Sabtu, 09 April 2016

Komisi HAM Asia Kutuk Penangkapan Aktivis Papua Penyeru Referendum


Aparat polisi dan TNI membongkar panggung unjuk rasa damai yang dilakukan oleh aktivis KPNB di lapangan Kampung Bhintuka-SP13 di Mimika, Kabupaten Timika, Papua (Foto: bennywenda.org)
HONG KONG, SATUHARAPAN.COM -  Komisi Hak Asasi Manusia Asia (The Asian Human Rights Commission/AHRC) yang berbasis di Hong Kong, mengutuk pembubaran paksa dan penangkapan pelaku unjuk rasa damai  yang terjadi di lapangan Kampung Bhintuka-SP13 di Mimika, Kabupaten Timika, Papua pada hari Selasa, 5 April 2016.
"Kami telah diberitahu bahwa 12 pengunjuk rasa dibawa ke tahanan polisi di Kuala Kencana untuk penyelidikan lebih lanjut dan diperiksa," demikian siaran pers yang ditayangkan lewat situs resmi lembaga itu hari ini (8/4).
Berdasarkan laporan yang diterima AHRC, sebelum unjuk rasa terjadi, masyarakat adat Papua telah memberitahu polisi akan niat mereka untuk menyerukan diakhirinya pelanggaran HAM di Papua. Meskipun demikian, kata siaran pers AHRC, polisi tiba-tiba membubarkan paksa demonstrasi, dengan klaim bahwa salah satu pengunjuk rasa menyerukan referendum dalam sambutannya.
AHRC menilai polisi telah memperingatkan dan mengintimidasi tokoh agama setempat untuk menghindari kegiatan politik, berbicara tentang pelanggaran HAM dan dan referendum di gereja-gereja.
Sepanjang tahun lalu, telah terjadi kasus pembubaran paksa unjuk rasa yang tak terhitung jumlahnya di Papua dan Provinsi Papua Barat. Menurut AHRC, dalam semua kasus ini, polisi belum mengambil tanggung jawab untuk memeriksa apakah penggunaan kekuatan yang berlebihan itu sah.
"Pada saat yang sama, warga sipil tidak memiliki mekanisme pengaduan yang efektif untuk menantang penggunaan  kekuatan yang berlebihan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi," demikian pernyataan AHRC.
AHRC menyerukan, bahwa sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan dengan diundangkannya Undang-Undang Nasional Nomor 11 tahun 2005, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memastikan bahwa hak untuk kebebasan berpendapat dan berkumpul adalah dilindungi, seperti yang tercantum dalam Pasal 21 Perjanjian Internasional tersebut.
Oleh karena itu AHRC meminta pemerintah harus menyikapi pembubaran paksa unjuk rasa dan  penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi secara serius, terutama setelah Komnas HAM melaporkan bahwa jumlah tertinggi pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk Papua, dilakukan oleh polisi.
"Selain gagal dalam mereformasi kepolisian, pemerintah juga gagal untuk mengevaluasi kebijakan di Papua dan Papua Barat, meskipun perlindungan terhadap masyarakat asli Papua menjadi prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo," demikian pernyataan AHRC.
AHRC juga mencatat ada kekhawatiran bahwa lembaga penegak hukum dan sistem peradilan pidana di provinsi Papua dan Papua Barat menjadi bagian dari masalah. Sebagai hasilnya, mekanisme peradilan gagal memenuhi hak keadilan bagi orang asli Papua. Rakyat Papua, kata AHRC, tidak melihat bahwa hak-hak mereka terpenuhi dan dihormati sebagaimana layaknya warga negara Indonesia.
Sebaliknya, kehadiran pasukan keamanan negara di wilayah tersebut telah menyebabkan kekerasan rutin dan pembatasan kebebasan berpendapat, berkumpul dan menyalurkan pemikiran.
AHRC berpendapat pemerintah harus segera mengambil tindakan untuk membebaskan semua pengunjuk rasa yang ditahan yang mengambil bagian dalam demonstrasi damai. Pemerintah juga diminta untuk menjamin bahwa setiap aksi damai di masa depan dilindungi oleh hukum dan pelanggaran serupa tidak akan terulang kembali.
"Pemerintah harus mengevaluasi lebih lanjut kehadiran pasukan keamanan Indonesia di Papua dan Provinsi Papua Barat, terutama karena proporsi pasukan yang tidak setara dengan  jumlah penduduk asli lokal Papua dan juga tidak memberikan perlindungan.
AHRC menilai kehadiran mereka hanya menghasilkan merajalelanya pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua.
Terakhir, menurut AHRC, pemerintah harus lebih konsisten dalam menerapkan Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan menunjukkan keseriusannya dengan menegakkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip pengadilan yang adil.
Polisi Dipukul
Sebelumnya diberitakan telah terjadi insiden di Kuala Kencana, yang menyebabkan 12 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ditangkap dan diperiksa oleh polisi. Dalam insiden itu, Kapolres Mimika, Ajun Komisaris Besar, Yustanto Mudjiharso, diberitakan menjadi korban pemukulan saat membubarkan pengunjuk rasa.
Unjuk rasa KPNB berlangsung di lapangan Bhintuka dengan diawali oleh ibadah di lapangan. Setelah itu dilanjutkan dengan unjuk rasa yang diisi dengan orasi dari sejumlah tokoh, yang dipimpin oleh salah seorang ketua KPNB, Steven Itlay. Polisi menyatakan di antara orasi itu ada yang menyerukan referendum. Polisi menilai, hal itu menyalahi aturan dan karena itu polisi berupaya membubarkan pengunjuk rasa.
Antara melaporkan, Yustanto terlibat langsung di lapangan. Tiba-tiba seorang aktivis mendekati Yustanto dan memukul Kapolres Mimika itu. Akibat pukulan itu, Yustanto mengalami luka di bibir.
Menurut Yustanto, polisi sudah melakukan pendekatan persuasif sebelum aktivis KNPB menggelar kegiatan orasi. Namun ajakan tersebut tidak dipedulikan. Bahkan para aktivis terus leluasa mengumpulkan massa dan menyampaikan orasi-orasi yang bersifat provokatif.
Ibadah Damai
Sementara itu, menurut Ketua KPNB, Victor Yeimo, polisi justru membubarkan ibadah damai yang dimediasi oleh KPNB.  Menurut dia, ibadah itu dilakukan untuk mendoakan negara-negara anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) agar menerima United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)  sebagai anggota penuhl MSG.
"Dengan penuh represif mereka tangkap dan mengeluarkan tembakan di mana-mana. Mereka masuk ke gereja dan membubarkan umat Tuhan yang hendak ibadah," tulis Victor di akun Facebooknya.
Satuharapan.com mencoba mengkonfirmasi hal ini kepada Victor Yeimo, tetapi belum mendapat respons.
Menurut Victor, beberapa aktivis termasuk ketua KNPB, Steven Itlay, ditangkap.
"Ini bukti kebrutalan aparat Indonesia yang tidak menghargai harkat dan martabat, serta hak asasi bangsa Papua. Kita butuh suara rakyat Indonesia, Melanesia dan internasional untuk desak dan kutuk kekejaman aparat indonesia di Timika," kata dia.
Sementara itu Juru Bicara ULMWP, Benny Wenda, dalam pernyataan di situs resminya mengatakan polisi dan aparat TNI telah melakukan penembakan dan pemukulan dalam membubarkan unjuk rasa. Bahkan menurut kesaksian dari salah seorang yang ditangkap, mereka juga ditelanjangi.
Berbeda dengan informasi yang disiarkan AHRC yang menyatakan polisi menangkap 12 aktivis, Benny Wenda mengatakan yang ditangkap mencapai 15 orang. Sebanyak 13 orang di antaranya yang sudah diidentifikasi adalah Steven Itlay (24 tahun),    Yanto Awerkyon (23) Sem Ukago (24)    Seperianus Edoway (24), O.Tines Tabuni (24), Yudiman Kogoya (22), Hubertus Dimi (23), Noak Dimi (23),Yunus Nawipa (24), Agus Nirigi (25), Paulus Dawan (30), Abertus Dimi (24) dan   Paulus Wenda (24).
Benny Wenda mengatakan aksi unjuk rasa tersebut diikuti ribuan orang di kota Timika, mereka berbaris melalui jalan-jalan untuk menyerukan referendum kemerdekaan.
"Ada dua hal yang menjadi sangat jelas dari kejadian kemarin di Timika. Pemerintah Indonesia takut akan persatuan Melanesia dan pemerintah Indonesia takut akan penentuan nasib sendiri di Papua. Mereka menunjukkan ini dengan menyerbu dan menembaki acara pembukaan pertemuan damai orang Papua yang berdoa untuk keanggotaan penuh MSG," demikian pernyataan Benny Wenda.
Editor : Eben E. Siadari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar