Keputusan untuk menghapus budaya bakar batu salah satu simbol tertua solidaritas dan persaudaraan orang asli Papua adalah bentuk nyata penghancuran identitas budaya. Lebih ironis lagi, budaya perjudian justru dilegalkan dan dibiarkan tumbuh subur, seakan menjadi hiburan bagi rakyat yang sedang dipaksa melupakan luka sosial yang mendalam.
Ketika gubernur-gubernur lain menunjukkan empati kepada rakyatnya di pengungsian, Gubernur Papua Tengah justru absen. Tidak ada tangisan atau kunjungan, hanya keheningan dan pengabaian, seolah-olah penderitaan rakyat Papua bukanlah bagian dari tugas dan tanggung jawabnya.
Alih-alih menggunakan anggaran untuk pemulihan sosial dan ekonomi masyarakat, gubernur malah membuang dana miliaran rupiah hanya untuk membiayai kompetisi sepak bola. Sementara itu, rakyatnya terjebak dalam kemiskinan struktural dan pengungsian yang tak berkesudahan.
Ancaman untuk membongkar kuburan leluhur di Bumi Wonorejo adalah bentuk penghinaan terang-terangan terhadap hukum adat Papua. Kuburan bukan hanya tempat jasad bersemayam, melainkan juga situs sakral yang menyimpan nilai spiritual dan sejarah identitas masyarakat adat.
Gubernur Papua Tengah terkesan sentralistik dan otoriter. Ia enggan memberi kewenangan pada dinas-dinas teknis seperti Dinas Pendidikan, padahal sektor pendidikan sangat penting untuk masa depan anak-anak Papua. Sentralisasi kuasa ini menciptakan stagnasi dan memperparah ketimpangan birokrasi.
Keberpihakan gubernur pada Daerah Otonomi Baru (DOB) bukanlah bentuk perjuangan rakyat, melainkan langkah strategis untuk melanggengkan penguasaan elite atas tanah Papua. DOB telah menjadi kuda troya untuk masuknya investasi tambang dan perampasan ruang hidup masyarakat adat.
Ketika rakyat menangis karena kehilangan tanah, rumah, dan kehidupan, gubernur justru sibuk dengan agenda politik dan proyek-proyek pencitraan. Tidak ada satu pun kebijakan yang benar-benar menyentuh akar penderitaan rakyat di lapangan.
Ketidakpedulian Gubernur Papua Tengah terlihat dalam cara ia mendiamkan konflik bersenjata, pengungsian massal, hingga kematian anak-anak karena kelaparan dan kurang gizi. Diamnya gubernur adalah kejahatan dalam bentuk pasif.
Legalisasi investasi minuman keras di Papua Tengah adalah tindakan destruktif terhadap generasi muda Papua. Miras telah terbukti menjadi biang kerusakan sosial, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kriminalitas yang meningkat di wilayah-wilayah adat.
Bukannya menjadi pemersatu, gubernur justru menjadi simbol perpecahan dan penjajahan gaya baru. Kehadirannya lebih dirasakan sebagai perpanjangan tangan oligarki dan pemodal besar, ketimbang sebagai pemimpin rakyat.
Rakyat Papua Tengah berhak marah. Mereka tidak meminta janji manis atau doa kosong dalam pidato, mereka menuntut keadilan, perlindungan budaya, kesejahteraan nyata, dan keberpihakan pada rakyat kecil, bukan pada investor dan elit politik Jakarta.
By: Namolla Amole
Tidak ada komentar:
Posting Komentar