Salah satu korban yang ditikam anggota TNI saat mendapat perawatan di RS Madi, 1/5/2017. (IST - SP) |
JAYAPURA — “Kami biasa heran kalau ada
persoalan antara orang pendatang (Melayu) dan warga asli Papua, aparat
keamanan justru hanya mau mengamankan suku Melayu, meskipun sudah salah.
Kejadian penikaman dua warga sipil di Paniai, itu bukti bahwa aparat
memihak warga Melayu.”
Demikian penilaian dari Hanok Herison Pigai, direktur Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) Paniai, menyikapi kasus penikaman oleh dua prajurit dari Pos Timsus 753 Argaviratama Nabire di Uwibutu, Kabupaten Paniai, Papua, Senin (1/5/2017) lalu.
Dalam siaran pers yang diterima media ini, ia berharap, aparat keamanan harus profesional dalam semua persoalan. “Karena kalau persoalan sudah menyangkut dengan orang Papua, prosedur dan profesionalisme tidak berlaku. Aparat hanya menjadi anjing galak yang siap menerkam dan memihak pedagang yang nota benenya adalah suku Melayu. Dan suku-suku asli dianggap bukan manusia, apa maksudnya ini?”
Pengalaman selama ini di Paniai, kata Hanok, aparat yang bertugas di sana hanya mau mengamankan warga Melayu. “Ketika ada persoalan antara orang Melayu dan warga asli Papua, apakah tidak perlu diselesaikan secara prosedural? Aparat keamanan perlu mengedepankan nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas sebagai pelindung dan pengayom masyarakat,” ujarnya.
Lanjut Hanok, “Kami sangat tidak bisa menerima tindakan semacam ini, memotong manusia seperti binatang atau tumbuh-tumbuhan. Ini hanya masalah sepeleh yang tentunya sebagai aparat yang terpelajar bisa menengahi antara kedua belah pihak untuk diselesaikan, bukan dengan cara brutal bawa pisau, sangkur, parang dan senjata untuk tikam bahkan bunuh salah satu pihak. Aparat semacam apa ini? Ini kejadian terulang kesekian kalinya dari berbagai peristiwa berdarah yang terus terjadi di Tanah Papua.”
Ia juga minta Danyon 753/AVT Nabire segera bertindak tegas, memecat dan menghukum kedua prajurit yang melakukan kekerasan tersebut. (Baca juga: )
“Berikan efek jera kepada siapa saja yang melakukan tindak kekerasan di atas Tanah Papua. Kami mohon tunjukkan kewibawaan negara di atas tanah ini. Kami sedang berduka dengan pembunuhan 4 orang muda yang tertembak dan ratusan lainnya mengalami luka-luka dalam peristiwa Paniai Berdarah 8 Desember 2014, yang hingga kini pelakunya belum diadili,” ungkapnya.
Penegasan sama diungkapkan John NR Gobai, ketua Dewan Adat Paniai yang juga sekretaris Dewan Adat Papua (DAP). “Saya minta tarik pasukan yang tidak punya tupoksi jelas dari Paniai. Seperti pos Timsus 753/AVT, Kopassus.”
Dalam siaran pers ke media ini, Kamis (4/5/2017) sore, John menyatakan, dari laporan kronologi kejadian yang diterima, tak ada alasan kuat bagi oknum tentara tersebut melakukan tindakan penikaman terhadap Yustinus Degei (32) dan Yosia Degei (27), yang hendak membeli rinso. (Baca juga: )
“Kapolres Paniai dan Pabung Kodim Paniai di Enarotali harus segera menjelaskan kasus ini dan memproses anggota yang terlibat dalam penikaman dua warga sipil.”
Lanjut John, “Pangdam dan Kapolda Papua segera usut kasus ini. Kami tidak mau ada kasus kekerasan, jangan tambah korban di Paniai.”
Diberitakan media ini sebelumnya, penikaman tersebut terjadi di depan kios yang terletak bersebelahan dengan Gereja Kingmi Papua Jemaat Nafiri Uwibutu. Korban saat itu hendak membeli sabun rinso di kios yang ada di pertigaan jalan raya Paniai-Nabire, tetapi karena pemilik kios sibuk dengan urusannya, keduanya keluar. Saat keluar, pemilik kios muncul dari belakang. Si pemilik kios menduga dua pemuda tadi mencuri barang.
