USKUP AGUNG MERAUKE LEBIH MENCINTAI PERUSAHAAN PENGHANCUR TANAH ADAT PAPUA
Suara Papua - 25 Oktober 2024, 00WP
Oleh: Emanuel Gobay, SH, MH
(Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua)
Sikap kontroversial terus diperlihatkan seorang gembala, pemimpin umat Katolik di wilayah provinsi Papua Selatan.
Pernyataan dan sikap Uskup Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC dalam beberapa tahun belakangan ini sangat jauh dari misi Ajaran Kristen Katolik di wilayah masyarakat adat di seluruh dunia. Uskup Mandagi menunjukan sikap gila yang tanpa malu-malu menerima uang miliaran rupiah dari perusahaan sawit yang telah merampas tanah adat, hutan dan merusak ekosistemnya di atas wilayah masyarakat adat Papua yang beragama Katolik.
Mgr. Petrus Canisius Mandagi menyebutkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digagas oleh negara Republik Indonesia adalah untuk memanusiakan manusia, padahal dengan jelas Keuskupan Agung Merauke yang merupakan basis Agama Katolik pertama di wilayah adat Papua mengetahui dengan pasti bahwa masyarakat adat Papua bagian selatan tidak memiliki budaya mengerjakan sawah dan tebu.
Anehnya lagi, Mgr. Mandagi tidak bertemu dengan masyarakat adat Merauke yang mengadu persoalan hak ulayatnya dirampas. Uskup Mandagi lebih memilih membuka pintu kantor Keuskupan Agung Merauke kepada militer Indonesia yang dipercayakan menjalankan PSN di Merauke. Semua itu menunjukan bahwa kehadiran mantan Uskup Amboina itu memiliki misi terselubung untuk memuluskan pelanggaran hak asasi masyarakat adat Papua bagian selatan yang mayoritas umat Katolik Papua.
Uskup Mandagi Tak Mengenal Budaya Umatnya
Dalam memenuhi kebutuhan pokok baik sandan, pangan, dan papan dalam masyarakat adat Malind biasanya dilakukan dengan cara berburu dan meramu hasil hutan dalam wilayah adat marga masing-masing yang berada dalam wilayah adat mereka. Aktivitas berburu dan meramu telah menjadi bagian dari budaya masyarakat adat Malind yang sudah biasa dilakukan secara turun temurun atau sejak dahulu hingga kini.
Dalam melakukan aktivitas budaya tersebut, orang Malind juga dibatasi dengan pandangan adat yang diyakininya terkait adanya tumbuhan dan hewan maupun benda mati yang menjadi satu kesatuan dalam kehidupan mereka, sehingga masyarakat adat Malind tidak mengambil tumbuh-tumbuhan, hewan serta mahluk hidup lainnya dan benda mati secara sembarangan dari wilayah adatnya.
Fakta itu telah mampu membentuk kehidupan yang harmonis antara masyarakat adat Malind dengan alam raya karya Ilahi di atas wilayahnya. Wilayah yang memberikan kehidupan bagi masyarakat adat Malind di Merauke merupakan sumber kehidupan mereka sampai saat ini.
Pernyataan Uskup Agung Merauke terkait PSN yang berbunyi “memanusiakan manusia Papua di Merauke’” menunjukan bukti bahwa Mgr. Petrus Canisius Mandagi tidak mengenal dan memahami manusia dan budaya umat Katolik Keuskupan Agung Merauke. Uskup Mandagi tidak mengenal secara baik budaya dan manusia asli Papua karena pengalaman misionarisnya berputar di Manado dan wilayah Keuskupan Ambonia. Beliau baru memulai pelayanannya di Tanah Papua ketika diangkat menjadi Uskup Keuskupan Agung Merauke.
Pernyataan Uskup Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi yang sangat kontroversial ini sebenarnya memiliki muatan penghinaan atas budaya berburu dan meramu sekaligus merendahkan orang Papua karena telah mampu memenuhi kebutuhan hidup secara tradisional yang sudah dilakukan turun temurun jauh sebelum agama dan pemerintah masuk di wilayah adat Papua hingga saat ini.
Atas dasar itu, sebaiknya Mgr. Petrus Canisius Mandagi meminta maaf kepada umat Katolik Keuskupan Agung Merauke yang wilayah adatnya, lahan untuk berburu dan meramu terdampak PSN.
Uskup Mandagi Lupa Teori Inkulturasi
Pandangan Uskup Agung Merauke terhadap hadirnya PSN di Merauke beberapa waktu lalu tentunya sangat bertentangan dengan teori inkulturasi yang biasanya dijadikan metode praktis dalam penyebaran Agama Katolik di dunia, termasuk di Tanah Papua.
Untuk diketahui bahwa inkulturasi adalah sebuah istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani, terutama dalam Gereja Katolik Roma, yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran Gereja pada saat diajukan pada kebudayaan-kebudayaan non-Kristiani, dan untuk memengaruhi kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran Gereja.
Pada praktiknya menggunakan teori inkulturasi dalam penyebaran agama Katolik pertama kalinya di atas daratan Papua bagian selatan khususnya di wilayah adat Animha telah mampu mendudukan orang Malind menggunakan busana adat duduk di dalam Gereja Katolik dan meninggalkan budaya perang suku atau perang marga, dan bahkan meninggalkan kepercayaan leluhur. Begitupula masyarakat adat Papua lainnya di Tanah Papua.
Sikap keberpihakan Uskup Mandagi dalam PSN itu jelas-jelas melupakan teori inkulturasi yang menjadi dasar pijakan Agama Katolik dalam pewartaan Injil Yesus Kristus.
Uskup Mandagi Abaikan Ensiklik Paus Fransiskus ‘Laudato Si’
Sikap Uskup Agung Merauke yang mendukung mega proyek sawah dan tebu di Merauke jelas akan menghancurkan hutan bakau dan merampas tanah adat masyarakat adat Animha dan secara otomatis akan memarjinalkan orang Malind di atas wilayah adatnya. Sikap Uskup Agung Merauke ini adalah sikap yang tidak mencintai karya agung Sang Pencipta, yakni alam dan ekosistem di provinsi Papua Selatan.
Keberpihakan Uskup Mandagi jelas-jelas merusak dan ‘membunuh’ sekian banyak spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan endemik yang langka yang selama ini telah membentuk daur kehidupan di wilayah Papua Selatan. Sepertinya Uskup Mandagi juga lupa bahwa saat ini dunia sedang dilanda ancaman pemanasan global, dimana hutan Papua menjadi salah satu tumpuan dunia melawan krisis iklim.
Keberpihak Uskup Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi menunjuk sikap sengaja lupa terhadap Ensiklik Paus ‘Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus yang adalah menjadi pemimpinnya.
Semua sikap Uskup Mandagi itu tentunya menunjukan bahwa Uskup Agung Merauke sudah, sedang dan akan menjalankan misi atau kepentingan negara, perusahaan dan militer Indonesia yang merusakan bumi.
Kesimpulan
Pada akhirnya, keberpihakan Uskup Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi yang menerima PSN di Merauke itu tentunya akan meletakan umat Katolik pribumi Papua dalam ancaman yang tidak berkesudahan karena tempat berburu dan meramu sudah, sedang dan akan musnah. Tempat untuk melangsungkan kehidupan bagi umat atau masyarakat adat hancur dan musnah.
Uskup Mandagi lupa bahwa pasca PSN atau masa hak guna usaha (HGU) akan beralih menjadi tanah negara. Masyarakat pemilik hak ulayat tidak akan bisa menggunakannya lagi.
Nah, demi menyelamatkan Keuskupan Agung Merauke dari kesalahan fatal, maka sebaiknya Uskup Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi sebaiknya di-emeritus-kan. Sikap keberpihakannya sangat berpengaruh pada kehidupan menggereja umat Katolik di wilayah Papua Selatan, khususnya bagi masyarakat adat yang tanahnya dirampas. Keberpihakan ini juga akan menyuburkan situasi konflik di Tanah Papua.
Seorang gembala sekaligus pemimpin agama selayaknya mencintai umat Tuhan bersama seluruh ciptaanNya, tetapi faktanya justru sebaliknya: Uskup Agung Merauke lebih mencintai perusahaan penghancur tanah adat Papua. Aneh bin ajaib!. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar