Keluarga besar tabloidjubi.com / Koran Jubi bersama mantan duta besar RI di Columbia, Dr. Michael Manufandu, dalam kegiatan team building Jubi, Selasa (08/03/2016) – Jubi/Abeth |
Jayapura, Jubi – Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kolombia, Michael Manufandu menyatakan, seorang wartawan yang memilih bergabung dengan Jubi, harus berani menanggung segala konsekuwensi yang mungkin akan ia terima. Termasuk kemungkinan berbagai stigma terhadapnya.
Hal itu dikatakan Manufandu ketika hadir sebagai pembicara dalam team bulding Perkumpulan Jubi di salah satu hotel di Abepura, Kota Jayapura, Selasa (8/3/2016). Menurutnya, independen itulah warna Jubi. Jubi adalah media yang tak jadi alat pihak tertentu, tapi realistis.
Menjadi Jurnalis, Harus Berani Menanggung Konsekuensi
“Kalau sudah memilih jadi wartawan dan pengikut Jubi, harus berani menanggung konsekuensinya. Jadi wartawan harus punya kompetensi dan konsistensi,” kata Manufandu.
Memilih pekerjaan wartawan lanjut dia, adalah pilihan berat. Idealisme tinggi tapi materi sulit. Wartawan harus punya integritas dan warna yang jelas.
Menurutnya, saat ia berjumpa dengan Victor Mambor (pimpinan umum Jubi) di Noumea, Kaledonia Baru, dalam pertemuan Melanesia Spearhead Group (MSG), ia bertanya, apakah pemimpin umum Jubi ini jalan sendiri atau ada yang menyuruh alias membekingi. Karena belum pernah ada wartawan dari Papua yang bisa melakukan liputan di luar negeri, apalagi liputan soal politik regional seperti MSG.
“Victor jawab, jalan sendiri. Jalan sendiri itulah warna dari Jubi. Saya selalu baca Jubi, baik info dalam bentuk tulisan maupun photo,” ucapnya.
Ketidakadilan Ekonomi dan Separatisme yang Sexy
Katanya, perkembangan Papua setelah Otonomi Khusus (Otsus) begitu luar biasa dan pers hadir memberi rasa. Namun berbagai tantangan dihadapi pekerja media. Bekerja dalam masyarakat yang mengalami ketidakadilan ekonomi akan menimbulkan benturan, menimbulkan perbedaan, kebencian dan kecemburuan sosial.
“Wartawan bekerja dalam ketidak adilan ekonomi. Selain itu, hukum kini bukan hukum yang menciptakan keadilan. Tapi hukum yang menciptakan kebencian,” katanya.
Tantangan pers lainnya kini adalah benturan budaya. Kemajuan setelah Otsus, menciptakan benturan-benturan budaya di semua lini. Media bekerja dalam ruang-ruang ini. Menghadapi orang dengan berbagai bentuk karakter dan gaya bahasa berbeda-beda.
“Hal lain, Papua ini ibarat gadis manis. Separatis, Papua Merdeka dan lainnya sering kita dengar. Di Jakarta orang bisa bikin desertasi doktor, orang bisa jadi jenderal, mayor dan sebagainya karena gadis manis itu,” katanya.
Kondisi ini bisa dijadikan objek orang untuk dapat uang, pangkat dan jabatan. Tapi juga bisa membuat orang masuk penjara dan banyak bisa jadi korban. Dalam kondisi itu, wartawan harus menyampaikan fakta, kebenaran, data, obejektif dan tak memihak siapapun.
“Selain itu harus ada kompetensi. Kemampuan. Menulis dan menyampaikan fakta yang benar serta menganalisa. Harus memberikan pencerahan kepada semua orang,” imbuhnya.
Stigma pada Jurnalis Papua
Sementara mantan anggota dan Ketua DPR Irian Jaya (Papua) periode 1982-1987 yang juga pernah duduk di kuris DPR RI, Simon Patrice Morin mengatakan, Papua selalu sarat dengan politik dan keamanan. Ketika membaca berita di koran, pembaca bisa menangkap nuansa yang ada dalam berita, meski tak dijelaskan media secara transparan.
“Tergantung masing-masing pembaca bagaimana melihat pesan atau tujuan dalam berita itu. Tapi memang kepentingan politik juga kadang-kadang berbeda dengan kepentingan rakyat,” kata Morin.
Ia juga tak menampik berbagai stigma yang diterima jurnalis asli Papua. Namun katanya, kondisi itu harus dihadapi. Harus bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik.
“Harus tetap eksis dengan kondisi itu sambil membuat orang bisa mengerti. Masalah stigma itu mungkin akan selalu ada. Tapi bagaimana mensisasati itu dengan tulisan dan pikiran kita agar orang bisa paham situasi di Papua tanpa harus dibawa ke ranah politik,” ucapnya. (Arjuna Pademme)
Sumber: tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar