Tahanan Politik |
Pada akhir bulan May 2014, setidaknya terdapat 76 tahanan
politik di penjara Papua.
Penggunaan senjata api tidak sesuai dengan prosedur oleh kepolisian
Indonesia terus menimbulkan ancaman serius bagi keselamatan orang Papua.
Kematian pekerja hak asasi manusia Pendeta Ekpinus Magal dan cedera berat yang
dihadapi oleh tiga orang penduduk setempat di Moanemani, Timika (lihat
dibawah), sebagai akibat kurangnya pengendalian diri diantara polisi di Papua.
Penggunaan kekuatan yang berlebihan menunjukkan kurangnya pelatihan dan
kesadaraan kewajiban di bawah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan
Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh
Petugas Penegak Hukum. Impunitas yang seringkali mengikut tindakan kekerasan
terdapat di pelbagai satuan kepolisian di Papua, dari Brigades Mobil (Brimob)
ke Polsek dan Polres.
Beberapa kejadian bulan ini memunculkan adanya
keterlibatan korporasi dalam pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Penangkapan dan pemecatan dua orang yang terlibat dalam protes mengenai tenaga
buruh menentang majikan mereka, PT Tandan Sawita Papua, sebuah perusahaan
perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kerom, menunjukkan bahwa pekerja-pekerja
yang menggunakan hak mereka untuk berkumpul secara damai dan berekspresi
dihukum berat. Mengingat kurangnya komitmen perusahaan kepada
janji-janji masa lalu untuk memperbaiki infrastruktur setempat dan memberikan
kompensasi yang memadai, analis HAM setempat mempertanyakan niat
penandatanganan mereka kepada UN Global Compact. Pekerja HAM juga mempersoalkan
peran perusahaan tambang tembaga dan emas PT Freeport Indonesia dalam konflik
yang sedang terjadi di Timika yang mengakibatkan meningkatnya kematian. Laporan
setempat menunjukkan bahwa kurangnya persetujuan, prioritas dan pemberitahuan
dari pemilik tanah adat adalah factor besar dalam konflik tersebut, memberi
sinyal pertanggungan jawab korporasi dalam kerusuhan yang sedang terjadi.
Mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN)
terus menjadi target oleh pihak berwenang universitas dan kepolisian Jayapura.
Samuel Womsiwor ditangkap bulan ini dan tetap ditahan, dilaporkan dibawah
perintah Pembantu Rektor Tiga UNCEN. Seperti mantan tahanan politik dan
temannya mahasiswa UNCEN Yason Ngelia,
Womsiwor adalah bagian dari mahasiswa kritis pada umumnya yang dijadikan target
untuk penangkapan, gangguan dan intimidasi. Selama beberapa bulan terakhir,
mereka menyampaikan dengan damai tentang isu-isu penyusunan rancangan
undang-undang Otsus Plus yang tidak sesuai dengan prosedur, tahanan politik dan
dialog Jakarta-Papua, dimana selalu berhadapan dengan intimidasi, penganiayaan
dan juga penyiksaan oleh polisi.
Di Merauke, ditetapkannya penahanan dua aktivis KNPB, interogasi
kepada Kepala suku Maklew dan laporan penyiksaan dua orang bulan ini
memberi kesan memburuknya lingkungan dari terror dan pengawasan.
Penangkapan
STEVEN ITLAY DITANGKAP
DI TIMIA: KONFLIK YANG BELUM TERSELESAIKAN MELANGGENGKAN KERUSUHAN DAN
PENANGKAPAN
Konflik terus-menerus di Timika yang timbul
pada awal Februari 2014 di antara suku Moni, Amungme dan Mee di satu sisi dan
suku Dani dan Damal di sisi lain telah mengakibatkan penangkapan massal dan
beberapa kematian. Artikel Majalah
Selangkah tanggal 18 Maret melaporkan kematian enam orang akibat konflik
tersebut dan dua kematian oleh karena penggunaan kekuatan yang berlebihan
oleh polisi. Sebuah lagi artikel,
diterbitkan pada 1 Mei 2014, melaporkan kematian setidaknya delapan lagi orang,
dengan kematian satu orang oleh karena penembakan polisi. 23 orang dilaporkan ditahan
pada 28 April. Karena kurangnya informasi yang akurat, masih tidak jelas
beberapa orang sudah ditangkap atau terbunuh dalam rangkaian konflik sejauh
ini.
Pada 12 Mei 2014, 07:15 waktu Papua, Steven Itlay,
ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika, dan kawannya Elimas Selopele, ditahan dan diinterogasi selama satu
jam di pelabuhan Jayapura oleh Aparat Kepolisian (Pos Kesatuan Penjagaan dan
Pengamanan Pelabuhan Laut (Pos KP3 Laut). Ketika ditanya alasan dibalik
penahanan mereka, menurut laporan polisi Itlay tersangka beberapa kegiatan
sebagai aktivis pro-merdeka. Enam hari sebelumya, pada 6 Mei, Itlay
mengeluarkan pernyataan bahwa
mendesak Freeport juga bertanggungjawab dalam konflik yang terus terjadi dan
mengkritis pihak kepolisian yang bukan saja gagal dalam mencari solusi tapi
juga membiarkan konflik untuk terus terjadi. Itlay memiliki latar belakang
mempunyai aktivitas politik damai dan di Oktober 2012, dia ditangkap bersama
dengan lima anggota KNPB lainnya dan dipenjara untuk delapan bulan dibawah
Pasal 106 KUHP untuk makar, mengikut keterlibatannya dalam demonstrasi damai.
Aktivis setempat telah mengkritik tindakan
polisi terhadap konflik tersebut sebagai berlebihan. Markus Haluk, aktivis HAM
Papua, menyatakan di
Jubi bahwa kematian pembela HAM Pendeta Ekpinus Magal adalah akibat
penyalagunaan senjata api oleh polisi. Magal adalah Kepala divisi HAM di
Yayasan Hak Asasi Manusia dan Anti-Kekerasan (Yahamak), sebuah LSM setempat.
Haluk melaporkan bahwa pada tanggal 12 Maret, Magal sedang mengumpulkan data di
daerah konflik dengan berdiri jauh dari tempat aksi dan mengambil gambar
dan catatan, ketika polisi melepaskan tembakan. Magal ditembak di dada dan
tewas seketika itu juga. Menurut Haluk, pernyataan polisi bahwa Magal melawan
anggota aparat keamanan adalah tidak benar dan juga bahwa orang yang terlibat
dalam konflik tersebut tidak menyerang atau mengarahkan panah mereka
kepada polisi.
Konflik ini telah mengakibatkan kerusuhan
meluas di Timika, dengan 11 gereja dilaporkan ditutup
dan kehadiran militer semakin hari meningkat di daerah tersebut,
menyebabkan ketidakstabilan lebih lanjut. Kelompok masyarakat sipil dan
individu terkemuka seperti Mama Yosepha Alomang, direktur Yahamak dan Asosiasi
Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) telah meminta Gubernur
Papua dan pihak kepolisian untuk menemukan cara untuk menyelesaikan konflik
ini. Pada tanggal 21 May, para demonstran di Timika juga meminta korporasi
besar tambang tembaga dan emas PT Freeport Indonesia untuk terlibat dalam
penyelesaian konflik tersebut.
Laporan dari
sebuah website setempat menyatakan bahwa konflik tersebut disebabkan karena
pembangunan sebuah jalan raya dari Timika ke Wagete, yang menyambungkan Paniai
dan Nabire, yang terjadi tanpa adanya persetujuan, prioritas dan pemebritahuan
dari pemilik tanah adat dari beberapa suku yang bersangkutan. Sementara
beberapa suku setuju terhadap pembangunan jalan raya tersebut, ada di antara
mereka yang tidak, yang mana ini dilaporkan memunculkan konflik tersebut.
TIGA MAHASISWA UNCEN DITANGKAP DIBAWAH PERINTAH PIHAK
UNIVERSITAS
Pada tanggal 15 Mei 2014, tiga mahasiswa dari
Universitas Cenderawasih (UNCEN) ditangkap oleh polisi Jayapura mengikut
laporan yang diajukan terhadap mereka oleh Feddy Sokoy, Pembantu Rektor Tiga
UNCEN. Samuel Womsiwor dan Marsel Demotekai ditangkap di sekretariat Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sementara
Stepanus Payokwa ditangkap di asrama di kampus Waena. Ketiga mahasiswa itu
dibawa ke Polres Jayapura. Demotekai menyatakan bahwa
walaupun polisi tidak menganiaya mereka, mereka ditangkap tanpa adanya surat
perintah penangkapan. Majalah Selangkah melaporkan bahwa
pada saat penangkapan, polisi juga mencari pemimpin mahasiswa dan mantan
tahanan politik Yason Ngelia, dan mahasiswa lain juga, yang menghadapi tuduhan serupa atas pengrusakan harta
benda kampus.
Demoketai dan Payokwa dibebaskan beberapa hari
kemudian pada tanggal 19 Mei. Menurut laporan terbaru,
Samuel Womsiwor masih ditahan tetapi tidak jelas pasal apakah yang dikenakan.
Womsiwor pernah menjadi target penangkapan polisi sejak November lalu. Pada 7
November 2013, dia ditangkap bersama dengan 14 orang lain, termasuk pemimpin
mahasiswa dan mantan tahanan politik Yason Ngelia,
pada saat demonstrasi memprotes ketidaktransparan pembuatan draft RUU Otsus
Plus. Semua yang ditangkap, kecuali Ngelia, dibebaskan selepas mereka dipaksa
oleh pihak kepolisian, seperti diminta oleh Rektor UNCEN, untuk menandatangani
pernyataan dengan janjian untuk berhenti melakukan demonstrasi khususnya di
kampus. Pada tanggal 24 April, Womsiwor juga dipanggil oleh polisi sektor kota
Jayapura bersama dengan teman mahasiswa Benny Hisage untuk memberikan kesaksian
berkaitan dengan laporan pemukulan aparat keamanan semasa demonstrasi pada
tanggal 2 April di mana polisi melepaskan 11 tembakan dan dua mahasiswa
ditangkap dan disiksa. Pengacara HAM menyatakan aksi ini aksi politik untuk
mengintimidasi mahasiswa.
Sedangkan polisi resor kota Jayapura
menyatakan bahwa tiga mahasiswa itu ditangkap karena merusak harta benda kampus
pada 13 Mei, wakil mahasiswa memberitahukan Jubi bahwa penangkapan mereka
adalah karena ketidaksepakatan internal mengenai Ketua BEM FISIP yang baru
dilantik. Pihak universitas dilaporkan campur tangan dan melantik pilihan
mereka sebagai ketua BEM. Mahasiswa mengkritik pelantikan tersebut tidak
mengikuti prosedur dan menyatakan kekecewaan mereka atas keputusan Pembantu
Rektor untuk melibatkan polisi. Ketua BEM FISIP sebelumnya, mantan tahanan
politik Yason Ngelia,
ditahan untuk tiga bulan karena peranannya dalam memimpin demonstrasi damai
mahasiswa. Pada 19 Mei, mahasiswa UNCEN melakukan demonstrasi di kampus
memanggil pihak universitas untuk menghentikan penyelidikan terhadap Womsiwor
dan untuk membebaskannya tanpa syarat.
DUA ORANG DIPECAT DAN DITANGKAP DI ARSO SELEPAS
MENDEMONSTRASI MENENTANG PERUSAHAAN KELAPA SAWIT
Laporan diterima oleh Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan
Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC) Jayapura menyoroti penangkapan Alexander Tnesi
dan Marthen Watory mengikut keterlibatan mereka dalam demonstrasi menentang
perusahaan kelapa sawit PT Tandan Sawita Papua, yang beroperasi di distrik Arso
Timur di Kabupaten Kerom. Kedua orang yang bekerja untuk perusahaan tersebut,
juga dipecat tanpa menerima surat peringatan terlebih dahulu.
Dalam laporan SKPKC tersebut, Tnesi menyatakan bahwa pada tanggal 25
Januari 2014, pekerja melakukan demonstrasi menentang PT Tandan Sawita Papua,
meminta kenaikan upah sejalan dengan upah minimum provinsi di Papua, serta
memprotes pengurangan hari kerja dari enam hari seminggu ke ke empat hari, dan
kemungkinan penurunan yang cukup besar dalam upah bulanan dengan mengakhiri
bayaran untuk hari libur. Oleh karena tidak adanya tanggapan dari
perusahan, para pekerja memutuskan untuk melakukan demonstrasi ke kantor
Bupati di Arso, tetapi dihenti oleh polisi dari Polres Arso yang
membubarkan para demonstran.
Dua bulan kemudian, Tnesi dan Wartor menerima panggilan untuk
melapor ke polisi, dilaporkan dibawah tuduhan mereka berdua mengancam
pekerja PT Tandan Sawita Papua pada saat demonstrasi pada 25 Januari itu.
Wartory ditangkap pada 6 April dan Tnesi ditangkap dua hari kemudian. Mereka
berdua dibebaskan pada 26 April, hanya selepas mereka dipaksa untuk menulis dan
menandatangani pernyataan yang didikte oleh seorang anggota polisi. Pernyataan
itu menetapkan bahwa kedua tahanan akan dipecat oleh perusahan dan tidak akan
membuat tuntutan lebih, atau mereka akan menghadapi proses hukum kalau mereka
terus berbuat demikian.
Dalam laporan tentang PT
Tandan Sawita Papua, SKPKC mengkritik kelalaian PT Tandan Sawita atas
perjanjian untuk memperbaiki infrastruktur yang sangat diperlukan di daerah
itu, seperti transportasi, kesehatan, sanitasi dan pendidikan. Perusahan
dilaporkan gagal dalam memberikan kompensasi yng sesuai kepada masyarakat adat
atas tanah yang digunakan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit.
DUA AKTIVIS KNPB DITANGKAP DI MERAUKE
Pada 24 Mei 2014, Ferdinandus Blagaize dan
Selestinus Blagaize, dua aktivis KNPB dari distrik Okaba di Kabupaten Merauke
ditangkap oleh Polsek Okaba. Aktivis setempat melaporkan bahwa kedua aktivis
ditangkap karena mereka memiliki dokumen terkait dengan isu referendum dan
buku-buku tentang sejarah Papua yang dimaksudkan untuk sebuah acara sosialisasi
di kampong asal mereka di Okaba. Mereka berdua masih ditahan di Polsek
Okaba dan belum jelas dakwaan apa yang mereka menghadapi.
KEPALA SUKU MAKLEW DITANGKAP
Aktivis setempat melaporkan penangkapan Elias Moyuwen,
Kepala Parlemen Rakyat Suku Maklew pada tanggal 28 Mei 2014. Dia ditangkap di
rumahnya di kampung Kimam di Distrik Kimam, Kabupaten Merauke oleh aparat
keamanan dari Komandan Rayon Militer (Danramil). Aparat keamanan menyita sebuah
laptop, tiga flash disks dan sebuah dokumen dari Komite Seminar Dekolonisasi
yang diadakan di Nadi, Fiji. Moyuwen dibawa ke Polsek Kimam dan diinterogasi
selama satu jam. Barang-barang yang disita tidak dikembali kepadanya selepas
dibebaskan.
Pembebasan
TIGA TAHANAN DALAM KASUS PENANGKAPAN WARGA SIPIL DI KEROM
DIBEBASKAN
Ketiga tahanan dalam kasus penangkapan warga sipil di Kerom telah
dibebaskan, menurut laporan yang dikirim oleh pekerja HAM setempat. Yulanius
Borotian dibebaskan pada tanggal 19 Mei sementara Petrus Yohanes Tafor
dibebaskan pada 27 Mei. Laporan tersebut menyatakan bahwa Wilem Tafor
akan dibebaskan pada 4 Juni. Ketiga tahanan tersebut divonis lima bulan penjara
dibawah Pasal 170 KUHP untuk kekerasan terhadap orang dan barang. Mereka
mulanya dituduh dengan pembunuhan seorang anggota polisi yang tewas dalam
kejadian 13 Desember 2013, di mana polisi bentrok dengan sekolompok orang yang
menentang upaya polisi untuk mencuri sumber daya alam. Mereka ditangkap di
rumah mereka, dan tidak terlibat dalam bentrok itu.
Pengadilan bernuansa
politik dan pandangan sekilas tentang kasus-kasus
PIETHEIN
MANGGAPROUW DIHUKUM DUA TAHUN PENJARA
Pengacara HAM melaporkan bahwa pada tanggal 28
Mei, Piethein
Manggaprouw, yang ditangkap pada 19 Oktober 2013, dihukum dua tahun
penjara selepas ditemukan bersalah atas permufakatan jahat untuk melakukan
makar dibawah Pasal 106 dan 110 KUHP. Manggaprouw ditangkap karena
keterlibatannya dalam demo damai di Biak memperingati hari ulang tahun kedua
Konggress Rakyat Papua ketiga.
TUJUH TAHANAN SASAWA DIPINDAHKAN KE SORONG
Informasi yang diterima dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP)
melaporkan bahwa ketujuh tahanan yang ditangkap dalam kasus Sasawa telah
dipindahkan ke LP Sorong, dan sedang menunggu persidangan di Pengadilan Negeri
Sorong. Septinus Wonawoai, yang dibebaskan terlebih dahulu, sudah ditahan
kembali bersama dengan Salmon Windesi, Peneas Reri, Kornelius Woniana, Obeth
Kayoi, Rudi Otis Barangkea dan Jimmi Yermias Kapanai di LP Sorong. Mereka
ditangkap dan disiksa pada saat penangkapan selama penggerebekan militer di
kampung Sasawa yang menargetkan para anggota yang pro gerakan merdeka dari
kelompok bersenjata Tentara Nasional Papua Barat TNPB).
Seperti dilaporkan dalam update April, status ketujuh orang ini
sulit ditentukan, dikarenakan oleh keterbatasan informasi yang tersedia. Namun,
para pengacara HAM dari ALDP menyatakan bahwa ketujuh orang ini bukan anggota
TNPB tetapi mereka adalah masyarakat biasa dari kampung Sasawa. Ketujuh orang
ini telah didakwa dengan makar di bawa pasal-pasal 106, 108 dan 110 dan
kepemililikan senjata di bawa UU Darurat 12/1951. Persidangan diharapkan mulai
pada bulan Juni 2014.
JPU MENUNTUT HUKUMAN SATU TAHUN PENJARA UNTUK DEMONSTRAN
MAHASISWA
Pekerja HAM setempat melaporkan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU)
dalam kasus Kristianus Delgion Madai, yang ditangkap pada tanggal 3 Februari
2014 karena dugaan penyelundupan delapan peluru kaliber 8.4mm, telah menuntut
hukuman penjara satu tahun. Pengacara HAM percaya bahwa Madai dijadikan target karena
aktivitas politik damainya sebagai seorang mahasiswa terlibat dengan
demonstrasi di Jakarta. Dia menghadapi dakwaan kepemilikian amunisi di bawah UU
Darurat 12/1951.
SKPKC MEMBERIKAN PENGOBATAN KEPADA STEFANUS BANAL
LSM HAM yang berbasis di Jayapura, Sekretariat Keadilan Perdamaian
dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC), menyatakan bahwa pada 2 Mei
mereka terima panggilan dari pihak otoritas LP Abepura dengan informasi bahwa
obat untuk tapol Stefanus Banal, yang dibutuhkan untuk penyembuhan tulang kaki
patah, sudah habis. Seperti dilaporkan di dalam update bulan April, otoritas LP
Abepura sudah menolak untuk memenuhi kewajiban mereka untuk perawatan Stefanus
Banal. Keluarga Banal tidak sanggup menanggani ongkos obat ini. Staff SKPKC
sudah koordinasi untuk menyediakan obat yang disebutkan.
Banal dapat beberapa luka berat pada saat ditembak oleh polisi dan
kemudian ditangkap dalam penggerebekan polisi pada 19 Mei 2013. Sejak saat
penangkapan itu, dia tidak terima perawatan medis yang layak dan keluarga dia
dipaksa untuk tanggani ongkos-ongkos perawatan, walaupun luka-luka disebabkan
oleh penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi.
Kasus-kasus yang
menjadi perhatian
POLISI MENGGUNAKAN KEKUATAN YANG BERLEBIHAN MELAWAN
MASYARAKAT SIPIL DI MOANEMANI
Menurut sebuah laporan yang disiapkan oleh Kantor Keadilan,
Perdamaian and Keutuhan Ciptaan, (KPKC-GKI) sudah mengungkapkan penembakan tiga
orang Papua oleh Brimob pada 6 Mei. Insiden ini terjadi di halaman kantor
Brimob di Moanemani di mana masyarakat sedang berkumpul setelah dua orang ABG
ditabrak oleh trek. Yunsen Kegakoto, umur 15 tahun, dan Jhon Anouw, umur 18
tahun, sedang menunju ke gereja ketika mereka ditabrak oleh trek dan langsung
meninggal dunia. Menurut laporan SKPKC, sopir trek menyerahkan diri di kantor
Brimob di Moanemani.
Empat jam kemudian, pukul jam 10:00 waktu Papua, keluarga para
korban berkumpul di kantor Brimob bersama dengan masyarakat setempat dan
menuntut bahwa sopir dilepaskan biar masalah bisa diselesaikan secara adat.
