Jakarta, Jubi- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan
delapan dugaan pelanggaran HAM dalam insiden di Asrama Mahasiswa Papua
Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, 14-16 Juli lalu. Para
mahasiswa yang berniat menggelar aksi long march mendukung Gerakan
Pembebasan Papua menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group
dikepung oleh polisi dengan sejumlah ormas antiseparatis yang mendatangi
asrama itu.
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai dalam konferensi pers di
Jakarta, Jumat (22/7/2016), menyebutkan ada delapan dugaan pelanggaran
Hak Asasi Manusia dalam insiden insiden di Asrama Mahasiswa Papua
Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, 14-16 Juli lalu.
“Pertama, telah terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat,” kata Pigai.
Pembatasan tersebut, ujar pria kelahiran Paniai Papua itu,
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan
Politik, dan UU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Kemerdekaan Menyatakan
Pendapat di Depan Umum.
Kedua, terjadi tindak kekerasan oleh aparat Kepolisian terhadap
mahasiswa Papua di luar lingkungan asrama. Ini bertentangan dengan UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU Nomor 5 Tahun
1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan.
Pelanggaran ketiga, terjadi hate speech berupa kekerasan
verbal mengandung unsur rasisme dari ormas intoleran terhadap mahasiswa
Papua. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dugaan pelanggaran keempat, lanjut Pigai terjadi pembiaran oleh aparat keamanan atas orasi berisi hate speech
rasis dari ormas intoleran yang mendatangi Asrama Mahasiswa Papua. Ini
bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Dugaan pelanggaran kelima, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta belum memberikan jaminan kebebasan dan rasa aman bagi
mahasiswa Papua melalui langkah konkret seperti mengeluarkan peraturan
daerah, instruksi gubernur, atau pernyataan resmi untuk mencegah
tindakan rasisme terhadap warga Papua,” ungkap Pigai.
Sedangkan pelanggaran keenam, adalah terjadi penangkapan dan
penahanan terhadap delapan orang mahasiswa Papua oleh Kepolisian, dengan
satu di antaranya ditetapkan sebagai tersangka, tanpa dua alat bukti
yang kuat. Hal tersebut dinilai Komnas HAM bertentangan dengan prinsip
penegakan hukum yang berkeadilan dan nondiskriminatif seperti diatur
dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
“Penggunaan kekuatan berlebihan oleh Kepolisian yang terlihat dari
pengerahan jumlah aparat secara besar-besaran, penggunaan senjata, dan
adanya tembakan gas air mata yang diarahkan ke Asrama Mahasiswa Papua
adalah dugaan ketujuh,” lanjut Pigai.
Dan yang terakhir, multitafsirnya pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan
Hamengkubuwono X tentang separatisme yang tidak boleh ada di Yogya.
Ucapan itu multitafsir karena tidak ditujukan kepada individu yang
terkait separatisme, sehingga dapat dimaknai ditujukan kepada orang
Papua di Yogya.
Perkataan itu, menurut Komnas HAM, juga dapat dimanfaatkan oleh 25
ormas di DIY dan masyarakat setempat untuk melakukan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip HAM.
Delapan dugaan pelanggaran HAM tersebut diumumkan setelah Komnas HAM
turun langsung ke lokasi kejadian dan meminta keterangan dari sejumlah
pihak seperti Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, mahasiswa Papua di
Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Kapolda DIY. (*)
sumber:http://tabloidjubi.com/2016/07/22/inilah-delapan-pelanggaran-insiden-asrama-papua/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar