Ilustrasi: TNI di depan orang asli Papua hasil tembak mereka. Foto: Ist. |
Tidak gampang
apabila kita melihat, merasa, memahami dan menyuarakan konflik Papua sebagai
suara kemanusiaan. Karena memahami konflik Papua, menurut penulis, adalah suatu
kegiatan akal dan hati yang paling penting dan mendesak. Juga merupakan
panggilan luhur dari Sang Pencipta.
Sebagai anak
Papua, saya tidak bisa melarikan diri dari realitas masalah Papua. Saya
dikatakan bukan anak Papua jika saya menutup diri atau melarikan diri dari
realitas hitam ini. Maka, lahirlah ada satu pemahaman yang menarik buat kita
bahwa setiap orang Papua baik orang asli Papua maupun non Papua secara otomatis
masih tetap berada dalam konflik sekalipun kadar adanya bisa saja ditafsirkan
secara berbeda-beda.
Menurut perspektif antropologis Papua telah memperlihatkan secara eksplisit bahwa dalam situasi konflik, ilmu pengetahuan merupakan jalan tengah yang memudahkan kita untuk dapat merumuskan bentuk-bentuk kekerasan yang gencar menimpa atas rakyat di Papua. Secara hakiki, ilmu antoropologi telah menunjukkan makna konflik kepada setiap kita yang hidup di Papua.
Menurut perspektif antropologis Papua telah memperlihatkan secara eksplisit bahwa dalam situasi konflik, ilmu pengetahuan merupakan jalan tengah yang memudahkan kita untuk dapat merumuskan bentuk-bentuk kekerasan yang gencar menimpa atas rakyat di Papua. Secara hakiki, ilmu antoropologi telah menunjukkan makna konflik kepada setiap kita yang hidup di Papua.
Dalam tataran
konseptual ini, penulis harus mau berani dan jujur katakan bahwa dari hari demi
hari, dan secara nyata, saya disepak jauh ke dalam realiatas Papua oleh konflik
tersebut. Konflik adalah sabahat saya. Saya hidup tanpa konflik. Karena itu,
saya ingin memperlihatkan berbagai bentuk kekerasan yang makin marak terjadi di
Papua. Oleh karena itu, sejumlah bentuk kekerasan itu harus dapat dirumuskan
dalam perspektif ilmu pengetahuan antropologi demi terciptanya kedamaian bagi
semua orang dan alam di Papua.
Lantas saja,
rakyat diadakan dalam konflik Papua. Adapun bentuk-bentuk konflik yang selalu
melilit rakyat di tanah Papua yakni: kekerasan terbuka, kekerasan kelektif,
kekerasan agresif, kekerasan defensive dan kekerasan tertutup serta kekerasan
enology. Namun dalam tulisan ini, penulis hanya menjelaskan bentuk kekerasan
kolektif.
Berdasarkan
inspirasi ilmu antrologi Papua, kekersan kolektif ialah konflik yang
terjadi secara berkelompok, kekerasan militer (gabungan TNI/Polri) yang
dilakukan secara sistematis dan terstruktural dengan menggunakan otoritas hukum
dan personil, organisasi, ideology partai oleh pemerintahan Indonesia di
Papua terhadap wilayah dan bangsa jajahan untuk membunuh masyarakat
kecil tersebut.
Kekersan
seperti ini contohnya; pembunuhan, penindasan, penjajahan dan
pembantaian serta pemerkosaan, pencuri dan marginalisasi yang dilakukan oleh
TNI/Polri terhadap rakyat di atas Tanah Papua. Papua selama lima dekade,
hidupnya tidak terlepas dari realitas konflik tersebut.
Kekerasan Terbuka
Kekerasan Terbuka
Kekerasan terbuka
telah dapat disebut sebagai kekerasan militer. Sebaliknya kekerasan militer
telah dapat disebut sebagai kekerasan terbuka. Intinya ada konflik yang
dicitakan oleh Negara melalui militer Indonesia. Di mana gabungan TNI/Polri
senantiasa melancarkan kekerasan terbuka terhadap rakyat sipil yang tidak tahu
menahu di Papua. Dalam konteks ini, Papua identik dengan budaya kekerasan militer
secara terbuka selama pemerintah Indonesia menduduki seluruh tanah Papua.
Sejak Papua
dikuasai oleh pemerintah RI 1 Maret 1963 hingga sekarang, rakyat bangsa Papua
hidup dalam budaya kekerasan dan konflik. Secara terbuka, pmerintah melalui
TNI/Polri melancarkan konflik dan kekerasan yang sangat brutal dan keji kepada
rakyat asli Papua. Banyak masyarakat mati lemas tanpa proses penuntas secara
komprehensif akibat tembakan peluru senjata Negara meskipnun rakyat tidak
pernah berbuat salah. Hukum hanya digunakan untuk menghilangkan membelah diri
bagi pihak pembunuh dan rakyat telah semakin dibiarkan hidup dari realitas alam
kematian menuju ke realitas kematian yang lebih tidak manusia lagi.
Perlu dipertegas
pula bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di mana-mana, di
tanah Papua ini tidak disangkal. Presiden Indonesia, siapapu dia, tidak
bisa mencatur bahasa dan ide-ide secara manipulatif untuk meredam atau
menghilangkan budaya konflik di Papua. Budaya konflik ini telah berakar dalam
dan bagi Papua. Tentunya, yang selalu menjadi korban pelanggaran HAM berat
adalah rakyat dan alam setempat.
Sedangkan
pemerintah dan warga non Papua bersama pemerintah Indonesia selalu menari-anari
di atas tangisan dan penderitaan rakyat asli Papua. Pelakunya tidak lain selain
pemerintah Indonesia. TNI/Porli adalah garis keras, kelompok radikalis, yang
ada di belakang, tengah dan di depan. Itu artinya dalam kondisi apapun dan
dalam berbagai cara, mereka selalu siap tempur membunuh rakyat kecil di seluruh
Tanah Papua.
Contoh konkretnya
seperti, tindakan kekerasan gabungan militer atau konflik terbuka yang
dilakukan gabungan TNI/Polri terhadap rakyat kecil di Kabupaten Paniai
Enarotali pada Minggu 7-senin 8/12/2014. Dalam peristiwa kekerasan terbuka itu,
TNI/Polri telah menembak mati 6 warga sipil dan 22 masyarakat lainnya mengalami
luka robek parah dan sangat kritis akibat tembakan peluru senjata dari Negara
RI.
Sebagaimana yang
sudah dikabarkan media massa tempo lalu. Empat dari enam korban tewas adalah
siswa SMA. Alpius Youw (17), adalah siswa SMA Yayasan Pendidikan Pelayanan
Katholik (YPPK) Enarotali, Paniai. Yulian Yeimo yang berusia 17 tahun merupakan
siswa SMA Yayasan Pendidikan Pelayanan Gereja Indonesia (YPPGI), Enarotali,
Paniai. Simon Degei (18), tercatat sebagai siswa di SMA Negeri 1, Paniai Timur,
Enarotali, Paniai dan Alpius Gobai (17), siswa SMA Negeri 1, Paniai Timur,
Enarotali, Paniai. Sedangkan satu korban tewas lainnya adalah Abia Gobai (28),
petani dari Enarotali yang meninggal setelah dibawa ke RSUD Madi, Paniai. Kita
telah rugi dan semakin berduka parah dengan ditembaknya keenam generasi bangsa
ini. Ini sudah otaknya militer Indonesia.
Ketika konflik ini
terjadi, banyak masyarakat sudah mulai mengungsi di hutan-hutan. Situasi
langsung jadi panik, kecam dan sangat menggelisahkan warga setempat. Hingga
sekarang, menurut pihak korban, konflik masih menimpa atas rakyat di Paniai.
Dikabarkan lagi bahwa setelah 6 warga lainnya ditembak mati oleh TNI/Polri,
sejumlah warga yang sedang berobat di rumah sakit Daerah Madi itupun meninggal
dunia karena tidak dapat tertolong lagi secara medis.
Konflik ini
sebenarnya sudah hal barus dan sudah terjadi sejak 1960-an. Banyak masyarakat
biasa menceriterakan pengalam konfliknya dari militer Indonesia. Kepada pemerhati
kemanusian, rakyat bisa menceriterakan dengan symbol-simbol dan sambil
menunjukkan pohon, tempat di mana saudaranya ditembak. Ada warga yang bisa
menceriterakannya dengan sabil menunjuk danau, kali atau juran sebagai tempat
di mana suami, istri atau anaknya dibunuh bagaikan hewan. Dan Budaya ini masih
kuat bagi Papua sekarang seperti yang kita telah alam bersama selama ini.
Mungkin banyak
warga akan ditembak mati lagi hanya jika pemerintah sendiri tidak mau
mengakhiri budaya tindakan kekerasannya sendiri di Papua. Motif kekerasan
terbuka seperti ini sudah tergolong sebagai HAM berat yang
dilakukan oleh TNI/POLRI.
Ketika penulis
memahami budaya konflik di Paniai, seperti semua peristiwa pelanggaran
kemanusiaan sebelumnya, banyak orang terutama TNI/Polri selalu menjustifikasi
fakta objektif. Pemerintah terutama TNI/Polri selalu berusaha membentuk isu-isu
yang beriklim manipulasi, membolak-balikan fakta dan mereka selalu berusaha
membenarkan diri dengan alasan keamanan tanpa memahami arti, makna dan tujuan
keamanan itu sendiri. Para penegak hukum telah semakin tidak tegas dalam
memahami, menjelaskan dan menuntaskan berbagai konflik ini.
Bahkan hukum sudah
kembali pada titik nol sekali pemerintah mengakui diri sebagai Negara hukum.
Sementara itu, para wartawan di Papua juga mengalami keraguan dan kegilasahan
karena pemerintah termasuk TNI/Polri tidak memberikan fakta yang sesungguhnya
terjadi atas konflik yang menimpa warga sipil di Paniai. Akibatnya, masalah
tidak selesai. Semua pihak secara sengaja tidak mendalami siapa yang sebenarnya
pelaku dan siapa yang sebenar korban dari masalah serta apa penyebab utamanya.
Berdasarkan
pengalaman sejarah, saya melihat bahwa Gabungan TNI/Polri adalah pelaku utama
atas peristiwa kemanusiaan tersebut. TNI 753 dari batalion Nabire yang
ditugaskan di sana dan Polisi setempat itulah yang telah menewaskan 6 warga
sipil yang tidak bersalah dan puluhan warga sipil lainnya telah mengalami luka
kritis, bahkan ada banyak yang meninggal akibat peluru senjata Negara dan tidak
sanggup ditolong secara medis oleh pelayan kesehatan.
Penyebab utama
dari semua konflik itu, menurut saya, rakyat ditembak karena mereka ini tidak
disukai oleh pemerintah Indonesia. Rakyat ditolak, tidak diakui dan tidak
diterima sebagai warga RI secara totoal. Mereka malah dianggap musuh Negara,
seperatis yang selalu melawan keutuhan Negara RI. Padahal mereka ini manusia
asli Papua secara seratus persen, warga Gereja dan warga Negara Indonesia
secara seratus persen. Mereka inilah yang selalu bekerja dan berburu nilai
kebenaran dan suasana hidup kedamaian. Tapi mereka tetap digolongkan sebagai
musuh negara. Seharus persoalan ini harus dapat diselesaikan dengan jalan
damai, jalan tanpa kekerasan.
Dengan mengalami
konflik terbuka ini, seluruh masyarakat Papua meminta Presiden Indonesi
Joko Wijdodo harus segera tanggungjawab atas peristiwa kemanusiaan yang terjadi
secara brutal di Paniai Enarotali Papua tanggal 7-8 Desember, 2014.
Tidak hanya itu,
pemerintah juga harus bertanggung jawab atas semua kekerasan dan konflik yang
telah lama menewaskan dan menembak mati rakyat asli Papua di negerinya sendiri.
Termasuk kasus Dortheys Hiyo Eluay dan Aristoles Masoko, karena semua ini sudah
merupakan kekerasan terbuka dan pelanggaran HAM berat.
Tapi semua konflik
Papua dalam segala aspek dapat dituntaskan secara konprehensif hanya apabila
kita semua memikirkan, merumuskan dan menemukan solusi komprehensif. Solusi
komprehensi ini telah mesti berpotensi secara pasti untuk terciptanya
kedamaian, yang telah menjadi tujuan utama dari sejarah perjuangan panjangan
orang Papua tersebut. Damai ini tentunya merupakan dambaan dan harapan bersama
baik pembunuh maupun yang terbunuh. Maka pemerintah RI terutama Presiden Jokowi
sudah saatnya membuka diri untuk melakukan DIALOG JAKARTA-PAPUA dengan rakyat
Papua DEMI TERCIPTANYA PAPUA, TANAH DAMAI.
Demi menciptakan
Papua sebagai Tanah damai, Dialog Jakarta-Papua telah harus dipilih dan
disepakiti sebagai jalan yang penting dan mendesak. Karena damai itu hanya kita
dapat merebutnya melalui dialog Jakarta-Papua. Di luar dialog tidak ada
kedamaian bersama.
Dengan dialog,
pemerintah bisa duduk bersama-sama dengan rakyat Papua, bisa menginditifikasi
penyebab-penyeb konflik Papua, bisa saling menganalisis dan menemukan serta
menetapkan solusi-solusi yang dapat memuaskan antara kedua belah pihak yang
berkonflik dan bermasalam selama ini.
Oleh karena itu,
dialog Jakarta-Papua yang telah berproses selama ini harus bisa dilaksanakan
segera kerena itulah solusi komprehensif antropologis
Papua-Jakarta-Internasional untuk membangun Papua secara damai, adil dan jujur
dari budaya kekerasan dan konflik menuju keotentikan kehidupan Papua, bukan
lagi kita hidup dari kematian menuju kematian tanpa bicara. Bicara sudah.
Agustinus Tebay adalah Mahasiswa UncenFakultas
Fisip.
0 komentar:
Posting Komentar