Otoroitas Brimob menolak penuntutan ini, dan massa menjadi emosi dan melempari
kantor Brimob dengan batu. Anggota Brimob merespon dengan menembak massa dan
berteriak “Mana kamu punya jago itu,ayo tunjuhkan jagoan kamu itu.” Laporan
dari SKPKC mendeskripsikan bahwa “peluruh jatuh seperti hujan.” Tiga orang asli
Papua dikabarkan luka berat dari penembakan tersebut. Yulius Anouw luka di
bagian dada, Gayus Auwe tembak di bagian dada dan paha,, dan Anton Edoway luka
di bagian paha. Ketiga laki-laki ini dikatakan sedang dalam kondisi kritis.
Sebuah kelompok orang asli Papua setempat dikabarkan membalas dendam dengan
membunuh seorang Indonesia dari komunitas non-Papua.
Brigadier Jendral Paulus Waterpauw, Wakil Kepala Polda Papua,
mengatakan kepada Taboid Jubi bahwa situasi di lapangan kadang-kadang sulit tetapi
mendesak polisi untuk bertindak sesuai dengan perosedur dan Standard
operasional. Walaupun pra-laporan polisi sudah disiapkan, belum ada tindakan
untuk menghukum pelaku Brimob.
POLISI MERAUKE MENANGKAP DAN MENYIKSA DUA ORANG SECARA
SEWENANG-WENANG
Aktifis setempat melaporkan dua kejadian terpisah dari
penyiksaan di Merauke. Pada 10 Mei 2014, Tadius Yetorok disiksa oleh dua
polisi dari Polsek kota Merauke. Yetorak sedang dalam perjalanan pulang ke
rumah lewat kantor polisi di kota Merauke. Kemudian dia ditahan oleh dua polisi
dan dipukul sebelum diseret ke rutan polsek. Selama dalam sel, dia
dipaksa tunduk dan ditendang oleh dua anggota polisi yang memakai sepatu lars.
Anggota polisi terus memukul bagian belakang dan kepalanya dengan selang air.
Yetorak menderita luka-luka serius di bagian kepala dan bagian belakang.
Setelah disiksa dia dibawa ke Rumah Sakit supaya luka-luka dibersihkan, lalu
ditahan di rutan polsek Merauke kota selama dua hari sebelum dilepaskan sesuai
permintaan keluarganya.
Kasus penyiksaan lain adalah kasus Marius Kananggom, yang ditangkap
pada 24 Mei oleh polisi dari polres Merauke. Polisi menuduhnya terlibat dalam
tindakan kriminal kekerasan lawan anggota polisi dari Polres Boven Digoel dan
Polisi melakukan interogasi terhadapnya selama satu malam. Aktivis
setempat melaporkan bahwa Kananggom dipaksa untuk mengakui kejahatan dan telah
disiksa didalam tahanan Polres Merauke oleh anggota polisi dari Polres
Boven Digoel. Setelah disiksa dan diperlakukan secara tidak layak, Kananggom
dibawa naik mobil ke Boven Digoel, jauh dari rumah dia di Meruake, pada jarak
500 kilometre, dan ditinggalkan untuk pulang sendiri.
Berita
KELOMPOK-KELOMPOK MASYARAKAT SIPIL MEMPERINGATI 1 MEI DI
JAYAPURA
Anggota KNPB dan ketua-ketua Parlemen Rakyat Daerah, PRD, sebuah
lembaga masyarakat setempat di beberapa lokasi di Papua, berkumpul di depan
kantor KNPB Waena untuk mengingat HUT ke51 transfer administratif dari Papua ke
Indonesia. Orasi-orasi mendesak massa untuk memboikot pemilihan presiden pada
bulan Juli mendatang. Kegiatan dijaga ketat oleh anggota gabungan polisi dan
militer. Demonstrasi serupa digelar di UNCEN Abepura tetapi dibubarkan oleh
polisi Jayapura.
Pada tahun 2013, 30 pendemo ditangkap selama kegiatan 1 Mei. 18
orang dari Timika, Biak dan Sorong didakwa dibawa pelbagai pasal-pasal KUHP,
termasuk konspirasi untuk melakukan makar dan kepemilikan senjata dan amunisi.
Semua 18 dari mereka dilibatkan dalam kegiatan damai. 11 di antara mereka
ikut serta dalam penaikan bendera Bintang Kijora. Tiga aktifis Papua dibunuh
karena penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi di Sorong, yang menembak
terhadap massa yang sedang menjalankan doa bersama. 14 orang Papua sisanya
dibalik jeruji dikarenakan terlibat dalam peringatan damai 1 Mei 2013.
Tahanan politik Papua
bulan Mei 2014
Sumber: www.papuansbehindbars.org
0 komentar:
Posting Komentar