Ilustrasi. Seorang mahasiswa Papua berteriak saat ia ditangkap oleh polisi ketika mencoba bergabung dengan unjuk rasa di asrama mahasiswa di Yogyakarta, pada 15 Juli 2016. (Foto:Suryo Wibowo/AFP) |
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Aktivis pendukung
Papua Merdeka dan pendukung kebebasan pers merencanakan aksi unjuk rasa
di sejumlah kota di berbagai negara memprotes Hari Kebebasan Pers Dunia
di Jakarta pekan depan.
Aksi itu akan menyerukan agar dunia memfokuskan perhatian pada masih
dihambatnya akses jurnalis asing ke Papua, padahal sejak awal tahun lalu
pemerintah RI telah berjanji untuk membukanya.
Aksi unjuk rasa secara global tersebut akan dimulai pada 1 Mei dan berpuncak pada Hari Pers Dunia, 3 Mei.
Menurut situs pendukung Papua Merdeka, Free West Papua Campaign, dikutip dari asiapacificreport.nz,
aksi unjuk rasa antara lain akan berlangsung di Trafalgar Square,
London, pada 1 Mei pukul 12:00 waktu setempat, bergerak menuju Kedubes
RI di Westminster, London.
Sementara itu di Abuja, Nigeria, peserta unjuk rasa akan berkumpul
pada 1 Mei pukul 08:00 di Eagles Squares menggabungkan diri dengan
unjuk rasa hari buruh. Aksi unjuk rasa mendukung Papua Merdeka di Abuja
diprakarsai oleh Dimeji Macaulay dari Conscience Radio.
Selain di dua kota itu, aksi unjuk rasa lainnya juga sedang
direncanakan di The Hague, Belanda, Perth, Australia, Denmark, Jepang,
Malawi dan Selandia Baru.
Masih sebagai bagian dari rangkaian aksi itu, Benny Wenda, Juru
Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi
payung dan pemersatu bagi berbagai elemen pembebasan Papua, dijadwalkan
akan berada di Selandia Baru pada 8 hingga 16 Mei. Di Selandia baru ia
antara lain akan berbicara pada sebuah acara yang diselenggarakan oleh
Pacific Media Center di Auckland University of Technology.
Kehadiran Benny Wenda di Selandia Baru disponsori oleh Auckland West Papua Action, Asia Pacific Human Rights dan Pax Christi.
Dilansir dari voxy.co.nz, Benny Wenda akan menyerukan
dukungan bagi keadilan politik dan sosial bagi rakyat Papua. Secara
khusus ia juga akan meminta dukungan pemerintah Selandia Baru atas
inisiatif bangsa-bangsa Pasifik yang mendorong isu Papua di PBB.
Sementara itu, Neles Tebay, pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat
Fajar Timor dan koordinator Jaringan Damai Papua, dalam sebuah
tulisannya di media independen Katolik, La Croix International,
menyerukan agar pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP, dan
membicarakan agenda kebijakan yang disepakati kedua belah pihak.
Menurut dia, kekerasan HAM di Papua tidak akan berakhir tanpa
pemerintah dan ULMWP duduk bersama dalam sebuah dialog damai. "Dukungan
internasional sangat diperlukan untuk mendorong dialog itu terjadi,"
kata dia.
Neles Tebay mengungkapkan, kekerasan HAM diperkirakan masih akan terus terjadi di masa mendatang.
Ada empat alasan yang ia kemukakan.
Pertama, meningkatnya kehadiran militer dan semakin luasnya komando
teritorial. Saat ini di Papua ada dua Komando Daerah Militer, yaitu di
Jayapura dan Manokwari.
Sejak 2001, pemerintah juga telah menambahkan tiga batalion di
Wamena, Timika dan Merauke, disamping batalion yang sudah ada. Ia
memperkirakan saat ini sudah ada 4000-6000 tentara di Papua, dan masih
akan bertambah lagi.
Posisi ini, kata dia, sangat kontras dengan inisiatif yang
diluncurkan oleh masyarakat sipil untuk menciptakan Papua sebagai Tanah
Damai.
Kedua, pendekatan keamanan masih terus berlanjut kendati pemerintah telah mengedepankan pendekatan kesejahteraan di Papua.
Sebagai contoh dalam Pilkada di sebuah kabupaten belum lama ini,
pihak kepolisian dituduh mendukung salah satu kandidat, sehingga
Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyerukan kepada Kapolri dan Presiden
Jokowi, untuk memberhentikan Kapolda Papua karena kasus tersebut.
Pendekatan keamanan, kata dia, melanggar HAM karena rakyat Papua
dengan mudahnya ditahan, dipukul, disiksa, bahkan ditembak dan dibunuh.
"Saat ini setidaknya 1,5 juta penduduk non-Papua (di Papua) yang tak
pernah menjadi korban pelecehan HAM karena mereka dianggap penduduk
Indonesia. Hanya orang Papua yang menjadi sasaran militer dan polisi dan
menjadi korban selama 54 tahun pemerintahan RI di Papua," tulis dia.
Ketiga, tidak adanya kemauan politik pemerintah RI dalam menangani
isu-isu HAM. "Pemerintah tidak serius menangani HAM di Papua. Pada 2016
pemerintah membentuk tim untuk menangani tiga kasus besar pelanggaran
HAM di Papua. Dikatakan bahwa kasus itu akan selesai sebelum tahun 2016.
Tetapi pemerintah gagal melaksakannya."
Keempat, tidak adanya keinginan melakukan dialog dengan rakyat
Papua.Menurut Neles Tebay, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan
Indonesia telah bersatu di bawah ULMWP pada Desember 2014. ULMWP
merupakan perwakilan utama kelompok-kelompok Orang Asli Papua. Neles
Tebay menyerukan agar pemerintah melakukan dialog dengan kelompok ini.
Editor : Eben E. Siadari
0 komentar:
Posting Komentar