Jenazah korban penembakan aparat keamanan di Enarotali, Paniai, 8 Desember 2014 (majalahselangkah.com) |
Jayapura,
Jubi – John Gobay meminta pihak Jakarta untuk tidak menggampangkan persoalan
yang terjadi di Papua, terutama insiden penembakan di Paniai yang menewaskan
lima orang.
“Kapan
Menkopolhukam ada datang bikin bakar batu dengan TNI, Polri dan Masyarakat di
sini (Paniai)? Tidak betul itu. Yang terjadi adalah Bupati Paniai memberikan
bantuan kepada keluarga korban. Memangnya Bupati yang tembak lima orang itu
kah?” tanya John Gobay, Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, saat dihubungi
Jubi, Selasa (16/12).
Menurut
Ketua Dewan Adat Paniai yang masih berada di Paniai saat ini,
Menkopolhukam, Tedjo Edhy Purdijatno, jangan memberikan pernyataan yang
tidak jelas kalau tidak tahu apa yang terjadi di Paniai, seperti pernyataannya
di beberapa media nasional, Selasa (16/12).
“Saya
tegaskan, tidak ada bakar batu sejak insiden penembakan itu terjadi. Di sini,
kami punya peradilan adat untuk selesaikan masalah ini,” tambah Gobay
Gobay
menegaskan, masyarakat Paniai belum menyampaikan tuntutan mereka kepada
Menkopolhukam, Panglima TNI maupun Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
bagaimana bisa sudah ada penyelesaiannya?
“Kasus
penembakan ini belum selesai. Kami minta Menkoplhukam ikut mendorong
dibentuknya tim pencari fakta dan KPP HAM daripada memberikan pernyataan yang
beliau sendiri paham.” ujar Gobay.
Menurut
Gobay, ia telah bertemu dengan Bupati Paniai, Hengki Kayame. Dalam pertemuannya
itu, Bupati minta agar semua pihak tidak saling menyalahkan, namun perlu dicari
siapa aktor utama kasus penembakan. Semua pihak dipersilahkan termasuk pihak
LSM dan gereja utk mengusut kasus Paniai, Senin 8 Desember lalu.
“Tanggapan
bupati, ini (penembakan di Paniai) adalah sebuah tindak kriminal dan
pelanggaran HAM berat terhadap anak sekolah dan masyarakat sipil di Paniai,”
kata Gobay, menjelaskan pernyataan Bupati Paniai.
Terpisah,
ketua DPR Papua terpilih, Yunus Wonda, menanggapi pernyataan pihak Kepolisian
yang menolak disudutkan dalam kasus penembakan di Paniai, mengatakan pihaknya
tidak menyudutkan aparat keamanan, namun hanya mengingatkan agar lebih
mengedepankan pendekatan persuasif. Tidak dengan cara yang bisa membuat
jatuhnya korban jiwa.
“Kalau
ada tanggapan yang menyebut TNI dan Polri disudutkan, kami tidak menyudutkan.
Hanya mengingatkan agar bertindak profesional. Senjata kan alat negara. Bukan
untuk membunuh rakyat. Aparat keamanan kan untuk melindungi rakyat. Masyarakat
berharap aparat bisa melindungi mereka,” kata Yunus Wonda, Selasa (16/12).
Namun
menurutnya, kini kondisi terbalik. Kehadiran aparat keamanan justru membuat
masyarakat Papua trauma. Trauma yang ada sejak tahun 60-an itu, terbawa hingga
kini.
“Harusnya
bagaimana membuat masyarakat Papua hingga ke pelosok agar mencintai aparat
kemanan polisi dan TNI. Jangan justru membuat mereka takut. Jadi kami tidak
menyudutkan aparat keamanan,” ucapnya.
Politisi
Partai Demokrat itu juga menyarankan, agar selalu dilakukan pergantian atau
roling untuk aparat keamanan yang bertugas di daerah, guna menghindari rasa
jenuh anggota yang bisa berpengaruh pada psikologi mereka.
“Kalau
datang melindungi orang Papua, buktikan seperti Apa. Harusnya bagaimana membuat
orang Papua mencintai bangsa ini. Selama ini setiap peristiwa selalu katakan
barang bukti amunisi dikirim ke pusat untuk mengetahui jenis amusi. Tapi sampai
kini tidak diketahui siapa pemilik amunisi itu,” kata Wonda. (Arjuna Pademme)
Sumber: tabloidjubi.com
0 komentar:
Posting Komentar