Para pemimpin Pacific Conference of Churches/PCC berfoto di depan Kantor PCC. Tampak keempat dari kiri, Rev. Francois Pihaatae, Sekretaris Jenderal PCC - Dok. PCC |
Jayapura, Jubi - Pada kesempatan Pertemuan Pemimpin Gereja Pasifik (Pacific Conference of Churches/PCC) yang berlangsung 1-3 Agustus 2017 di Auckland, gereja-gereja Pasifik kembali menyampaikan keprihatiannya pada penduduk West Papua (Tanah Papua) yang dianggap belum bebas karena belum bisa menentukan nasibnya sendiri.
Pertemuan para pemimpin gereja Pasifik ini dihadiri oleh seluruh pemimpin gereja di Pasifik dari Gereja Anglikan Melanesia, Keuskupan Anglikan Polinesia, Uskup Katolik di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, Gereja Kristus Vanuatu, Gereja Kristen Kongregasi di Samoa, Gereja Kristen Kepulauan Cook, Gereja Lutheran Injili Di Papua Nugini, Ekalesia Kelisiano Tuvalu, Ekalesia Kerisiano Niue, Gereja Injili di Kaledonia Baru dan Kepulauan Loyalitas, Dewan Gereja Fiji, Perserikatan Gereja di Papua Nugini, Dewan Gereja Papua Nugini, Gereja Presbyterian Vanuatu, Gereja Wesleyan Gratis Dari Tonga, Samoa National Council of Churches, Etaretia Porotetani Maohi, Gereja Methodis di Fiji dan Rotuma, Gereja Presbyterian St. Andrews, Kiribati Uniting Church, Nauru Congregational Church dan the Methodist Church of Samoa.
Gereja Pasifik dukung penentuan nasib sendiri West Papua
Rev. Francois Pihaatae, Sekretaris Jenderal Konferensi Gereja Pasifik kepada Jubi mengatakan pertemuan pemimpin gereja Pasifik ini diakhiri dengan tujuh rekomendasi. Selain isu penentuan nasib sendiri dan HAM, gereja-gereja se-Pasifik ini juga membahas isu seabed mining, diaspora di Pasifik, kepemimpinan dalam gereja, hubungan gereja dengan negara, kepercayaan/agama baru dan keanggotaan Konferensi Gereja Pasifik.
“Rekomendasi pertama menyangkut West Papua. Para pemimpin gereja sepakat mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia di West Papua,” kata Rev Pihaatae melalu surat elektronik kepada Jubi, Kamis (17/8/2017).
Tuhan, lanjut Rev. Pihaatae, menciptakan manusia dan sebuah bangsa untuk bebas dan menentukan diri sendiri dan karena itu para pemimpin gereja selanjutnya mendukung seruan penentuan nasib sendiri West Papua.
"Tidak ada yang bebas sampai kita semua bebas." Kata Rev. Pihaatae menguti salah satu perkataan Martin Luther King. Jr.
Gereja-gereja di Pasifik kata Rev. Pihaatae terus mendukung inisiatif baru untuk penyelesaian politik bersama untuk penentuan nasib sendiri bukan hanya di West Papua, namun juga di Bougainville antara pemerintah Papua Nugini dan pemerintah Bougainville yang otonom. Gereja Pasifik mendukung upaya gereja Bougainville dan Papua New Guinea untuk membantu pemerintah mereka dalam penyelesaian politik damai penentuan nasib sendiri Bougainville dan hasil referendum Bougainville pada tahun 2019. Selain itu, perjuangan terus menerus rakyat Kanaky (Kaledonia Baru) dalam mengejar penentuan nasib sendiri dan kebebasan untuk menentukan masa depan politik mereka juga menjadi kepedulian Gereja Pasifik.
