Masa Kampanye Politik Kolonial |
1. 𝐈𝐧𝐢 𝐒𝐚𝐫𝐚𝐧𝐚 𝐋𝐞𝐠𝐢𝐭𝐢𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥: Pemilu/Pilkada di tanah Papua adalah cara halus penjajah mendapatkan "persetujuan" menjajah dari rakyat terjajah Papua. Sudah 12 kali Pemilu/Pilkada di Tanah Papua dipergunakan untuk mengkonsolidasikan dominasinya, juga sebagai alat strategis untuk mengukuhkan kekuasaan kolonialismenya.
Benar kata George Padmore, dalam bukunya "Pan-Africanism or Communism?” (1956) : "𝑃𝑒𝑚𝑖𝑙𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑘𝑒𝑛𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖𝑎𝑙𝑖𝑠𝑚𝑒 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑘𝑎𝑛𝑖𝑠𝑚𝑒 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑝𝑒𝑟𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎. 𝑀𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠𝑎𝑛, 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑘𝑦𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑗𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑙𝑒𝑤𝑎𝑡 𝑃𝑒𝑚𝑖𝑙𝑢 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑡𝑢𝑟 𝑝𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑢𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑗𝑎𝑗𝑎ℎ."
2. 𝐀𝐣𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐡 𝐀𝐠𝐞𝐧 𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥: Pemilu/Pilkada adalah momen yang dikondisikan untuk memilih agen-agen penjajah yang akan melayani kepentingan penjajah, yaitu melaksanakan agenda kolonialisme yaitu ekspansi militer, investasi dan pendatang untuk mempercepat pendudukan dan genosida. Individu yang dianggap loyal dan berguna bagi penguasa kolonial dikondisikan untuk menang.
Akan terpilih elit-elit kolonial hasil sogokan PPD, KPU hingga Mahkama Konstitusi, dimana operasi dan pertimbangan Badan Intelijen Negara (BIN) menjadi rujukan putusan. Yang terpilih dikontrol Jakarta, dan jika tidak loyal dan membangkang pada Jakarta dan ngotot mewakili aspirasi rakyat Papua, berakhir di penjara dan kuburan. Sudah banyak pejabat Papua mati dan dipenjara.
Jadi Pemilu/Pilkada ini adalah sarana untuk memilih kolaborator yang akan mendukung dan memperpanjang kontrol kolonial. Kolaborator ini memainkan peran kunci dalam memastikan bahwa kebijakan dan kontrol penjajah tetap efektif di lokal.
3. 𝐏𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐏𝐚𝐥𝐬𝐮: Demokrasi yang sejati tidak bisa berjalan di atas luka dan penderitaan rakyat, terutama ketika kekuasaan kolonial dipertahankan melalui kekerasan dan ketidakadilan.
Pilkada dibuat seakan-akan bangsa Papua memiliki kebebasan memilih. Dibuat kesan ada partisipasi bebas orang Papua. James Baldwin dalam bukunya "No Name in the Street" (1972) menulis: “𝘋𝘦𝘮𝘰𝘬𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘰𝘭𝘰𝘯𝘪𝘢𝘭 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘯𝘪𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯, 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘪𝘭𝘶 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘮𝘣𝘰𝘭 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘣𝘢𝘴𝘢𝘯. 𝘛𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘦𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘫𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪 𝘬𝘦𝘯𝘥𝘢𝘭𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘮 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢.”
Padahal sejatinya, demokrasi hanya bisa berfungsi jika ada kebebasan politik yang nyata, di mana rakyat bebas untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik tanpa rasa takut atau intimidasi.
Sejak awal penjajah sudah menghancurkan hak demokrasi bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri; hak untuk bernegara dan memilih masa depannya. Kenyataannya, semua pikiran, perkataan, keputusan dan tindakan orang Papua dipasung dengan hukum dan senjata.
4. 𝐀𝐥𝐚𝐭 𝐇𝐞𝐠𝐞𝐦𝐨𝐧𝐢 𝐈𝐝𝐞𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐣𝐚𝐣𝐚𝐡: Melalui Pemilu/Pilkada, kolonial membentuk kesadaran dan persepsi bangsa terjajah untuk mewajarkan sistem kolonialisme dan melupakan perjuangan kemerdekaanya.
Orang Papua dibentuk untuk berpikir bahwa partisipasinya dalam Pemilu/Pilkada adalah satu-satunya cara praktis untuk memenuhi kesejahteraannya. Kampanye pembangunan dan kesejahteraan digaungkan dalam Pilkada meskipun pada kenyataannya, pembangunan diperuntukan untuk memantapkan pendudukan kolonialisme dan mempermuda akses eksploitasi sumber daya alam.
Ideologi penjajah yang dominan dengan segala sumber dayanya berusaha mengalihkan kesadaran rakyat dari tujuan perjuangan. Pemilu/Pilkada di West Papua tidak hanya alat politik, tetapi juga instrumen hegemoni kolonial yang memaksa rakyat terlibat meskipun bertentangan dengan aspirasi kemerdekaan.
Hegemoni bekerja dengan cara yang kompleks: negara kolonial menawarkan keuntungan jangka pendek sambil tetap mempertahankan kendali penuh atas wilayah jajahan West Papua. Rakyat yang terjajah, meski ingin bebas, terjebak dalam sistem yang memaksa mereka untuk tunduk pada dinamika yang diciptakan oleh penjajah, memperpanjang dominasi kolonial melalui mekanisme yang tampak "demokratis.
Ditulis : Viktor F Yeimo (Jubir KNPB Internasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar