Lawan Penjajahan Indonesia - Suara Wiyaimana Papua
Headlines News :

.

.
Home » , , » Lawan Penjajahan Indonesia

Lawan Penjajahan Indonesia

Written By Suara Wiyaimana Papua on Jumat, 25 April 2025 | Jumat, April 25, 2025


Orang Papua tidak dilahirkan untuk membenci pendatang. Tapi kolonialisme menciptakan jurang itu: Satu kelompok dijaga, satu kelompok dimusuhi. Satu kelompok berdagang, satu kelompok diusir dari tanah. Satu kelompok disebut warga spesial, satu kelompok disebut separatis. Ini diciptakan penjajah. 

62 tahun praktek kolonialisme di West Papua telah melahirkan generasi yang secara psikologis membentuk dikotomi "kami terjajah dan kalian penjajah". Kekerasan pada warga bangsa penjajah (non-Papua/pendatang) bukan sekedar emosi reaktif, tapi bentuk kesadaran psikopolitik. 

Dalam kondisi di mana tidak ada saluran untuk menyuarakan keadilan, amarah menjadi satu-satunya cara untuk "didengar". Dalam psikoanalisis, ini adalah bentuk displacement: agresi yang seharusnya diarahkan ke sistem yang abstrak, dipindahkan ke tubuh-tubuh konkret yang diasosiasikan dengan sistem itu, warga penjajah.

Para pendatang datang ke Papua dalam jumlah banyak dan tidak terkontrol membuka tokoh, pasar, punya jaringan distrisbusi barang, dan hidup dalam zona yang dilindungi aparat negara kolonial.  Mereka ciptakan struktur sosial kolonial: TNI/Polri sebagai penguasa senjatta, sipil pendatang sebgai penguasa pasar dan ekonomi, orang tetap sebagai pihak yang diperas dan dijadikan musuh negara.

Maka tidak heran jika hampir semua orang Papua akan memandang warga pendatang bukan hanya sebagai "orang luar" tetapi juga sebagai kolaborator penjajah. Ketika konflik meledak, siapa yang dilindungi? Bukan mama2 Papua, bukan mahasiswa, bukan aktivis, tapi para pedagang pendatang. Polisi dan tentara akan langsung turun tangan jika ada kekerasan terhadap mereka. Tapi ketika orang Papua dibunuh atau disiksa, negara diam, atau malah menyalahkan korban.

Dalam banyak konflik kolonial, penjajah jarang tampil sendiri. Ia hadir bersama lapisan sipil yang mengambil untung. Inilah yang terjadi di Papua: militer membuka jalan, pendatang mengisi ruang. Militer menguasai senjata, pendatang menguasai pasar.

Jadi jika anak-anak Papua menyerang bukan karena pendatang itu jahat secara pribadi,

tetapi karena negara menjadikan tubuh mereka sebagai benteng dari sistem penindasan. 

Ketika warga pendatang menolak mengakui bahwa ada penjajahan, memilih diam dan tidak bersolidaritas dengan gerakan pembebasan Papua, ketika mereka hanya menjaga posisi ekonominya, maka mereka telah memilih menjadi bagian dari mesin penjajahan. Dan setiap mesin yang menindas, cepat atau lambat, akan mendapat perlawanan.

Orang Papua tidak memusuhi karena warna kulit atau asal daerah. Mereka memusuhi karena pilihan posisi. Jika pendatang memilih diam dan tetap menjadi bagian dari struktur penjajahan, maka jangan salahkan ketika diserang. Karena dalam medan kolonial, tidak ada “penonton”. Yang ada hanya yang menjajah dan yang melawan.

Kalau pendatang ingin damai, maka mereka juga harus memilih posisi. Karena bagi rakyat Papua, saat ini bukan lagi waktunya menjelaskan perasaan. Ini adalah saatnya menyusun barisan: siapa kawan, siapa lawan. Dan satu hal juga untuk orang Papua, Kolonialisme tidak akan runtuh jika hanya korban yang melawan, maka galang solidaritas tanpa batas ras, suku, agama, dan kelompok. 

Banyak pendatang yang secara moral sadar akan ketidakadilan yang terjadi di Papua, tetapi mereka takut akan kehilangan status, posisi ekonomi, atau bahkan keselamatan mereka sendiri. Ketakutan ini adalah bagian dari strategi kolonial untuk memecah dan mengisolasi, menempatkan mereka yang berpotensi bersolidaritas dalam posisi dilematis. Jika mereka bergabung dalam perjuangan rakyat Papua, mereka mungkin kehilangan pekerjaan, posisi sosial, atau bahkan keselamatan.

Namun, meskipun ada rasa takut dan keterjebakan dalam sistem, nurani masih bisa menjadi titik awal untuk bergerak. Ketakutan itu hanya efektif jika mereka tetap terisolasi dalam ketidakpastian. Ketika pendatang mulai berbicara, berbagi pengalaman, dan membangun solidaritas dengan orang Papua, ketakutan itu mulai hilang.

Banyak pendatang yang merasa takut untuk melawan, berpikir bahwa perjuangan ini adalah "urusan orang Papua". Tetapi pada kenyataannya, perjuangan ini adalah urusan kita bersama, karena jika sistem penjajahan tetap berdiri, itu akan terus melanggengkan ketidakadilan yang juga mempengaruhi siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Penulis : Victor Yeimo, Jubir Internasional KNPB

Share this article :

0 komentar:

.

.

Pray For West Papua

Pray For West Papua

MELANESIANS IN WEST PAPUA

MELANESIANS IN WEST PAPUA

BIARKAN SENDIRI BERKIBAR

BIARKAN SENDIRI BERKIBAR

GOOGLE FOLLOWER

Traslate By Your Language

WEST PAPUA FREEDOM FIGHTER

WEST PAPUA

WEST PAPUA

VISITORS

Flag Counter
 
Support : WEST PAPUA | WEDAUMA | SUARA WIYAIMANA
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. Suara Wiyaimana Papua - All Rights Reserved
Template Design by WIYAIPAI Published by SUARA WIYAIMANA