Foto: Nanang Kosim |
PEMBEBASAN.ORG (20/3/2017); Kolonialisme Indonesia atas Papua hampir saja sudah dilupakan, bahkan, ada yang tidak tahu ternyata ada negara-yang-pernah-dijajah kini menjajah bangsa lain. Ya, Indonesia kita menjajah bangsa Papua. Suara-suara penolakan kolonialisme Indonesia atas Papua hampir saja tak ada kuping yang sudi mendengar kalau saja Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) tidak mendeklarasikan diri sebagai kekuatan politik untuk menolak kolonialisme tersebut. Bersama dengan Aliansi Mahasiswa Papua, FRI-WP membulatkan tekad: melawan kolonialisme Indonesia atas bangsa West Papua.
Senin, 20 Maret 2017, serempak bak orkestra, bebunyian menentang kolonialisme berkumandang di sekitar 14 kota di Indonesia: Jogja, Bandung, Tobelo, Sula, Ternate, Kupang, Tarakan, Ambon, Tobelo, Palu, Sinjai, Bali, Bogor, Semarang. Mereka juga menyampaikan posisi politik bahwa Freeport harus ditutup. Tidak ada lagi kompromi bagi lingkungan yang rusak. “Tutup Freeport” adalah posisi yang berbeda dari perseteruan antara pemerintahan Indonesia dengan PT. Freeport. Sebab, perseteruan mereka tak akan berbuah apapun untuk Rakyat bangsa West Papua, apapun hasil perundingannya. Perseteruan dalam arena kapitalisme. Perseteruan mengenai tambang emas terbesar di dunia itu, dalam sejarahnya, tak pernah melibatkan rakyat West Papua. Ketika PBB di tahun 1961 menyatakan ‘dekolonisasi’ untuk Holandia (sekarang Papua), malah dijawab oleh Soekarno dengan Trikora. Dimulailah narasi kolonialisme atas Papua. Setelah Soekarno tumbang dikudeta Soeharto, semakin keji dan tajamlah kolonialisme. Setelah Trikora, giliran PEPERA-PB yang jadi tonggak membuncahnya pembunuhan di Papua. Modal kapitalis semakin stabil.
Kita harus melanjutkan dengan penuh keberanian.
Bicara tentang Papua membutuhkan strategi yang baik, juga nyali. Karena yang dihadapi adalah pertaruhan investasi miliaran dolar. Kapitalis-kapitalis itu rela berbuat apapun untuk menjaga modalnya. Dan militer-militer Indonesia tak kalah sigap, siap dan patuh kepada aturan main investasi. Di hadapan investasi, tentara dan polisi tak segan membuang peluru ke perut, kepala, kaki rakyat West Papua. Tinju, tendangan, intimidasi dan penjara juga menanti orang Indonesia yang membela kemerdekaan Papua. Nasionalisme saja tak cukup membendung laju investasi. Namun sulit juga mengatakan bahwa nasionalisme tak gagal menghadang kapitalisme. Lha nasionalisme itu sendiri lahir dari kentutnya kapitalisme.
Aksi serentak nasional di seluruh Indonesia Senin ini sedang ingin mengatakan pada massa luas bahwa ada kolonialisme di Papua. Karena mereka memahami betul, tak mau mengulang kesalahan sejarah bahwa nasionalisme Indonesia berlumuran darah rakyat Papua.
Di Palu, Sulawesi Tengah, aksi menuntut Freeport tutup dan memberikan hak menentukan nasib sendiri untuk Rakyat Papua disuarakan di depan kampus Universitas Tadulako. Di Jakarta, mereka menyambangi kantor Freeport di Jalan Kuningan. Sedangkan Bandung, ada aksi teatrikal dan prosesi simbolis permintaan maaf terhadap Rakyat Papua. Lain lagi FRI-WP dan AMP di Jogjakarta dihadang oleh ormas, yang tak lain hanyalah preman-preman bayaran, di sekitaran Boulevard UGM. Di kota-kota lainnya pun demikian, di tanah-air Rakyat Papua pun berderap tekad membunyikan orkestra perlawanan: Tutup Freeport, hak menentukan nasib sendiri untuk Rakyat Papua. (Bp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar