Sabtu, 16 Juli 2016

Bahaya Tindakan Represif Berbasis Diskriminasi dan Rasis di Yogyakarta


7 Ditangkap, Ratusan Mahasiswa Terkepung Polisi dan Ormas
Indonesia adalah negara hukum. Pemerintah bertanggung jawab melindungi HAM sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28i ayat (4) yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Salah satu hak warga negara yang dijamin konstitusi adalah hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sedang mekanismenya dijamin dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Untuk menjamin hak asasi itu, negara telah memberikan mandat kepada pihak kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum di dalam masyarakat. Namun, hingga hari ini hak menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan mahasiswa Papua di Yogyakarta didiskriminasi dengan berbagai bentuk. Bahkan direpresi oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) sehingga tidak dapat melaksanakan hak-hak konstitusinya.
Telah terjadi beberapa tindakan pelanggaran hak konstitusi warga negara oleh polisi terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta. Di antaranya, sebagai berikut:
  1. Pengepungan asrama Papua oleh polisi pada bulan April 2016.
  2. Represivitas aparat (polisi) pada aksi mimbar bebas di depan asrama 2 Mei 2016 dan 30 Mei 2016.
  3. Pengepungan asrama oleh polisi pada tanggal 14 Juni 2016 dan represivitas sebelum dan pada saat aksi 16 Juni 2016.
  4. Pengepungan asrama Papua oleh polisi pada tanggal 1 Juli 2016 dan 13 Juli 2016
  5. Pembungkaman ruang demokrasi pada tanggal 14 Juli 2016 oleh ratusan aparat Polri lengkap menggunakan senjata dan mobil water canon yang dihadapkan tepat di depan pagar asrama.
Pada hari ini Jumat, 15 Juli 2016 sejak jam 7 pagi, aparat kepolisian bersama dengan kelompok-kelompok reaksioner mengepung dan memblokade asrama mahasiswa Papua Kamasan I. Tidak seorang pun diizinkan keluar ataupun masuk. Bahkan mahasiswa Papua yang keluar untuk membeli makanan ditangkap oleh aparat kepolisian. Saat ini ada sekitar 100 orang lebih mahasiswa Papua yang terjebak di dalam asrama yang membutuhkan solidaritas, khususnya bantuan logistik.
Sikap kepolisian itu sangat berlebihan dan jelas melanggar HAM. Selain itu, pengerahan pasukan untuk penggepungan serta tindakan represivitas polisi terhadap mahasiswa Papua sendiri perlu dipertanyakan.
Selain membungkam perjuangan konstitusional mahasiswa Papua, tindakan represif ini membangun stereotip untuk mendiskriminasikan mahasiswa Papua baik atas dasar rasis, tindakan, pandangan, dengan tujuan menyembunyikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi. Tindakan ini juga memicu terjadinya konflik sosial antara mahasiswa Papua dengan warga sipil Jogja akibat diskriminasi yang dibangun secara struktural oleh aparat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sikap dan pendekatan aparat terhadap mahasiswa Papua dan perjuangan HAM yang merupakan hak konstitusi sejak awal 2016 hingga hari ini semakin membuat situasi di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak tenang. Semakin meresahkan warga Yogyakarta serta membuat citra polisi dari pelindung, pengayom, dan penegak hukum menjadi buruk karena membiarkan terjadinya konflik sosial berbasis diskriminasi dan rasis di Yogyakarta
Diharapkan seluruh warga Yogyakarta bersatu menyelamatkan ruang demokrasi yang nyaman tanpa diskriminasi di wilayah Yogyakarta. Jangan biarkan aparat yang tidak profesional menggunakan alat negara untuk menciptakan diskriminasi di Yogyakarta. Diskriminasi dan rasisme adalah penyakit dalam kebhinekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar