaikan persoalan Papua; khusus komite Dekolonisasi agar memperhatikan masalah Papua.
Lalu berdasarkan hal di atas,
maka Joko Widodo di harapkan tidak lagi menambah persoalan pelanggaran HAM di
Papua, dengan hal-hal yang memicu pelanggaran HAM, antara lain:
1. Pemekaran
34 Daerah Otonom Baru yang
telah di masukkkan dalam Prolegnas(Proses Legislasi Nasional), merupakan suatu
unsure yang di paksakan, bagaimana tidak? Berdasarkan
data jumlah penduduk Papua(Bagian 2. Transmigran), maka berangkat dari syarat
Pemekaran suatu wilayah nampaknya merupakan suatu hal yang sangat tidak logis.
Mulai dari syarat Administratif, Teknis dan Fisik Kewilayahan. Maka
mengingat kepadatan Penduduk Propinsi Papua tidak mengalami peningkatan
secara signifikan sejak tahun 1971 hingga sekarang(2014). Pada tahun 1971
kepadatan Penduduk Propinsi Papua adalah 2 orang penduduk tiap 1 Km², dan pada
tahun 1990 menjadi 5 orang Penduduk tiap 1 Km², kemudian pada tahun 2005
kepadatan penduduk di Papua tidak mengalami peningkatan tiap Km² hanya dihuni
oleh 7 orang. Jumlah tersebut di atas berbeda dengan propinsi lain di
Indonesia, misalnya Jawa Barat 757 orang tiap1Km², Sumatera Utara 169 orang
tiap 1Km². Serta masih lebih rendah dari kepadatan penduduk rata-rata nasional,
116 orang tiap 1Km².
Bila dianalisis maka ternyata
pemerintah propinsi Papua kurang memperhatikan aspek penataan ruang dan
penduduk lokal di Papua. Sehingga sangatlah tidak masuk akal jika suatu wilayah
di Papua dimekarkan. Ini tentu adalah sesuatu pemaksaan dan tentu melanggar
syarat-syarat pekemekaran suatu wilayah sesuai UU Pemerintahan Daerah 32 Tahun
2004 Pasal 4 dan 5, serta PP 78 Tahun 2007.
Meski ada dampak baik dari
pemekaran itu sendiri yakni dapat mengetahui kondisi riil di lapangan dalam
memperpendek jangkauan pelayanan kepada masyarakat(top-down) yang lebih baik
pada tingkat geogerafis yang sulit serta terwujudnya keinginan masyarakat
mempercepat peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat baik aspek pendidikan,
kesehatan, sosial budaya, dan politik serta pembangunan infrastruktur daerah.
Namun akan lebih banyak memicu konflik seperti dapat membuat masyarakat Papua
terkotak-kotakan(sukuisme), daerahisme dan lain sebagainya sehingga menimbulkan
konflik sosial antar suku maupun daerah akibat persaingan elit politk daerah
yang tidak sehat dalam percaturan politik.
Jadi, apapun segala bentuk
Daerah Otonomi Baru(DOB) atau pemekaran Layaknya tidak boleh di terima begitu
saja, sebab alasan kesejahteraan apapun tak mampu menjawab isi hati nurani
orang Papua. Dan perspektif apa yang di Pakai Pemerintah untuk mengukur
masyarakat Papua adalah rakyat Miskin?
2. Transmigrasi
Populasi Papua meningkat dari
887.000 pada tahun 1971 menjadi 1.505.405 pada tahun 2000. Ini merupakan
tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 1,84%. Populasi non-Papua meningkat dari
36.000 pada tahun 1971 menjadi 708.425 pada tahun 2000. Ini merupakan tingkat
pertumbuhan tahunan rata-rata 10,82%. 2010 angka sensus sejauh dirilis hanya
memberikan angka jumlah penduduk tanpa melanggar angka itu ke dalam
kelompok-kelompok etnis masing-masing, namun kami dapat menentukan rincian
etnis dengan menggunakan tingkat pertumbuhan historis populasi Papua.
Dengan asumsi tingkat
pertumbuhan tahunan Papua sejarah telah dipertahankan selama dekade terakhir
penduduk Papua pada pertengahan 2010(pada saat sensus dilakukan) akan
1.790.777. Hal ini setara dengan 1.790.169(49,55% ) penduduk asli Papua dari
total 2.010 penduduk Papua Barat 3.612.854. Dengan demikian penduduk non-Papua
akan menjadi 1.822.677, atau 50,45%.
Jika berangkat dari data
statitik di atas(1971-2010), maka pantaskah Papua untuk dijadikan objek
trasmigrasi sesuai program Kabinet Kerja Presiden Jokowi – dan Menteri DESA -
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Menteri Dalam
Negeri(Mendagri). Dengan jumlah penduduk yang semakin minoritas dari tahun
ketahun, dengan laju pertumbuhan penduduk yang kurang dari asas kewajaran? Hal
ini tentu akan memperparah nasib dan keadaan orang Papua, dengan semakin
termarginalnya orang asli Papua di atas tanahnya sendiri.
Di samping orang Papua belum
siap untuk bersaing secara ekonomi akibat dimanjakannya orang Papua terhadap
gelontoran triliunan dana Otsus serta UP4B. Dan juga bidang Sosial Politik,
khususnya pada wilayah yang merupakan objek Besar transmigrasi, semisal Merauke,
dimana dari 28 kursi yang tersedia dalam pemilihan DPRD kabupaten Merauke,
Orang Asli Papua hanya mendapat 3 kursi. Dan Wilayah transmigrasi di Kabupaten
Keerom, dari 25 anggota DPRD, 23 kursi dikuasai kaum migran dan hanya 2 kursi
DPRD diduduki orang asli Papua. Ini menjadi bukti nyata bahwa memang orang
Papua sedang termarginal dalam semua bidang atas tanahnya sendiri, baik pada
parlemen maupun birokrasi
Kita lihat daerah transmigrasi
Merauke atau Keerom yang manusia aslinya telah tergeser dalam berbagai
persaingan, khususnya ekonomi dan politik. Manusia-manusia yang kini menjadi
penonton atas tanahnya sendiri. Selain itu, berangkat dari jumlah penduduk
Papua pada tahun ini. Data Badan Pusat Statistik(BPS) Provinsi mencatat bahwaJumlah
pengangguran di Provinsi Papua pada Agustus 2014 mencapai 57 ribu lebih orang
atau 3,44 persen dari total angkatan kerja(tabloidjubi.com, 05/11).
Dan tentu akan diperparah
lagi dengan isu akan ditambahkannya jumlah transmigrasi setiap triwulannya
sebanyak 50.000 jiwa pada tahun 2015 nanti. Yang akan memperparah angka
pengangguran, dengan melihat para transmigran merupakan kelompok yang belum
memiliki pekerjaan. Logikan, misalkan 50.000 jiwa yang di datangkan ke Papua
adalah penganggur, maka 50.000 + 57.000 = 107.000 jiwa. Dan bagaimana jika
dalam setahunnya, yang terhitung 50.000(4) + 64.843 Jiwa = 264.843 jiwa
penganggur pada akhir 2015 nanti. Dan tentu masalah social baru akan muncul
lagi. Hal ini juga akan lebih memperparah nasib orang Papua, di mana kelompok
transmigran ini merupakan kelompok yang terlatih dan siap bersaing pada segala
bidang.
3.
Industri (Investor Asing)
Dalam rangka mencapai target ekonomi Global, maka semua Negara bersatu guna
menjamin setiap kesejahteraan antar Negara dengan cara menjalin kerjasama baik
bilateral maupun multilateral. Papua menjadi salah satu daerah yang di jadikan
target dalam pasar bebas Asean 2015, di mana semua jalur ekonomi dapat di akses
secara bebas tanpa ada hambatan, selain Jokowi(Pemerintah) yang dengan bebas
dan santainya mempersilahkan Para Invetor Asing untuk datang dan merauk semua
kekayaan yang ada di Indonesia, demikianya Papua. Bagaimana tidak, dalam
presentasenya, Jokowi memaparkan semua daerah dengan keunggulannya Sumber Daya
Alamnya masing-masing, yang dalam akhir prsentasinya mendapat sambutan tepuk
tangan yang meriah dari para delegasi yang hadir hingga kepopulerannya mampu
mengalahkan si nomor 1(satu) dari Amerika Serikat Barack Obama.
Bagaimana nasib
masyarakat adat yang mendiami bumi Cenderawasih ini nantinya, jika 2015 Papua
tetap di paksakan menjadi target Pasar Bebas 2015? Kita
lihat kasus Freeport Indonesia, yang terjadi banyak pelanggaran HAM yang belum
terselesaikan hingga sekarang. Seorang ahli antropologi Australia, Chris
Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail
Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika
Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah
dibunuh oleh militer antara tahun 1975–1997
di daerah tambang dan sekitarnya (wetspapua.webs.com). Bahkan
30 kasus pelanggaran HAM di wilayah Freeport Indonesia pada era Otonomi Khusus(www.aldp-papua.com).
4. KODAM dan POLDA Papua
Barat
14.842 ribu personel TNI di
Papua(tabloidjubi.com,
08/12) , berarti di perkirakan 1 aparat TNI(3 Amunisi) menguasai 1 orang
dari total 1.790.169 jiwa penduduk asli Papua. Terlepas dari jumlah aparat yang
di tugaskan di daerah perbatasan RI-PNG, khusus Merauke yang diperkirakan
jumlah personel hampir 750an personel, berarti jumlah aparat TNI yang sama akan
beredar pula di wilayah perbatasan Keerom, total 1500an aparat yang bertugas
pada daerah perbatasan tersebut. Dengan demikian banyaknya jumlah aparat TNI
yang beredar dalam wilayah Papua, sudah tentu Potensi Pelanggaran HAM akan
terus meningkat. Coba bayangkan 1 KODAM saja telah memicu banyak pelanggaran
HAM, bagaimana jika KODAM Papua Barat di sahkan? Belum lagi dari 1 KODAM saja
telah banyak memunculkan Zeni Tempura tau Batalyon yang bertumbuh bak jamur di
wilayah Papua.
Dan juga terkait Polda Papua
Barat yang sudah pasti akan di sahkan oleh Polri pada 19 Desember nanti(Cenderawasihpos, 21/11),
padahal jumlah aparat kepolisian telah mencapai 14 ribu yang tersebar di 29
Kabupaten/kota di Papua(http://tabloidjubi.com, 1/1). Dengan demikian jumlah aparat
TNI/POLRI di wilayah Papua, setidaknya bisa mencapai 30.000 personel. Bagaimana
nantinya KODAM dan POLDA Papua Barat di bentuk dan di sahkan? Benarkah orang
Papua ini bagian dari Negara ini ataukah musuh Negara? Sehingga aparat begitu
banyak dalam menjamin keamanan di Papua. Jika ya. Tepatlah jika dikatakan
TNI/POLRI menggunakan pendekatan kekerasan sehingga benarlah kata Pendeta Benny
Giay Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua bahwa "Papua
zona darurat, intervensi lembaga-lembaga Internasional seperti PBB harus segera
datang, karena pemerintah dan aparat TNI/Polri tak mampu menyelesaikan
kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua,".
Namun jika tidak, data di atas adalah buktinya.
Dan dari pandangan di atas
harapannya Jokowi tidak lagi menggunakan kata “Itu
Bukan Urusan Saya” – Seperti yang ramai di perbincangan media Sosial twitter atau
dalam pembahasan kata itu(“Itu Bukan Urusan Saya”),
dalam dialog TvOne – Negara ½ Demokrasi, beberapa Minggu lalu. Dan juga sebaik
masalah-masalah di Papua dapat terselesaikan dengan segera, sebab jika tidak
Negara ini yang sendiri akan mempersilahkan Papua untuk lepas dari bagian
integralnya(seperti kata Gembala Baptis Maranatha saat Orasi di Halaman
DPRP, dalam aksi spontan Mahasiswa SPP Paniai, 09/12), atau
keraguan-raguan nasib bangsa Papua kedepannya (bagian integral) seperti yang di
utarakan Menteri Susi Pudjiastuti(www.kompas.com,
09/12), serta benarlah kata Jack Rumbiak: cepat atau lambat Papua pasti
Merdeka(www.merdeka.com,
05/09).
Demikian opini singkat ini,
yang mungkin miris bagi sebagian orang. Namun harus di ketahui bahwa sampai
sekarang ini, nasib dan keadaan orang Papua adalah kenyataan.
Lilin Natal itu meredup, Damai
Natal itupun hilang. Makna yang sesungguhnya kau bisa rasakan. Jika kau
meresapi semua peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi atas tanah Papua.
Selamat Merayakan Damai itu!
“Jangan Takut Katakan
Benar, Kalau Itu Benar. Dan Jangan Takut Katakan Salah, Kalau Itu
Salah.”
(Tokoh Pejuang dan
Budayawan Papua, Alm. Arnold Clemens Ap)
Oleh Samuel Womsiwor
0 komentar:
Posting Komentar