Sontak saja terjadi adu mulut karena korban mengaku tidak curi barang. Si pemilik tetap menuduh mereka mencuri sabun rinso. Tak lama kemudian pemilik kios memanggil aparat yang ada dekat dengan TKP yaitu pos Timsus 753/AVT. Karena masih ribut datang orang yang diduga anggota aparat, lalu terjadi adu jotos hingga menikam kedua pemuda.
Demikian penilaian dari Hanok Herison Pigai, direktur Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) Paniai, menyikapi kasus penikaman oleh dua prajurit dari Pos Timsus 753 Argaviratama Nabire di Uwibutu, Kabupaten Paniai, Papua, Senin (1/5/2017) lalu.
Dalam siaran pers yang diterima media ini, ia berharap, aparat keamanan harus profesional dalam semua persoalan. “Karena kalau persoalan sudah menyangkut dengan orang Papua, prosedur dan profesionalisme tidak berlaku. Aparat hanya menjadi anjing galak yang siap menerkam dan memihak pedagang yang nota benenya adalah suku Melayu. Dan suku-suku asli dianggap bukan manusia, apa maksudnya ini?”
Pengalaman selama ini di Paniai, kata Hanok, aparat yang bertugas di sana hanya mau mengamankan warga Melayu. “Ketika ada persoalan antara orang Melayu dan warga asli Papua, apakah tidak perlu diselesaikan secara prosedural? Aparat keamanan perlu mengedepankan nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas sebagai pelindung dan pengayom masyarakat,” ujarnya.
Lanjut Hanok, “Kami sangat tidak bisa menerima tindakan semacam ini, memotong manusia seperti binatang atau tumbuh-tumbuhan. Ini hanya masalah sepeleh yang tentunya sebagai aparat yang terpelajar bisa menengahi antara kedua belah pihak untuk diselesaikan, bukan dengan cara brutal bawa pisau, sangkur, parang dan senjata untuk tikam bahkan bunuh salah satu pihak. Aparat semacam apa ini? Ini kejadian terulang kesekian kalinya dari berbagai peristiwa berdarah yang terus terjadi di Tanah Papua.”
Ia juga minta Danyon 753/AVT Nabire segera bertindak tegas, memecat dan menghukum kedua prajurit yang melakukan kekerasan tersebut. (Baca juga: )
“Berikan efek jera kepada siapa saja yang melakukan tindak kekerasan di atas Tanah Papua. Kami mohon tunjukkan kewibawaan negara di atas tanah ini. Kami sedang berduka dengan pembunuhan 4 orang muda yang tertembak dan ratusan lainnya mengalami luka-luka dalam peristiwa Paniai Berdarah 8 Desember 2014, yang hingga kini pelakunya belum diadili,” ungkapnya.
Penegasan sama diungkapkan John NR Gobai, ketua Dewan Adat Paniai yang juga sekretaris Dewan Adat Papua (DAP). “Saya minta tarik pasukan yang tidak punya tupoksi jelas dari Paniai. Seperti pos Timsus 753/AVT, Kopassus.”
Dalam siaran pers ke media ini, Kamis (4/5/2017) sore, John menyatakan, dari laporan kronologi kejadian yang diterima, tak ada alasan kuat bagi oknum tentara tersebut melakukan tindakan penikaman terhadap Yustinus Degei (32) dan Yosia Degei (27), yang hendak membeli rinso. (Baca juga: )
“Kapolres Paniai dan Pabung Kodim Paniai di Enarotali harus segera menjelaskan kasus ini dan memproses anggota yang terlibat dalam penikaman dua warga sipil.”
Lanjut John, “Pangdam dan Kapolda Papua segera usut kasus ini. Kami tidak mau ada kasus kekerasan, jangan tambah korban di Paniai.”
Diberitakan media ini sebelumnya, penikaman tersebut terjadi di depan kios yang terletak bersebelahan dengan Gereja Kingmi Papua Jemaat Nafiri Uwibutu. Korban saat itu hendak membeli sabun rinso di kios yang ada di pertigaan jalan raya Paniai-Nabire, tetapi karena pemilik kios sibuk dengan urusannya, keduanya keluar. Saat keluar, pemilik kios muncul dari belakang. Si pemilik kios menduga dua pemuda tadi mencuri barang.
Sontak saja terjadi adu mulut karena korban mengaku tidak curi barang. Si pemilik tetap menuduh mereka mencuri sabun rinso. Tak lama kemudian pemilik kios memanggil aparat yang ada dekat dengan TKP yaitu pos Timsus 753/AVT. Karena masih ribut datang orang yang diduga anggota aparat, lalu terjadi adu jotos hingga menikam kedua pemuda.
Sumber: SUARAPAPUA.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar