Koalisi Masyarakat Sipil Papua, Dewan Adat Daerah Paniai, Sinode Kingmi Papua dan Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua, saat Jumpa Pers (Jubi/Arnold Belau) |
Jayapura,
Jubi – Koalisi Masyarakat Sipil Papua, Dewan Adat Daerah Paniai, Sinode Kingmi
Papua dan Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua menilai, polisi sedang menutupi
fakta yang sesungguhnya terjadi dalam insiden penembakan di Paniai, 8
Desember 2014 lalu, dengan isu-isu lain.
Ketua Dewan Adat Daerah Paniai, Jhon NR Gobay mengatakan,
sesungguhnya aparat telah melakukan satu tindakan brutal. Tindakan aparat
nyaris seperti perlakuan terhadap buronan penjahat besar atau teroris yang
mengancam negara.
“Selama saya pimpin DAP daerah Paniai, ini adalah satu perlakuan
yang luar biasa. Yang lebih gila lagi, penembakan ini dilakukan terhadap
anak-anak sekolah. Generasi penerus bangsa ini. Ini sangat brutal,” tegas
Gobay.
Gobay menuntut polisi tidak menutup-tutupi fakta dengan mengalihkan
isu ke isu-isu yang tidak jelas.Hal ini ditegaskan Gobay kepada wartawan,
saat jumpa pers di kantor Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Selasa (9/12)
di Padang Bulan, Jayapura, Papua.
Sementara itu, koordinator Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), Peneas
Lokbere mengatakan, aparat gabungan TNI/Polri telah melakukan tindakan brutal.
“Yang menjadi pertanyaan, kenapa aparat tidak tangkap saja. Tapi ini
langsung tembak secara membabi buta, dengan niat memang untuk
menghabiskan nyawa,” katanya.
Menurut Lokbere, selama ini, berkaitan dengan berbagai kasus yang
dilakukan oleh aparat TNI/Polri di tanah Papua belum pernah mendapat efek jera.
Sehingga tindakan-tindakan brutal akan mereka lakukan kapan saja.
Di tempat yang sama, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Papua,
Victor Mambor mengatakan, dalam hal ini, sejak terjadi peristiwa sampai saat
ini, polisi terkesan menutupi fakta yang sebenarnya.
“Sehingga sengaja polisi mengaburkan fakta dengan isu-isu yang
polisi sendiri ciptakan. Sangat sulit untuk mendapatkan informasi kronologis
yang jelas. Bisa jadi, ini upaya yang dilakukan untuk menghilangkan fakta yang
sebenarnya,” katanya.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura ini, polisi
semestinya lebih profesional dalam memberikan informasi untuk kepentingan media
massa karena polisi memiliki sumberdaya informasi yang memadai.
“Menurut saya, sudah bukan jamannya lagi polisi berkata : sebentar, masih
kumpul data. Sebab faktanya, polisi bisa mengumpulkan informasi tentang
seseorang yang diduga sebagai teroris. Akibatnya apa? Informasi yang beredar
simpang siur. Wartawan kemudian menggunakan sumber informasi yang bisa mereka
dapatkan secepat mungkin. Ini tuntutan media, tuntutan publik.” lanjut Mambor.
Fince Yarangga, Koordinator jaringan Kerja HAM Perempuan Papua Tiki
mengatakan, terkait kasus yang terjadi di Paniai, pihaknya telah mengirim surat
kepada presiden republik Indonesia, Joko Widodo.
“Kami sudah kirim surat ke Jokowi. Isinya, pertama: minta Jokowi
tarik militer dari Paniai dan seluruh tanah Papua. Kedua, meminta Jokowi untuk
segera duduk dengan orang Papua untuk bicara masalah yang ada,” ungkap
perempuan yang akrab disapa mama Fin ini.
Menanggapi situasi kekerasan Negara terhadap masyarakat sipil di
Enarotali, Koalisi Masyarakat Sipil Papua, Dewan Adat Daerah Paniai, Sinode
Kingmi Papua menilai dan Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua meminta agar;
Pertama, Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada keluarga korban, masyarakat
adat Paniai dan masyarakat Papua seluruhnya.
Kedua, Komnas HAM segera membentuk Komisi Penyelidik
Pelanggaran (KPP) HAM, guna mengusut tuntas perkara dugaan pembunuhan kilat di
Enarotali.
Ketiga, Kapolda dan Pangdam diminta, harus membayar ganti rugi
sesuai tuntutan dewan adat daerah Paniai.
Keempat, Kapolda dan pangdam memulihkan keamanan dan kenyamanan.
Dan yang terakhir, Pemerintah daerah provinsi Papua dan kabuapten
Paniai memberikan perawatan medis dan psikologis kepada semua korban hingga
pulih. (Arnold
Belau)
0 komentar:
Posting Komentar