“Kami mengakui keabsahan Persetujuan Noumea dan meminta para penandatangan untuk mematuhi semangat dokumen melanjutkan referendum yang direncanakan pada tahun 2018. Kami memohon kepada Prancis untuk menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk memastikan bahwa referendum tersebut dilakukan dengan adil dan dalam suasana damai dan keamanan dimana semua orang dapat mengungkapkan keinginan sejati mereka untuk masa depan Kanaky,” jelas Rev. Pihaatae.
Konferensi Gereja Pasifik, menurut Rev. Pihaatae sangat mendukung inisiatif negara-negara Pasifik untuk membebaskan bangsa-bangsa Pasifik dari penjajahan di muka bumi ini.
Integritas budaya rakyat Papua jadi perhatian para Uskup Oceania
Pekan lalu, Komite Eksekutif Federasi Uskup Katolik Konferensi Oseania (Australia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, Selandia Baru, CEPAC) menyampaikan hal yang sama saat bertemu di Auckland, Selandia Baru. Dalam pernyataan diakhir pertemuan, para uskup menegaskan fokus lebih lanjut dari kepedulian mereka adalah mata pencaharian dan integritas budaya masyarakat West Papua.
“Kami tidak mempromosikan pandangan mengenai kemerdekaan. Karena kami percaya bahwa saat pertanyaan ini menjadi fokus tunggal, perhatian untuk menegakkan dan memperkuat institusi demokrasi lokal dapat diabaikan,” kata Uskup Sir John Cardinal Ribat MSC, Kardinal Papua Nugini.
Para uskup menurutnya mendesak diselenggarakannnya pendidikan berkualitas di Papua, akses yang adil dan transparan terhadap pekerjaan, program pelatihan dan pekerjaan, penghormatan hak atas tanah, dan batas-batas yang jelas antara peran pertahanan dan kepolisian dan peran perdagangan.
“Sebagian besar masyarakat adat Papua mencari kedamaian dan berbagai kelompok dialog, menganjurkan dan menyaksikan koeksistensi damai, merupakan sumber harapan bagi semua orang,” ujar Kardinal Ribat.
Isu Papua semakin kuat di Pasifik
Fiame Naomi Mata'afa, ketua Forum Menteri Luar negeri Kepulauan Pasifik dan Wakil Ketua Perdana Menteri Samoa, memastikan bahwa isu West Papua akan tetap berada dalam Forum Pemimpin PIF ke-48 tahun ini di Samoa.
Dia mengatakan, seperti dikutip oleh fijitimes.com, agenda West Papua Barat akan tetap di atas meja. Meski demikian, menurutnya, kekhawatiran terhadap pelanggaran hak asasi manusia di West Papua sama pentingnya dengan dialog lanjutan dengan Indonesia mengenai masalah tersebut.
Pemerintah Indonesia yang selama ini menjadi mitra dialog PIF berharap forum ini nantinya tidak membahas agenda politik. Dubes RI utk Selandia Baru, Samoa, dan Kerajaan Tongga, Tantowi Yahya, telah menemui Kepala Negara Samoa yang baru, Tuimalealiifano Va'aletoa Sualauvi II di Apia, ibu kota Samoa, Selasa (15/8/2018), dalam sebuah misi persahabatan.
Melalui Tuimalealiifano, Tantowi menyampaikan harapan Indonesia agar konferensi PIF mendatang ini dapat fokus pada isu-isu ekonomi, kelautan, dan pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat bagi rakyat di negara-negara Pasifik Selatan.
Tantowi berharap, forum itu tidak membuka ruang bagi pembahasan isu-isu politik yang tidak produktif. Kepala negara menunjukkan kesepahamannya dan mendukung usulan Indonesia tersebut.
Sepekan sebelumnya di Wellington, Tantowi dan Djauhari menemui PM merangkap Menlu Samoa, Tuilaepa Aiono Sailele Malielegaoi, yang sedang berkunjung ke Selandia Baru. Harapan yang sama juga disampaikan ke Perdana Menteri Samoa ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar